Intervensi Kognitif Perilaku

Intervensi Kognitif Perilaku

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendekatan integratif yang sekarang dikenal sebagai terapi kognitif-perilaku memiliki dua cabang utama. Salah satunya langsung menjadi fokus dari penelitian pada perawatan spesifik daerah psikopatologi dan ditujukan untuk menghilangkan gangguan psikologis tertentu seperti gangguan panik dengan agorafobia, gangguan depresi mayor, atau bulimia nervosa. Yang lainnya menggabungkan berbagai macam teknik perilaku dan kognitif untuk membentuk metode pengobatan holistik yang berlaku untuk berbagai masalah dan isu-isu klien, dari kurangnya ketegasan sampai batas gangguan kepribadian, dari kurangnya kemampuan belajar sampai ketergantungan zat, dan dari disfungsi keluarga parah sampai skizofrenia kronis. Bentuk yang lebih luas dari terapi kognitif-perilaku adalah isu yang terkait dengan pendekatan konseling tradisional dan mereka yang telah menjadi sasaran bentuk yang paling intensif dari psikoterapi.
Sejarah terapi kognitif-perilaku telah ditandai dengan beberapa perunbahan yang signifikan. Sebelum 1950, teknik yang berdasarkan prinsip-prinsip pengkondisian kadang-kadang diterapkan secara tidak sistematis untuk suatu masalah kebiasaan. Pada akhir 1950-an terapi perilaku mulai muncul sebagai satu set teknik pengobatan berbasis empiris yang kemudian divalidasi dalam kontrol eksperimen. Pada 1970-an perilaku para tokoh klinis mulai melampaui prinsip-prinsip pengkondisian dan belajar untuk menginformasikan perawatan mereka dan eksperimen mereka pada harapan dan rahasia pembicaraan self-guiding. Orientasi kognitif-perilaku baru juga dipengaruhi oleh restrukturisasi terapi kognitif Beck, Ellis, dan yang lain dan oleh studi aplikasi klinis dari pengendalian diri, manajemen diri, dan keterampilan mengatasi masalah. psikolog kognitif-perilaku kontemporer juga terlibat dalam psikologi kesehatan dan behavioral medicine di samping pekerjaan kesehatan tradisional mental. Dan kesehatan mental pasien inap dan pasien rawat jalan yang diberlakukan terapis prilaku-kognitif, memperlakukan seluruh spektrum gangguan.

B. Rumusan Masalah
Dilihat dari latar belakang masalah maka rumusan masalah yang diajukkan adalah :
1. Bagaimana teknik dan metode terapi perilaku?
2. Apa saja yang diperlukan dalam terapi perilaku?
3. Bagaimana prosedur modifikasi kognitif?
4. Bagaimanakah aplikasi spesifik dari terapi kognitif-perilaku?
5. Teori apa saja yang digunakan dalam terapi kognitif-perilaku?
6. Bagaimana peran pendekatan holistik pada terapi kognitif-perilaku?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui teknik dan metode terapi perilaku
2. Untuk mengetahui hal-hal yang diperlukan dalam terapi perilaku
3. Untuk mengetahui prosedur modifikasi kognitif
4. Untuk mengetahui aplikasi spesifik dari terapi kognitif-perilaku
5. Untuk mengetahui teori-teori yang digunakan dalam terapi kognitif-perilaku
6. Untuk mengetahui peran pendekatan holistik pada terapi kognitif-perilaku

BAB II
PEMBAHASAN

A. Teknik Terapi Perilaku
Konsisten dengan topik yang menekankan karya-karya awal terapi perilaku (Eysenck & Rachman, 1965; Ullman & Krasner, 1975; Wolpe & Lazarus, 1966), focus kami pada bagian ini adalah teknik pengurangan kecemasan, teknik belajar operan, penerapan analisis perilaku, dan keterampilan sosial dan pelatihan pemecahan masalah.
1. Metode Reduksi Kecemasan
a. Desensitisasi Sistematis (SD)
Joseph Wolpe menggambarkan desensitisasi sistematis sebagai salah satu teknik terapi perilaku yang pertama. Diambil dari penelitian eksperimental pada proses belajar, SD diterapkan untuk pengobatan pada situasi yang terkait pola kecemasan dan fobia terutama yang spesifik. Menggunakan metodologi seri klinis, di mana prosedur pengobatan yang sama ditawarkan berurutan untuk banyak klien, Wolpe (1958) melaporkan hasil yang sangat menguntungkan untuk systematic desensitization ini dan terkait berdasarkan metode pengobatan pada 210 klien dengan berbagai gangguan. SD lebih efektif daripada tidak ada pengobatan, sebagaimana diukur dengan beberapa langkah yang mencakup tes menghindari ketakutan terkait perilaku.
Dalam sebuah studi metodologis canggih, Paulus (1966) memberikan bukti yang meyakinkan tentang efektivitas SD untuk kecemasan berbicara di depan umum dengan membandingkannya dengan metode psikoterapi tradisional yang telah disampaikan oleh klinisi yang berpengalaman. Sebelum dan setelah peserta terapi berbicara di hadapan panel penilai yang terlatih, yang menilai pengurangan performance akibat kecemasan menggunakan protokol observasi perilaku berstruktur. Pada pengukuran berurutan, SD menghasilkan peningkatan yang secara signifikan lebih dari psikoterapi tradisional dan plasebo dan tidak ada kontrol kondisi perawatan. Sebuah studi lanjutan dua tahun kemudian menegaskan bahwa efek dari SD abadi dan tidak muncul gejala baru (Paul, 1967).

b. Graduated Real-Life Practice
Kadang-kadang disebut sebagai “praktek penilaian” atau “pendekatan berturut-turut,” klien diproses pada setiap tahapan sepanjang hirarki rangsangan yang semakin lebih menantang, menghadapi situasi yang sebenarnya tanpa berhenti. Seperti di SD, klien dapat menarik diri dari situasi untuk berkumpul kembali pada titik awal jika kecemasan muncul. Dalam laporan awal terhadap dua klien fobia, Meyer (1957) menggambarkan pengobatan gejala agoraphobic sukses dengan menggunakan metode ini. Seperti Wolpe, Meyer beralasan bahwa prinsip yang paling penting adalah bahwa generalisasi stimulus-respons kecemasan klien akan hilang jika ia menghadapi stimulus yang menyerupai stimulus fobia namun dengan intensitas yang jauh lebh sedikit, yang membangkitkan kecemasan minimum. Selanjutnya, klien dapat belajar untuk mengatasi situasi berkelanjutan yang dinilai serupa.
c. Imaginal Flooding and Exposure in vivo
SD dan real-life practice melibatkan bagaimana cara menghadapi kecemasan dan membangkitkan rangsangan yang hati-hati, satu langkah pada satu waktu. Confrontive exposure, kadang-kadang disebut flooding, melibatkan hubungan dengan rangsangan membayangkan atau rangsangan nyata pada intensitas penuh. Teknik confrontive exposure pertama semacam ini merupakan implosive therapy (Stampfl & Levis, 1967), menggunakan rangsangan yang dibayangkan. Teori pemadaman akan lebih efektif ketika klien terkena situasi pengkondisian asli yang memunculkan ketakutan terbesar. Teknik ini melibatkan klien yang menghadapi fantasi yang relevan untuk periode yang berkepanjangan. Menggunakan “avoidance serial cue hierarchy” berasal dari keprihatinan saat ini, klien diberikan suatu masalah, terapis menggambarkan adegan ditakuti menggunakan berbagai cara yang dramatis untuk membangkitkan kecemasan intens dan terus menerus untuk menyajikan suatu materi, panjang lebar jika diperlukan, sampai kecemasan klien menurun.
Confrontive Exposure terhadap rangsangan yang ditakuti di kehidupan nyata dikenal sebagai Exposure in Vivo (Marks, 1981a), yang telah dipelajari secara ekstensif dalam aplikasi untuk agoraphobia, fobia spesifik, dan obsesif-kompulsif. Exposure in Vivo dipandang sebagai metode klinis empiris yang mungkin melibatkan pemadaman, pembiasaan, atau bentuk lain dari aklimatisasi terhadap rangsangan yang awalnya ditakuti. Belum ada kepastian bahwa penjelasan pengkondisian fobia telah terbukti secara ilmiah, Marks menghindari istilah pengkondisian, menggambarkan situasi yang ditakuti sebagai Evoking Stimulus (ES) dan perilaku yang ia bisa lakukan, seperti menghindari fobia atau ritual kompulsif, sebagai Evoking Respon (ER). Teknik ini melibatkan identifikasi ES dan mempresentasikannya sampai ER berkurang.

2. Teknik Belajar Operan
a. Reinforcement Positif dan Negatif
Reinforcement mengacu pada prosedur dan proses yang terlibat ketika sebuah perilaku tertentu diperkuat atau dipertahankan oleh kontingensi belajar instrumental. Sebagai contoh, reinforcement positif terjadi ketika tingkat percobaan merpati mematuk lebih meningkat ketika biji-bijian diberikan bergantung pada terjadinya perilaku itu. Reinforcement positif biasanya pemberian perilaku/sesuatu tertentu secara berulang kali selama proses pembelajaran, dan penelitian telah menunjukkan bahwa reinforcement secara langsung lebih efektif dalam mempromosikan pembelajaran (Logue, 1995). Tugas belajar dibagi menjadi bebrapa tahapan. Ketika langkah pertama yang telah dipelajari berhasil, tugas yang lebih sulit disajikan. Misalnya, langkah pertama dalam sebuah program dapat membentuk untuk menyajikan makanan setiap kali merpati memasuki setengah dari ruangan ke dekat piringan. Selanjutnya, makanan dapat diberikan hanya ketika paruh merpati sampai ke piringan. Meskipun reinforcement disampaikan hanya ketika merpati mematuk di piringan.
Perilaku dapat diperkuat atau dipertahankan dengan cara lain daripada dengan menghadirkan rangsangan yang diinginkan, seperti makanan atau uang. Menghapus stimulus yang tidak diinginkan juga dapat memperkuat perilaku. Misalnya, minum aspirin untuk meredakan sakit kepala akan menjadi sebuah reinforcement jika sakit kepala tersebut hilang. Penguatan perilaku dengan cara menghilangkan stimulus aversif secara berkesinambungan disebut reinforcement negatif.
a) Hukuman
Ketika perilaku menurun sebagai hasil dari kontingensi perilaku, maka dimungkinkan memberlakukan beberapa bentuk hukuman. (bebrapa kemungkinan adalah bahwa perilaku hilang setelah reinforcement positif, atau suatu kontingensi secra positif memperkuat tingkat respon yang rendah sebagi efek) Contoh paling jelas hukuman ditemukan ketika tingkat respon menurun setelah diberikan stimulus kontingen sesuai respon . Istilah lain untuk hal ini adalah respon-contingen aversive stimulation (RCAS). Jika seorang anak menyentuh kompor panas dan jarinya terbakar, dan jika anak tersebut berhenti menyentuh kompor merupakan hasilnya, maka memberlakukan RCAS, atau hukuman.
Bentuk lain dari hukuman terjadi ketika efek dari respon adalah untuk menghilangkan stimulus, dan diikuti oleh tingkat respons berkurang. Hal ini disebut respon cost. Jika pengemudi mengurangi tingkat melakukan pelanggaran lalu lintas ringan maka mereka juga akan membayar denda lebih sedikit, respon cost adalah contingency oprating.
b) Pemadaman
Pemadaman mengacu pada prosedur melepaskan kontingensi penguatan dan efek dari perilaku ini. Untuk contoh pemadaman yang mengikuti reinforcement positif, bayangkan bahwa merpati itu mematuk piringan telah diperkuat dengan makanan untuk beberapa waktu, namun peneliti menghentikan mekanisme pemberian makanan. Mematuki piringan tidak lagi memiliki efek apapun. Merpati akhirnya mematuk lebih sedikit, sampai, akhirnya, tidak ada respon lebih lanjut. Pemadaman suatu respon operan memiliki beberapa elemen yang sama dengan pemadaman respon kondisional klasik.
c) Tahapan Reinforcemen
Dalam contoh percobaan merpati, reinforcement berkekelanjutan terjadi ketika setiap respon diperkuat. Setelah reinforcement terus menerus, efek dari pemadaman biasanya cukup cepat. Dalam kehidupan nyata, reinforcement biasanya intermiten. Perilaku tidak selalu menghasilkan konsekuensi tertentu secara konsisten. Merpati tidak selalu mendapatkan makanan setiap kali mereka mematuk obyek, dan driver tidak didenda setiap kali mereka menambah kecepatan. Dimulai dengan penelitian Ferster dan Skinner (1957), peneliti operant learning membuat studi ekstensif dari efek pada perilaku berbagai alternatif untuk reinforcement terus menerus dikenal sebagai tahapan reinforcement. Salah satu konsekuensi praktis dari tahapan reinforcement intermiten adalah efek dari pemadaman yang tertunda, dan tanggapan lebih banyak dibuat di bawah pemadaman (Angermeier, 1994).
d) Pengaturan Perilaku (Rule-Governed Behavior)
Skinner (1953, 1966) berpendapat bahwa perilaku kita pada akhirnya dikendalikan oleh kontingensi operan yang sebenarnya, bukan dengan kata-kata. Keuntungan metodologi operant learning adalah bahwa hal itu dapat berlaku tidak hanya pada perilaku verbal individu tapi juga dengan hewan, praverbal anak-anak, dan orang-orang dengan kesulitan komunikasi. Teori belajar operan menyadari pentingnya pengaturan perilaku ketika perilaku dikendalikan oleh stimulus yang menentukan contingency operating (Pierce & Epling, 1995). Contoh seperti kontingensi-rangsangan yang menetapkan aturan, petunjuk, saran, dan hukum, dan mereka dapat dilihat sebagai discriminative stimuly yang menetapkan kesempatan untuk prilaku adaptif. Sebaliknya teori Rule-Governed behavior dengan contingency-shaped behavior, seperti dalam kasus percobaan merpati, atau pasien dalam program reinforcement positif untuk mendorong agar dapat berbicara dengan tepat. Salah satu perbedaan antara dua jenis perilaku adalah bahwa aturan mempengaruhi bagaimana perilaku dilakukan, sedangkan reinforcement contingency mempengaruhi tingkat respon dan kemungkinan perilaku yang berlaku (Pierce & Epling, 1995).

3. Analisis Perilaku Terapan
Terapis perilaku berasumsi bahwa prinsip-prinsip pembelajaran instrumental tidak hanya bekerja di laboratorium khusus, tetapi juga di lingkungan alam di mana orang melakukan kegiatan sehari-hari mereka. Demikian pula, proses pembelajaran yang sama dapat dilihat dalam perilaku normal dan abnormal. Memahami perilaku abnormal dalam hal prinsip-prinsip pembelajaran instrumental dapat mengarah langsung untuk perawatan berdasarkan pada prinsip yang sama. Usaha ini dikenal sebagai analisis perilaku terapan.
Menerapkan perilaku belajar operan melibatkan identifikasi masalah operasi kontigensi perilaku. Secara konseptual, dapat digambarkan melalui rumus ABC. Mengidentifikasi kontingensi berarti mengidentifikasi A (kejadian sebelumnya itu), B (perilaku), dan C (konsekuensi atau memperkuat) (Kazdin, 1994a). Dalam banyak kasus ternyata bahwa perilaku yang tidak diinginkan sedang dikelola oleh penguatan positif. Ambil contoh seorang anak yang berulang-ulang bertindak mengganggu di kelas dan guru yang selalu merespon dengan mengatakan dia untuk berperilaku lebih tepat. Pada kejadian sebelumnya termasuk berada di kelas dengan guru tertentu. Perilakunya merupakan aktivitas mengganggu. Konsekuensinya tampaknya peringatan guru kepada anak untuk berhenti bertindak buruk. Formulasi ini segera memunculkan isu bahwa perhatian guru dapat memperkuat perilaku bermasalah. Para terapis perilaku mungkin menyarankan guru untuk mengabaikan anak jika terjadi pengulangan perilaku bermasalah, sehingga untuk menyelidiki kemungkinan bahwa penguatan sosial yang tidak disengaja telah menjaga perilaku masalah.
a) Aplikasi dengan Masalah Perilaku Individu Tertentu
Dalam beberapa penelitian digambarkan seberapa positif penguatan yang sengaja dapat mempertahankan perilaku tidak membantu bagi klien. Hal ini juga menunjukkan bagaimana membalikkan kontingensi, menempatkan perilaku yang tidak diinginkan dalam kondisi tersulit, dapat terbuktikan berharga sebagai terapi.
Ullmann dan Krasner (1975) menyarankan penjelasan tentang gangguan somatoform – keluhan masalah fisik saat investigasi medis mendeteksi ada kelainan – dalam hal belajar operan. Pertama, orang yang mengamati orang lain memperoleh imbalan dari memberikan gejala medis. Kedua, keluhan orang itu sendiri menjadi gejala yang diperkuat. (Orang dengan gangguan somatoform tidak sengaja memberikan gejala palsu. Mekanisme belajar operan dapat mempengaruhi perilaku dengan cara ini tanpa ia memahami dengan jelas apa yang terjadi)
b) Token dalam Perekonomian
Metode penguatan positif telah digunakan secara efektif untuk mendorong pasien jangka panjang di rumah sakit jiwa untuk termotivasi dalam kegiatan sosial dan lainnya yang dapat ditempuh di luar rumah sakit setelah pulang. Dalam token grup pasien, seringkali seluruh bangsal rumah sakit, berpartisipasi dalam program tertentu untuk memotivasi kembali, dan perilaku yang ditunjukan segera diperkuat. Motif penguat yang digunakan adalah token, unit standar seperti kepingan poker, yang dapat dibagikan dengan mudah oleh staf bangsal. Token Ini kemudian ditukar dengan penguatan yang lebih nyata, seperti permen, hadiah kecil, atau hak rekreasi tambahan.
Token penguatan dimungkinkan karena fenomena penguatan yang dikondisikan (juga dikenal sebagai “penguat sekunder”). Motif penguat yang dikondisikan seperti token mengakibatkan mereka untuk memperkuat perilaku. Motif penguat seperti makanan, air, dan aktivitas seksual diasumsikan motif penguat yang primer, karena orang tidak harus melalui prosedur pendidikan khusus agar rangsangan-rangsangan untuk memperkuat perilaku timbul. Program ini berlangsung sekitar enam bulan, dan penilaian tindak lanjut dilakukan enam bulan setelah penghentian proyek. Dibandingkan dengan pengobatan tradisional, masalah pemecahan / intervensi penguatan dikaitkan dengan lebih banyak interaksi sosial, kurangnya perilaku patologis, pengurangan penggunaan obat, rawat inap lebih pendek, dan interval lebih lama sebelum rawat inap kembali.

4. Keterampilan Sosial dan Pelatihan Pemecahan Masalah
Pasien rawat inap dengan gangguan kronis sering mengalami defisit dalam keterampilan interpersonal yang ditandai, penilaian sosial, dan konflik kemampuan resolusi, kemampuan yang diperlukan untuk berfungsi normal di masyarakat. Sejak 1970-an terapis perilaku telah berfokus pada pengajaran keterampilan pemecahan masalah sosial bagi penderita skizofrenia agar dapat kembali ke lingkungan masyarakat (Curran, Monti, & Corriveau, 1982).
a) Teknik Pelatihan Keterampilan Sosial
Defisit dalam kompetensi sosial cenderung menjadi dasar terbentuknya banyak psikopatologi (Trower, 1995; Zigler & Philips, 1960), dan bentuk awal terapi perilaku yang telah menggunakan teknik pelatihan ketrampilan sosial dalam pengobatan berbagai gangguan, mulai dari fobia sosial hingga skizofrenia. Buku Teknik Perilaku yang ditulis oleh Wolpe dan Lazarus (1966), menjelaskan prinsip-prinsip pelatihan ketegasan dan terkait konsep pelatihan keterampilan sosial, memberikan dorongan awal untuk pekerjaan ini. Pelatihan ketrampilan sosial (SST) menjelaskan kelompok teknik tertentu, termasuk instruksi, pemodelan, latihan perilaku, pujian, keinginan, pelatihan, umpan balik, penguatan, dan pekerjaan rumah (Curran et al, 1982;. Trower, 1995). SST cocok untuk beberapa pasien rawat inap kronis, tetapi lebih tepat secara umum untuk pasien rawat jalan atau untuk pasien rawat inap yang mungkin memperkirakan secara realistis akan kembali ke masyarakat. Bahkan pada mereka dengan prognosis yang paling menjanjikan, sesi pengobatan dapat berlangsung selama enam bulan.
Komponen utama dari SST adalah kombinasi dari pemodelan dengan latihan perilaku (bermain peran), teknik yang bertujuan membuktikan hipotesis mengenai defisit dalam keterampilan (Bellack & Morrison, 1982). Teknik-teknik terkait latihan ketidaksensitifan berguna bila kecemasan sosial juga hadir (Piaget & Lazarus, 1969). Prosedur ini menggabungkan pelatihan keterampilan dengan pengurangan kecemasan dengan memasukkan ke dalam prosedur bermain peran beberapa elemen ketidaksensitifan sistematis. Terapis dan klien melanjutkan dengan hati-hati melalui hirarki item bermain peran, kehati-hatian dinilai untuk mengetahui tingkat kecemasan yang diperoleh.
Goldstein, Sprafkin, dan Gershaw (1976) menggambarkan terapi pembelajaran terstruktur yang meliputi tidak hanya pemodelan, peran-bermain, dan elemen penguatan sosial, tetapi juga mentransfer pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan perluasan dari efek pengobatan untuk kehidupan pasien di masyarakat setelah meninggalkan rumah sakit.
b) Terapi Pemecahan Masalah
Mengutip bukti bahwa pasien psikiatri rumah sakit memiliki masalah dengan “pemecahan masalah antarpribadi kognisi,” dijelaskan Siegel dan Spivack (1976) program pemecahan masalah terapi untuk pasien kronis. Program mereka melibatkan serangkaian latihan berurusan dengan identifikasi masalah, definisi tujuan, evaluasi solusi, evaluasi alternatif, dan pemilihan solusi terbaik (Kendall, 1987). Unsur lain program termasuk belajar untuk menilai emosi yang ditampilkan oleh orang-orang dalam gambar majalah dan belajar untuk mengajukan pertanyaan cerdas dalam permainan menebak. Permainan menebak tampaknya sangat bermanfaat sebagai penangkal gangguan pikiran. Penelitian lebih lanjut telah mengkonfirmasi nilai pelatihan pemecahan masalah untuk pasien kronis dalam pengaturan rehabilitasi dan masyarakat di Amerika Serikat dan Australia (Bellack & Mueser, 1994; Hansen, St. Lawrence, & Christoff, 1985; Hayes, Halford, & Varghese, 1995; Payne & Halford, 1990). Keterampilan sosial kontemporer dan program pemecahan masalah dimulai dengan penilaian dari tuntutan pengaturan klien, daripada membekali dia dengan keterampilan yang diperlukan untuk berfungsi secara efektif dalam pengaturan (Trower, 1995, hlm 73).

B. Prosedur Modifikasi Kognitif
Pendekatan terapi holistik yang dikenal sebagai terapi kognitif-perilaku, diambil dari model-model teoritis perilaku dan kognitif dan menerapkan teknik terapi perilaku kognitif dan prosedur modifikasi dalam pengobatan gangguan psikologis. Dalam bagian ini kita akan menjelaskan prosedur yang paling dikenal yakni modifikasi kognitif. Berbagai istilah yang umum digunakan untuk label prosedur ini. Terapi kognitif dikaitkan secara khusus dengan pendekatan Aron T. Beck (Beck, 1976, 1995; Beck, Rush, Shaw, & Emery, 1979; Beck & Weishaar, 1995), awalnya difokuskan pada depresi tapi sekarang diperluas ke berbagai bagian aplikasi , termasuk gangguan kecemasan, gangguan makan, masalah perkawinan, gangguan kepribadian, dan bahkan gejala-gejala akut dan kronis skizofrenia. Restrukturisasi kognitif telah digunakan terutama oleh Arnold Lazarus (1995) untuk menggambarkan salah satu komponen utama dari terapi multimodalnya. Modifikasi perilaku kognitif yang digunakan oleh Donald Meichenbaum (1977, 1995) untuk menggambarkan intervensi perintis yang didasarkan pada studi eksperimental aslinya. Kami menggunakan prosedur modifikasi kognitif di sini sebagai istilah umum untuk bentuk-bentuk ini dan yang sejenis intervensi terapeutik.
1. Modifikasi Kognitif-Perilaku
a) Pelatihan Instruksional Diri
Teknik Meichenbaum terinspirasi dari beberapa temuan yang tidak terduga dari dua studi awal penelitiannya. Salah satunya mengajarkan keterlibatan dengan skizofrenia untuk berbicara secara tepat dalam satu per satu percakapan. Sebaliknya dengan beberapa teknik terapi perilaku awal, intervensi ini memberikan hasil yang abadi yang secara umum untuk mengatur secara khusus lokasi yang spesifik pada perlakuan yang telah diberikan. Meichenbaum tersentak oleh beberapa metode yang digunakan pasien untuk membantu diri mereka sendiri yang telah menghasilkan perilaku yang tepat. Mereka mengulangi instruksi yang telah diberikan oleh peneliti. Pasien menggunakan manfaat instruksi diri yang efektif dalam membimbing perilaku mereka yang tepat (Meichbaum, 1977). Berdasarkan penemuan ini, Meichbaum mulai mengembangkan sebuah strategi yang disengaja untuk mengajari pasien menggunakan self-guiding (kemampuan berbicara untuk tujuan terapi). Ia mengembangkan dan menguji teknik ini melalui self instructional training dan menerapkannya pada perilaku anak yang impulsive dan kelompok klinis lainnya (Meichenbaum & Goodman, 1971). Pengaruh lainnya dari Meichenbaum bagi kognitif-modifikasi perilaku adalah dari penemuan sebuah studi mengenai perilaku dalam kecemasan berbicara.
Untuk memperbaiki beberapa kekurangan, Meichenbaum, Gilmore, dan Fedoravicius (1971) merancang sebuah penelitian untuk menyediakan tes yang lebih definitif, membandingkan SD dengan bentuk terapi wawasan dengan prosedur yang dapat didefinisikan dengan kejelasan yang cukup dan presisi. Bentuk terapi wawasan mereka kemudian dikenal sebagai rasional emotif terapi (RET) (Ellis, 1962), pendekatan yang dilihat sebagai terapi wawasan yang termasuk dalam kategori yang luas dari intervensi psikodinamik tradisional.
Dalam studi Meichenbaum dan rekan-rekannya (1971), pengobatan dilakukan dalam kelompok, tidak dalam sesi pengobatan individu, dan versi eksperimental RET, beralbel training instruksioanl diri (SIT) untuk tujuan penelitian, menggantikan terapi wawasan. Peserta dalam kondisi SIT diminta untuk berpikir tentang tes berbicara mereka yang telah diberikan kepada mereka sebelum penonton yang menilai sebagai bagian dari penilaian pra-pengobatan, untuk mengingat kembali apa yang mereka pikirkan dalam situasi tersebut (misalnya, “Bagaimana jika saya membuat pidato ini berantakan?”), dan untuk merefleksikan bagaimana membantu atau sebaliknya jika yang dipikirkan itu terjadi. Akhirnya, mereka berlatih pernyataan yang mencerminkan sikap yang lebih produktif, (misalnya, “Saya hanya akan berkonsentrasi pada pengorganisasian pikiran saya dan mengambil satu langkah pada satu waktu. Ini akan segera berakhir”). Dalam hal lain prosedur dalam penelitian ini sangat mirip dengan Paulus dan rekan-rekannya, tetapi hasilnya secara dramatis berbeda. Kedua perawatan itu terbukti efektif, hasilnya mengesankan. Ada indikasi tambahan pada SIT yang mungkin sangat berguna bagi mereka yang mengalami kecemasan sosial umum, juga muncul dalam banyak situasi di luar berbicara di depan umum.
b) Pelatihan Inokulasi Stress
Didorong oleh keberhasilan pengobatan yang berbasis pada instruksi mengubah diri, dan melalui indikasi yang menyebabkan peningkatan keterampilan koping, Meichenbaum (1977) selanjutnya meneliti pengobatan untuk pencegahan. Alih-alih bertujuan untuk pengobatan pada suatu masalah tertentu yang sudah dikembangkan, ia berusaha untuk merancang prosedur untuk membekali klien dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk mencegah masalah di masa depan. Dalam pelatihan inokulasi stres, prosedur pengobatan berlangsung melalui tiga fase, yaitu:
• Pada tahap pendidikan, klien diberikan penjelasan tentang peran pola berpikir yang tidak membantu dan memelihara emosi yang tidak menyenangkan serta perilaku disfungsional.
• Pada tahap latihan, klien praktik membuat coping pernyataan diri (self statement) yang dirancang untuk membantu menangani stres.
• Pada tahap aplikasi, klien menggunakan keterampilan mengatasi stres yang dihadapi.
Salah satu aplikasi inokulasi stres dalam mengendalikan amarah (Novaco, 1975) seperti di aplikasi lain, fase latihan dibagi menjadi empat unsur;
1. Mempersiapkan stressor
2. Menghadapi dan menangani stressor
3. Mengatasi rasa kewalahan oleh stressor,
4. Self-congratulation setelah mengalami stress.
Sebagai contoh, sebuah stressor untuk satu klien adalah ketika orang lain memandangnya dengan cara yang tidak ramah. Kecenderungan yang terjadi adalah klien akan cepat melabuhkan pikiran bahwa ia merasa dihakimi, diremehkan, dan dikritik oleh orang lain, dan hasil yang biasa adalah pertarungan tinju dan penangkapan untuk perilaku tidak tertib.
Contoh self-statement yang baru bagi klien yang dapat dipraktekkan dalam terapi adalah :
a. Preparing (ketika akan memasuki sebuah bar, misalnya): “Saya bisa mengembangkan rencana untuk menangani situasi ini sehingga saya tidak akan kehilangan kendali”
b. Confronting : berhadapan dengan hal yang membuatnya merasa tidak nyaman (pria lain menatapnya angkuh)
c. Feeling Overwhelmed : Merasa kewalahan (pria bertengkar dengan dia): “Bahkan sekarang, aku masih bisa mengatasinya. Ini provokasi yang kuat, tapi aku bisa santai dan meredakan situasi ini. Semua harus saya lakukan dengan menjaga kepala dingin”
d. Self Congratulation (meninggalkan, setelah menangani situasi tersebut): “Saya dapat menangani dengan benar-benar baik, mengingat bahwa saya memiliki semacam masalah dengan ini. Tunggu sampai saya memberi tahu terapis saya”
Training inokulasi stress telah diterapkan dan sukses diuji bagi polisi, yang terbiasa bekerja dengan situasi stres dan potensi bahaya.
c) Narasi Konstruktif
Meichenbaum (1995) telah berkomentar tentang metafora sifat dari teori yang kita gunakan untuk menjelaskan perubahan perilaku. Sebagai contoh, ia menyarankan bahwa metafora umum pertama di lapangan yang telah dikondisikan, di mana teori kognisi melihat klien sebagai subjek hukum yang sama sebagai perilaku terbuka. Berikutnya tentang pengolahan informasi, di mana kognisi dipandang sebagai operasi yang sama dengan program perangkat lunak komputer.
Metafora terbaru adalah narasi yang konstruktif, di mana klien yang datang dipandang sebagai “narator atau pendongeng, pembuat cerita, dan pembuat makna” (Meichenbaum, 1995,p.149). menggunakan metafora ini, terapis membantu klien mereka untuk mengubah cerita mereka, untuk membingkai ulang peristiwa stress dalam hidup mereka, untuk “menormalkan” pengalaman mereka, untuk mengembangkan sebuah “teori penyembuhan” dari apa yang terjadi, dan akhirnya untuk membangun “dunia pengandaian” dan cara baru untuk melihat diri mereka sendiri. Perlakuan berbasis model ini memiliki unsur-unsur yang sama dengan terapi psikodinamik kontemporer singkat, dan Meichenbaum optimis tentang potensi integrasi akhir dari terapi psikodinamik dan terapi kognitif-perilaku.

2. Rational-Emotive Behavior Therapy
Albert Ellis (1962) mengembangkan sebuah teknik modifikasi kognitif pada tahun 1950 dengan nama asli rasional-emotif terapi (RET). Awalnya dilatih dalam terapi psikodinamik, namun akhirnya menolak. Karyanya pada RET lahir dari kepentingan sebelumnya dalam filsafat, terutama karya Stoic (filsuf Yunani dan Romawi kuno, seperti Epictetus dan Marcus Aurelius, yang mencoba untuk menerima peristiwa dengan pikiran yang tenang). Mereka berpendapat bahwa orang bisa lebih atau kurang mentolerir setiap kesulitan tanpa kesedihan yang berlebihan. Rahasianya adalah untuk mengenali bahwa orang tidak terganggu oleh peristiwa. Terapi Ellis bertujuan untuk membujuk pelanggan untuk menantang pandangan yang membuat mereka merasa tidak berguna, cemas, depresi atau marah. Walaupun fokusnya adalah mengidentifikasi lebih erat ide-ide rasional dengan ide irasional.
Ellis (1979) telah mengklaim bahwa teknik-nya tidak hanya melibatkan perubahan kognitif, tetapi juga mencakup sebagian besar teknik terapi perilaku, terutama alokasi kegiatan kehidupan nyata, prosedur manajemen diri dan tugas-tugas latihan. Untuk alasan ini ia berganti nama pendekatan rasional-emotif terapi perilaku (REBT) di 4990s (Ellis, 1995). Ellis menjelaskan filosofi dan teknik sebagai berikut: REBT adalah pendekatan kognitif-emotif untuk psikoterapi-Behavioristik yang dirancang untuk memungkinkan orang untuk mengamati, memahami dan terus-menerus irasional mereka bersengketa, megah, perfeksionis, keharusan, tugas indikatif dan tidak dapat dihindari.
Ia menggunakan metode logis-empiris melalui ilmu pengetahuan untuk mendorong orang untuk menyerah sihir, dan kutukan mutlak; untuk mengakui bahwa tidak ada kesakralan atau semuanya sangat penting (meskipun banyak yang sangat tidak menyenangkan dan tidak nyaman), dan secara bertahap mengajari diri sendiri dan untuk mempraktekan filosofi keinginan daripada menuntut dan bekerja untuk mengubah apa yang dapat mereka ubah dan lemah dengan apa yang tidak bisa mereka lakukan. (Ellis, 1995, hal 194). Keyakinan klien yang dapat memobilisasi ada dua macam, rasional (RBS) dan irasional (IBS). Keyakinan rasional meliputi: “saya pasti benci berada dalam situasi ini. Aku tidak menyukainya sedikit pun. Yah, tidak ada rasa mengeluh tentang hal itu. Saya akan melakukan yang terbaik untuk mengubah hal-hal jika saya bisa. Tapi bahkan jika aku tidak bisa, aku akan menghadapinya bagaimana pun caranya.
Jika klien dibiarkan seperti itu, emosi yang muncul mungkin kekhawatiran atau kesedihan daripada depresi atau putus asa yang mendalam. Kesedihan cukup mudah untuk diatasi, tetapi depresi tidak. Depresi dan putus asa mungkin akan menjadi hasil dari keyakinan irasional seperti ini: “Saya mendapatkan apa yang saya inginkan. Saya tidak seharusnya mendapatkan perlakukan dengan cara yang tidak saya sukai. Tapi saya hanya bisa diperlakukan seperti ini. Ini benar-benar mustahil, krisis belum pernah terjadi sebelumnya dan saya tidak bisa mengerti atau mentolerir”. Ellis menunjukkan bahwa keyakinan irasional biasanya mencakup ide-ide umum pada situasi yang tidak seharusnya terjadi. Jika terjadi, maka itu sangat buruk dan mengerikan dan kita tidak mungkin bertahan.
Terapis bergerak ke D pada progres, membantah keyakinan irasional, mencatat bahwa keyakinan ini tidak realistis dan sia-sia. Untuk menantang keyakinan berbahaya, terapis meminta klien untuk berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Mengapa hal-hal berjalan seperti yang Anda inginkan? (Anda dapat memilih hal-hal dengan cara tertentu, diberikan, tetapi mengapa mereka harus menjadi seperti yang diinginkan), mengapa hal-hal mengerikan jika tidak berjalan seperti Anda inginkan (menyusahkan, ya, rasa sakit di leher, ya, tetapi hanya mengerikan!) Dan? mengapa Anda tidak bisa bertahan? (Ini tantangan, tanpa diragukan lagi, tapi itu tidak berarti tidak mungkin bertahan!)”
Ellis telah menganjurkan tekniknya berpotensi berlaku untuk masalah apapun, karena klien selalu senang atau puas dengan sesuatu. Itu berarti REBT yang dapat diterapkan pada keadaan emosional negatif dari klien, apa pun itu, dengan mengidentifikasi dan berselisih keyakinan irasional tentang situasi. Dalam pandangan Ellis, setiap orang rentan berpikir rasional.

3. Cognitive Therapy
Yang paling menonjol dari modifikasi prosedur kognitif terkemuka adalah terapi kognitif Aaron T. Beck, seorang psikiater terbaik yang dikenal dalam karyanya tentang depresi. Terapi kognitif dan terapi perilaku rasional emotif memiliki beberapa fitur yang sama. Keduanya dikembangkan pada tahun 1950, keduanya melibatkan eksplorasi keyakinan dan pencetus dari metode ini pada awalnya sama-sama dilatih dalam terapi psikodinamik. Beck menolak teori psikoanalitik karena ia tidak setuju dengan gagasan bahwa klien depresi menunjukkan permusuhan retroflected (atau “kemarahan berbalik ke dalam”). Pengalamannya dengan pasien stres rawat jalan dan mencoba untuk menyembuhkan melalui melihat potensi untuk mengeksplorasi, dan merubah sistem kepercayaan non-adaptif. Hal ini dicapai tidak hanya dengan bentuk perdebatan rasional, seperti dalam REBT, tetapi juga dengan mendorong klien untuk mencoba “eksperimen” spesifik dalam kehidupan nyata untuk membantu menantang asumsi yang salah. Pusat untuk model terapi kognitif Beck adalah tiga konsep dasar, yakni :
1. Triad Kognitif  Ketika klien depresi, dia biasanya berdiam pada pikiran negatif atau pesimis tentang dirinya sendiri, dunia, dan masa depan (misalnya, “Saya tidak baik; prospek sangat miskin, dan tidak ada harapan untuk berubah menjadi lebih baik “). Diri, dunia, dan masa depan (trias kognitif) dari pikiran pesimis yang memerlukan pemeriksaan dalam kasus yang sangat depresi (Beck & Weishaar, 1995; Freeman & Reinecke, 1995).
2. Skema Kognitif  Beck mengamati bahwa klien depresi cenderung menafsirkan pengalaman mereka atas dasar global, keyakinan mutlak, seperti “Saya dicintai”. Keyakinan tersebut diberi label oleh Beck sebagai skema kognitif. Setiap peristiwa berpotensi relevan dengan kepercayaan seperti akan segera ditafsirkan dalam hal skema (Beck, 1995). Sebagai contoh, jika seorang wanita berada dalam keadaan yang depresi, dan pasangannya tidak menelepon di malam hari seperti yang dijanjikan, ia akan menyimpulkan bahwa ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa ia tidak dicintai. Pandangan Beck adalah bahwa skema tersebut hanya aktif selama keadaan gangguan, seperti ketika depresi, dan ketika tertidur. Schema bisa mengembangkan awal kehidupan dalam menanggapi suatu peristiwa penting. Misalnya, ketika teman terbaik Anda pindah ketika Anda 7 tahun, Anda bisa menyimpulkan. “Setiap kali Anda benar-benar menyukai seseorang, mereka meninggalkan engkau.” Menurut teori, jika peristiwa serupa terjadi di kemudian hari, bisa memicu keadaan depresif.
3. Distorsi Kognitif  Klien mengalami distorsi kognitif tertentu selama dalam keadaan depresif. Beck membagi beberapa daftar ini, seperti abstraksi selektif, mengacu pada respon berlebihan pada aspek negatif dari situasi.
Menurut Beck, model depresi ditetapkan sejak awal kehidupan, dari skema negatif tentang kehilangan, pribadi tidak berharga, atau sejenisnya. Skema ini dipicu pada tahun-tahun kemudian dengan terjadinya peristiwa yang relevan. Klien memasuki keadaan depresi, triad kognitif dan berbagai distorsi kognitif muncul. Pengobatan difokuskan pada pikiran negatif dan mendorong klien untuk menguji asumsi pesimis empiris.
Beberapa penelitian telah memberikan dukungan untuk teori postulat Beck. Gagasan umum bahwa pola berpikir tertentu yang berkorelasi dengan wilayah mood tertentu telah dibuktikan dalam serangkaian penyelidikan. Lapointe dan Harrell (1978) mengembangkan kuesioner pada pikiran, perasaan, dan diuji dengan populasi mahasiswa. Sebuah versi terbaru dari kuesioner, Pernyataan Situasional Diri dan Inventarisasi Bagian Afektif (SSSASI; Harrell, Chambless, & Calhoun, 1981) diberikan pada relawan dengan sketsa tentang situasi umum yang melibatkan frustrasi atau kekecewaan. Para siswa menunjukkan mana pikiran dan perasaan mereka yang cenderung diungkapkan jika mereka berada di situasi kehidupan nyata. Sebagai contoh, sketsa mungkin membaca, “Misalkan Anda memasukan salah satu lukisan Anda dalam sebuah kontes seni. Anda memiliki harapan yang tinggi untuk memenangkan hadiah pertama, tetapi Anda bahkan tidak mendapatkan apresiasi (Harrell et al, 1981). Selanjutnya, para peserta akan mengindikasikan seberapa besar kemungkinan bagi mereka untuk setiap pengalaman dari sekelompok perasaan dan masing-masing dari kelompok pemikiran. Perasaan marah, curiga, cemas, depresi, dan peduli. Sebuah contoh dari jenis pemikiran yang berkorelasi dengan perasaan “tertekan” adalah: “Aku mungkin juga menyerah pada seni. Aku tahu, jauh di lubuk hati, bahwa saya akan gagal. Dan tidak layak mencoba apa-apa lagi.”
4. Restrukturisasi Kognitif
Arnold Lazarus (1973,1995) memperkenalkan terapi model multimodal, merekomendasikan bahwa dokter harus memperhatikan tujuh modalitas fungsi klien dalam penilaian dan pengobatan, modalitas tersebut adalah : Perilaku, Mempengaruhi, Sensasi, Pencitraan, Kognisi, Hubungan interpersonal, dan Obat / Diet. Sebagai contoh restrukturisasi kognitif Lazarus (1995) mengutip: “Perubahan dalam pemikiran dikotomis, menenggak diri, generalisasi yang berlebihan, imperatif kategoris, sequiturs, dan keinginan yang berlebihan untuk persetujuan” (p.341). Dengan terlibatnya kognisi dalam daftarnya tentang modalitas, Lazarus membantu mendirikan prosedur modifikasi kognitif antara psikolog klinis. Teknik restrukturisasi kognitif tampaknya sangat mirip dengan REBT dan terapi kognitif. Misalnya, Lazarus (1973) membantu banyak klien dengan pikiran-pikiran menyedihkan (seperti “Saya lebih rendah, jahat, dan layak untuk menderita”) dengan cara perdebatan rasional dan self-talk korektif (p.409). Seperti Beck, ia juga membahas kesalahan dalam bentuk pemikiran serta dalam konten. Misalnya, dengan klien yang cenderung over generalize, Lazarus akan membantu mereka untuk memeriksa hal yang tidak masuk akal, yang terlibat secara rinci sehingga mereka memahami kesalahan logis dan bagaimana untuk memperbaikinya. Lazarus juga memasukan modalitas kognitif kedalam bidang ketidaktahuan atau misinformasi, seperti kurangnya pengetahuan klien tentang seksualitas.

5. Coping dan Pemecahan Masalah
Marvin Goldfried (1980) mengambil perspektif yang lebih luas daripada yang lain, Goldfried menunjukkan bahwa klien memerlukan lebih dari solusi yang spesifik untuk masalah tertentu. Seorang klien yang takut kucing dapat diobati dengan desensitisasi sistematis, misalnya, untuk mengahapus rasa takut. Tetapi tidak semua klien mempunyai kemampuan yang dibutuhkan untuk menangani kecemasan lain yang mungkin terjadi dalam proses kehidupannya yang beragam.
D’zurilla dan Goldfied (1971) menggambarkan penggunaan umum pemecahan masalah sebagai strategi terapi. Aplikasi ini potensial di banyak bidang fungsi klien. Ia mendorong klien untuk mengadopsi sikap aktif terhadap masalah hidup sehingga ia bisa melangkah mundur dan berpikir tentang hal itu, mendefinisikannya, menghasilkan alternatif solusi, membuat keputusan, dan mengaplikasikannya. Pendekatan ini memiliki beberapa kesamaan dengan teknik pelatihan instruksional diri yang Meichenbaum dan Cameron (1973) gunakan untuk meningkatkan perhatian dan berpikir. Pendekatan ini juga mengajarkan klien untuk berhenti, berpikir ke depan, mengingatkan diri pada tugas yang dihadapi, dan sebagainya.
Goldfield (1980) menggunakan pelatihan ketrampilan coping yang mencakup apa pun dari kesehatan fisik dan kebugaran untuk bergabung dengan komunitas yang lebih besar. Dia berfokus pada empat bidang, diantaranya: pemecahan masalah, relaksasi, restrukturisasi kognitif, dan keterampilan komunikasi. Dalam pembahasannya tentang relaksasi, misalnya, ia mengkritik desensitisasi sistematis, yang menempatkan klien dalam suatu peran pasif. Alih-alih melindungi klien dengan hati-hati dari kecemasan, Goldfried berpendapat, terapis lebih baik mendorong klien untuk menerima kecemasan dan belajar untuk mengatasi hal itu selama sesi pengobatan. Hal ini akan membekali dia jauh lebih baik untuk dunia nyata.

C. Terapi Kognitif-Perilaku : Aplikasi Spesifik
Untuk mengilustrasikan aplikasi terfokus metode kognitif-perilaku untuk gangguan tertentu, kami memilih kategori gangguan kecemasan, gangguan berkonsentrasi pada gangguan panik, fobia, gangguan kecemasan umum, gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan stres pasca trauma. Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa tidak setiap masalah klinis memiliki suatu teknik pengobatan yang cocok untuk digunakan di semua sindrom.
1. Gangguan Panik
Pada panic disorder, klien berulang kali mengalami serangan panik tidak terduga, setidaknya satu bulan atau lebih, dan dikhawatirkan memiliki serangan lebih lanjut. Gangguan panik terdapat dua bentuk, gangguan panik tanpa agrophobia dan gangguan panik dengan agrophobia, didefinisikan tentu saja oleh kehadiran atau tidak adanya agrophobia.
Serangan panik adalah periode ketakutan tertentu yang intens atau tekanan dengan setidaknya empat dari tiga belas daftar gejala berikut, dimana masing-masing gejala dapat berkembang pesat dan mencapai puncaknya dalam waktu 10 menit, yaitu: jantung berdebar-debar, palpitasi, berkeringat; gemetaran; sesak napas, perasaan tersedak; nyeri dada, mual, rasa lemah, pusing, kunang-kunang; adanya perasaan ketidaknyataan, takut kehilangan kontrol atau menjadi gila; takut mati selama serangan panik datang; sensasi tubuh yang tidak biasa, dan menggigil atau demam. Agropohobia melibatkan kecemasan ketika berada di situasi yang tidak akan membiarkan individu itu dengan mudah menghindarinya (seperti jauh dari rumah, berada di tempat umum yang penuh sesak, dan ketika menggunakan transportasi publik).

2. Fobia dan Gangguan Obsesif Kompulsif
Fobia adalah ketakutan irasional dari situasi tertentu atau objek, sehingga adanya keinginan yang kuat untuk menghindarinya. Individu mengakui bahwa rasa takut adalah berlebihan atau tidak masuk akal, tapi tetap merasa tidak mampu mengendalikan fobia. Pada fobia sosial klien tertekan oleh kecemasan yang diamati secara kritis oleh orang lain, ditambah dengan rasa takut melakukan sesuatu yang memalukan. Orang hampir selalu mengalami kecemasan dalam situasi seperti itu dan sering menghindari mereka. Kategori ini pada dasarnya adalah pengelompokan fobia spesifik yang memiliki kesamaan tema sosial-evaluatif kecemasan.
Contoh umum adalah takut berbicara di depan publik, wawancara pekerjaan, atau makan di restoran. Dalam fobia spesifik klien memiliki fobia dari setiap objek atau situasi perticular selain situasi fobia agoraphobic atau sosial. Fobia kekhawatiran spesifik seperti hewan kecil atau serangga, ketinggian, kegelapan, atau kurungan, dan darah, cedera sakit. Masalah yang penting dalam Obsessive-Compulsive Disorder adalah
a. Kekhawatiran, gangguan berfikir, ide atau gambar
b. Mengulang suatu perbuatan, sementara menyadari bahwa adalah tidak masuk akal dan tidak perlu

3. Gangguan Kecemasan Umum (GAD)
Generalized anxiety disorder mengacu pada pola membesar-besarkan kecemasan dan kekhawatiran tentang orang dengan keadaan hidup yang biasanya. Klien merasa sulit untuk mengontrol kecemasan dan memperlihatkn beberapa simptom seperti gelisah, susah berkonsentrasi, tekanan otot dan sulit tidur. Pola kecemasaan dikarenakan kesedihan atau kerusakan dalam hubungan sosial.

4. Teori Kondisional-Kecemasan
Proses classical conditioning memberikan penjelasan tentang beberapa fenomena kecemasan. Asumsinya adalah bahwa ketakutan objek yang berlangsung lama atau situasi berbahaya yang tidak bisa diperoleh melalui asosiasi yang disengaja dengan stimulus yang memicu rasa takut (seperti yang terjdi pada fase alarm) (Barlow, 1988). Dalam hal ini, kecemasan merupakan respon terkondisi yang diduga akan padam ketika stimulus terkondisi (conditioned stimulus) dan objek fobia, dihadapkan berulang kali tanpa adanya stimulus berkondisi tidak menyenangkan. Prosedur desensitisasi sistematis Wolpe (1958) memungkinkan kecemasan yang diderita klien hilang ketika klien menghadapi situasi takut tanpa menyebabkan stress.
Penjelasan classical conditioning tentang kecemasan bisa diterapkan ketika klien takut akan sesuatu objek khusus, seperti pada gangguan fobia dan gangguan obsesif-kompulsif. Tapi hal ini lebih sulit bagi prinsip-prinsip classical conditioning untuk mengakomodasi gangguan panik (panic disorder) dan gangguan kecemasan umum, karena tampaknya gangguan-gangguan ini tidak melibatkan rangsangan tertentu. Selanjutnya, pengkondisian klasik tidak menjelaskan gangguan kecemasan yang bersifat terus-menerus.
Mowrer (1947, 1960) mengajukan teori dua faktor atau dua proses (a two factor or two process theory) untuk menjelaskan mengapa kecemasan tampaknya tidak padam atau hilang dengan cara yang diprediksi oleh prinsip-prinsip pengkondisian klasik. Dia mennyatakan bahwa pengkondisian klasik bekerja secara beriringan dengan proses kedua untuk mempertahankan kecemasan klinikal. Proses kedua adalah belajar operan (operant learning) pada perilaku melarikan diri dan perilaku menghindar. Dengan kata lain, pertama, kecemasan diperoleh oleh pengkondisian klasik, ketika stimulus yang sebelumnya tidak berbahaya dipasangkan dengan peristiwa aversif (yang tidak disukai) dengan sengaja. Kedua, karena situasi mendapatkan respon terkondisi dari kecemasan sehingga memberikan dorongan untuk selalu menghindari. Menghindari dari situasi yang ditakuti ditakuti secara terus-menerus, mencegah ketakutan untuk hilang. Dan melarikan diri dengan cepat saat berhadapan dengan obyek yang ditakuti sangat membatasi keterbukaan klien hanya sesaat, dan waktu ini tidak untuk memungkinkan menghilangkan kecemasan yang dialami (Wilson, 1973).
Rachman (1971, 1976) berpendapat bahwa obsesif-kompulsif mirip dengan fobia, dan teori dua-faktor berlaku untuk keduanya. Pikiran obsesif mirip dengan fobia dalam menjadi rangsangan yang menimbulkan kecemasan yang terkondisi. Perilaku ritual klien atau perilaku kompulsif berfungsi sebagai respon pelarian yang membuat obsesi sulit untuk menghilang.
Argument Seligman (1971) yang menyatakan bahwa walaupun seseorang memiliki rasa takut akan beberapa hal lebih dari hal yang lain, pengkondisian klasik masih bisa beroperasi ketika fobia muncul. Ia mengemukakan konsep kesiapan biologis yang menunjukkan bahwa rangsangan yang menonjol dalam fobia dan obsesi adalah hal-hal yang selalu akan berpotensi mengancam manusia. Koneksi stimulus-respon yang disiapkan secara biologis adalah penting, mudah dikondisikan, dan lama untuk dihilangkan.
Marks (1981a) berhasil mengembangkan perawatan untuk agoraphobia dan gangguan obsesif kompulsif dengan menggunakan studi blocking dari gambar Baum, atau pencegahan respon (response prevention), pada hewan. Teknik ini sangat sukses dalam mempromosikan teknik untuk menghilangkan kecemasan yang dikondisikan. Prosedur blocking yang setara secara klinis adalah metode paparan (exposure method), exposure in vivo (dalam kehidupan nyata) dan paparan dengan respon pencegahan (exposure with response prevention)–klien tetap dalam kontak dengan rangsangan yang sangat ditakuti tanpa melarikan diri, untuk waktu yang lama (jika diperlukan), sampai pada tahapan penurunan kecemasan.

5. Teori Kognitif-Kecemasan
Pada gangguan panik (panic disorder), klien mengalami pengalaman yang mengejutkan dan yang terjadi secara tiba-tiba yang tidak dapat menjelaskan dari kecemasan yang cepat memuncak dalam serangan panik yang menakutkan. Hal ini dimulai dengan sensasi tubuh yang dalam keadaan normal. Interpretasi ini membangkitkan kecemasan lebih lanjut dan menghasilkan sebuah lingkaran setan di mana sensasi normal, akhirnya berkembang menjadi serangan panik. Perkembangan kesalahan interpretasi katastropik (catastrophic misinterpretations) pada sensasi tubuh biasa merupakan pusat teori kognitif dari gangguan panik (Clark, 1986).
Hipotesis terapi kognitif juga telah diterapkan pada gangguan obsesif-kompulsif (Salkovskis, 1985; Salkovkis, Richards, & Forrester, 1995). Salah satu klien memiliki pikiran obsesif tentang memiliki hal-hal yang tersisa dalam kondisi rapi atau berbahaya. Dia bisa mengendarai mobilnya, misalnya. Dan tiba-tiba memiliki pikiran bahwa ia mungkin telah melihat sebuah paku di sisi jalan beberapa mil sebelumnya dan kemudian ia berbalik. “Jika saya tidak kembali dan mengecek, dan -kalau memang ada paku- lalu menyingkirkannya, maka ban mobil seseorang bisa kempes, lalu kehilangan kendali atas mobil mereka, dan mati.” Jadi, dia akan berbelok dan terdorong kembali untuk mencari paku tersebut. Pikiran obsesif dalam hal ini adalah gagasan mengganggu tentang paku, dan secara otomatis ia akan berpikiran bahwa ia disalahkan ketika bencana yang mengerikan terjadi jika ia tidak memeriksa situasi sekitarnya. Menurut Rachman (1978), adalah hal biasa ketika klien sesekali memiliki pikiran mengganggu yang mengganggu akan suatu benda atau gambar, karena semua orang bisa mengalaminya sesekali. Dan yang tidak biasa adalah ketika klien terus memiliki pikiran otomatis, seperti “Saya harus memeriksa,” yang berhubungan dengan kepercayaan berlebihan tentang tanggung jawab pribadi. Keyakinan ini, bukan penggangu bagi mereka, dan hal ini mengarahkan klien untuk memeriksa lagi atau melakukan ritual. Hal ini menyiratkan bahwa terapi kognitif dari gangguan obsesif-kompulsif tidak akan berkonsentrasi pada pikiran mengganggu, tetapi pada pikiran-pikiran otomatis dihasilkan oleh intrusi (pikiran atau hal yang mengganggu), dan keyakinan umum disfungsional skema kognitif yang mendasari pikiran-pikiran otomatis.

6. Intervensi Kognitif-Perilaku
a) Fobia
Pada awalnya perlakuan intervensi behavioral bagi gangguan kecemasan berfokus pada fobia. Penelitian pada 1960an menunjukkan bahwa Desensitisasi Sistematis (SD) sanagt membantu dalam perawatan individu dengan fobia yang spesifik, tetapi lebih efektif jika diaplikasikan pada klien agoraphobia dalam seting klinis.
Penelitian yang paling terkenal mengenai SD dengan klien fobia adalah yang dilakukan oleh Gelder, Bancroft, Gath, Johnston, Mathews, and Shaw (1973). Sampel penelitian sejumlah 36 klien dengan spesifik, secara acak klien diberikan salah satu diantara 3 jenis kondisi perawatan : (a) SD, (b) Imaginal Flooding, (c) “psikoterapi asosiatif” (suatu placebo, kondisi terkontrol dimana klien membuat asosiasi bebas terhadap perumpamaan fobia). Hasilnya yang paling efektif adalah SD dan Imaginal Flooding.
Penelitian mengenai penyembuhan agoraphobia yang dikenal adalah hasil dari Vermont (1960an). Hal yang penting dari hasil penelitian ini adalah bahwa yang paling efektif untuk penyembuhan Agoraphobia adalah dengan program penuh bagi klien untuk berlatih dalam situasi yang nyata. Serta mendapat tanggapan dari terapisnya dari awal penyembuhan.
Barbara Rothbaum dan rekannya adalah yang pertama kali menggunakan prosedur yang berbasik komputerisasi. Teknologi yang dikenal dengan nama Penilaian Eksposur Realitas Maya (VRGE) digunakan dalam perawatan klien dengan fobia ketinggian. Dalam prosedur ini terdapat grafis yang hampir nyata, pelacak gerak tubuh, dan tampilan visual yang terhubung dengan sensor elektromagnetik yang memantau gerakan tubuh klien.
b) Gangguan Obsesif Kompulsif (OCD)
Intervensi bagi penderita OCD cenderung sama dengan yang diberikan bagi penderita Fobia, karena klien keduan gangguan ini mengalami kecemasan yang lebih besar disbanding gangguan lainnya. Beberapa obsesi didorong oleh rangsangan internal dan eksternal, dan obsesi ini yang tidak mudah untuk dirumuskan dalam hal situasional. Banyak klien dengan OCD takut terhadap impuls mereka sendiri, misalnya, khawatir tentang gagasan bahwa mereka mungkin berpikir pikiran yang menghujat. Metode pengobatannya ialah:
• Systematic Desensitization
Studi kasus awal menggambarkan penerapan desensitisasi sistematis (SD) untuk pemikiran obsesif. Worsley (1970) menguraikan perlakuan seorang wanita 24 tahun yang sangat terganggu oleh pisau tajam dan gunting dan oleh gagasan bahwa dia akan melukai seseorang dengan alat tersebut. Pengobatan terdiri dari SD. dengan komponen relaksasi dibantu dengan menggunakan short-acting obat barbiturat. Setelah sesi SD, klien berkembang ke kehidupan nyata. Dua puluh tiga sesi pengobatan diadakan selama lima bulan. Klien merespon dengan baik untuk pengobatan dan masih bebas dari obsesi pada kunjungan follow-up dua tahun kemudian. Meskipun banyak studi kasus seperti ini telah dilaporkan, tinjauan komprehensif dari pengobatan OCD, diselesaikan setelah popularitas SD menurun, mengungkapkan tidak ada studi terkontrol dari teknik ini dalam aplikasi untuk OCD (Beech & Vaughan 1978.).
• Pencegahan respon
Ketika rangsangan eksternal membangkitkan ritual kompulsif, terapis dapat menyarankan klien untuk menghadapi rangsangan tanpa ritualisasi. Prosedur ini dilakukan dengan pencegahan respon, adalah sejajar dengan pengobatan dengan klien dalam situasi fobia dihadapkan tanpa melarikan diri atau penghindaran (Stanley & Wagner, 1994).
• Modelling
Pemodelan juga telah terbukti berguna dalam kombinasi dengan paparan dan pencegahan respon. Terapis menunjukkan urutan perilaku yang tepat ketika perilaku muncul, memberikan kesempatan bagi klien untuk memperoleh keterampilan koping adaptif. Hal ini dapat membantu untuk menunjukkan klien apakah ritual yang dilakukannya tampak cukup normal atau tidak. Pemodelan, eksposur, dan respon-pencegahan dapat menjadi kombinasi teknik yang sangat kuat (Rachman & Hodgson. 1980).
• Ruminator obsesional
Salkovskis (1983) menggambarkan suatu pengobatan ruminator obsesional yang mencoba untuk menetralisir pikiran kekerasan dengan mengulangi mereka persis untuk dirinya sendiri. Pikiran-pikiran obsesif kekerasan adalah rangsangan, dan pikiran menetralkan (mengulangi obsesi dengan cara ritual) adalah tanggapan. Salkovskis berhasil dalam mengobati klien ini dengan mempersiapkan sebuah rekaman dari klien menyuarakan pikiran yang tidak menyenangkan, dan kemudian memutar rekaman itu padanya berulang kali. Perawatan ini mungkin berhasil karena eksposur bisa dilanjutkan tanpa respon melarikan diri (pikiran penetral) yang dibuat. Klien tidak punya waktu untuk menetralisir pikiran masing-masing seperti yang diekspresikan pada audiotape. karena rekaman stimulus berada di bawah kontrol terapis selama sesi terapi dan terapis terus berjalan tanpa jeda.
c) Gangguan Kecemasan Umum (GAD)
Menjadi tantangan bagi perawatan perilaku dari GAD adalah karena tidak terkait dengan situasi tertentu atau pola perilaku yang khas. Bersama dengan gejala somatik berbagai kecemasan, klien mengalami serangkaian kekhawatirkan pikiran atau gambar. Aspek dari masalah ini mengundang eksplorasi oleh terapis kognitif. Tetapi pikiran khawatir yang tidak terorganisir atau sistematis seperti di obsesif-kompulsif, membuat mereka sulit untuk ditangani. Perawatan bagi GAD yakni :
• Thought-stopping
Wolpe (1973) merekomendasikan berhenti berpikir untuk mengganggu khawatiran yang berkepanjangan, dan beberapa kasus menggunakan teknik ini. Terapis meminta klien untuk mulai mengkhawatirkan, dan melakukannya dengan sungguh-sungguh selama beberapa menit. Beberapa detik setelah sinyal klien, terapis tiba-tiba berteriak “Stop!” sambil memukul meja di waktu yang sama. Efek yang biasa adalah klien akan terkejut dan kaget dan pola pikir khawatir menjadi terganggu. Ketika klien mencoba untuk melanjutkan mengkhawatirkan, seringkali sulit untuk mengembalikan pikiran asli. Meskipun demikian, klien dan terapis melanjutkan dengan teknik ini. Akhirnya. klien, bukan terapis, berteriak “Stop” ketika kekhawatiran sedang berlangsung.
• Stimulus kontrol
Deffenbacher dan Suinn (1987) mengusulkan sebuah model dari gangguan kecemasan umum yang menunjukkan empat target intervensi yang sesuai:
(1) mengambil kendali dari setiap stimuli yang mendapatkan kecemasan umum atau khawatir.
(2) mengurangi ketakutan secara umum dengan menggunakan salah satu atau semua teknik yang tersedia,
(3) mengendalikan gairah otonom, dan
(4) mengubah kognisi negatif. Ini strategi pengobatan semua memiliki beberapa dukungan empiris.
Menerapkan metode stimulus kontrol membantu klien untuk membatasi situasi dan kesempatan untuk terjadinya masalah itu. Target dari pendekatan ini adalah kecenderungan kekhawatiran klien sebagian besar waktu dan dalam hampir semua situasi. Borkovec, Wilkinson, Folensbee. dan Lerman (1983) menerapkan teknik ini dengan meminta klien untuk menyisihkan setengah jam “periode khawatir” setiap hari; untuk melacak pikiran yang mengkhawatirkan muncul; setiap kali pikiran mengkhawatirkan muncul, mereka diminta untuk menunda kekhawatiran tentang hal itu sampai waktu yang ditentukan yaitu selama setengah jam.
• Pelatihan relaksasi
Pelatihan Relaksasi adalah komponen utama dari pendekatan pelatihan manajemen kecemasan yang dikembangkan oleh Suinn dan Richardson (1971). Klien dilatih dalam relaksasi dengan cara biasa. Selanjutnya, mereka diajarkan untuk melihat ketika mereka menjadi tegang dan kemudian menggunakan perasaan ketegangan sebagai isyarat untuk bersantai. Latihan relaksasi sendiri dapat menjadi manfaat yang signifikan untuk klien gangguan kecemasan umum.
• Rational Emotive Behavior Therapy
Dalam sebuah studi dengan pasien rawat jalan Community Mental Health Centre, rasional emotif terapi perilaku (REBT) terbukti lebih efektif daripada relaksasi Kemudian studi telah menghasilkan hasil yang agak lebih mendorong untuk intervensi kognitif untuk kecemasan ( Barlow Rapee & Brown, 1992).
• Kombinasi treatment
Pendekatan pengobatan yang paling membantu perilaku untuk gangguan kecemasan umum telah menjadi kombinasi latihan relaksasi dengan beberapa bentuk prosedur modifikasi kognitif. Sebuah kelompok studi prospektif klien GAD dilaporkan oleh Woodward dan Jones (1980). Klien secara acak didistribusikan di antara empat kondisi pengobatan: kognitif restrukturisasi (kombinasi dari terapi perilaku rasional emotif dan pelatihan self-instruksional), desensitisasi sistematis (termasuk penggunaan citra coping), kombinasi dari restrukturisasi kognitif dan SD, dan tanpa pengobatan. Kelompok perlakuan kombinasi intervensi jelas yang paling sukses; klien dalam kondisi ini membuat perbaikan klinis yang signifikan, sementara mereka dalam kondisi lain menunjukkan perubahan terapi sedikit. Prosedur perawatan kognitif berasal dari inokulasi stres dan metode terapi kognitif.
d) Gangguan Panik
Studi awal difokuskan pada pelatihan relaksasi dan restrukturisasi kognitif. Interpretasi teoritis gangguan panik telah menggabungkan aspek somatik dan kognitif dari gangguan, membenarkan pengobatan dengan relaksasi atau biofeedback dan pendekatan kognitif. Teori berasumsi bahwa serangan panik berkembang karena, pertama, ada reaksi tubuh yang mirip dengan kecemasan (apakah itu sebenarnya dipicu oleh faktor biologis seperti hiperventilasi [Ley, 1987 atau oleh rangsangan eksternal), dan kedua, klien menafsirkan ini dalam sebuah bencana (Clark, 1986; Clark & Beck, 1988;. Hccker & Thorpe 1992). Dalam sebuah studi kontrol respirasi untuk klien gangguan panik. Clark, Salkovskis. dan Chalk-ley (1985) menangani sembilan belas orang yang mengalami serangan panik dan kecemasan antisipatif. Klien telah dipilih dari sampel yang lebih besar dari penderita gangguan panik karena gejala mereka konsisten dengan penafsiran hiperventilasi. Klien diberi alasan dan penjelasan yang mendorong mereka untuk menginterpretasikan sensasi kecemasan sebagai akibat dari hiperventilasi, dan mereka dilatih dalam kontrol respirasi. Setelah dua minggu pengobatan ada pengurangan yang signifikan dalam frekuensi panik dan dalam laporan diri dari kecemasan.
e) Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD)
PTSD adalah suatu sindrom dengan elemen kecemasan dan simtom lain dalam diri individu yang sebelumnya mengalami stress yang mengancam dam pengalaman tekanan emosional yang diikuti dengan peristiwa traumatis (American Psychiatric Association, 1994). Perawatan Behavioral bagi PTSD terbagi atas 2 kelompok, yakni Metode Pemaparan dan Pelatihan Manajemen Kecemasan (Rothbaum & Foa, 1992a). Imaginal Flooding efektif bagi klien veteran perang, korban pemerkosaan, dan korban selamat dari kecelakaan mobil. Restrukturisasi Kognitif sangat baik jika diaplikasikan pada klien korban pemerkosaan. sementara untuk mimpi buruk yang traumatis dan berulang bisa ditangani dengan Metode Pemaparan dan Teknik Pereorganisasian Mimpi.

D. Terapi Kognitif-Perilaku : Pendekatan Holistik
Sebagai bentuk komprehensif psikoterapi, Terapi Kognitif-Perilaku berbasis empiris, berfokus pada masalah, berorientasi pada tujuan, kolaboratif, dan berpusat pada masa kini, menekankan intervensi aktif untuk menyelesaikan masalah melalui perubahan langsung dalam pemikiran dan perilaku (Pearson, 1994). Dalam setiap peristiwa , tujuan pengobatan yang tepat harus dibicarakan dan disetujui bersama klien sebelum intervensi terfokus bisa dilaksanakan. Salah satu juga yang berpotensi dalam membantu klien adalah REBT. Menggunakan pendekatan rasional-emotif, terapis harus bertanya pada klien untuk mempertimbangkan kemungkinan apakah terlalu perfeksionis ataukah kemungkinan tidak dapat membantu mencari jawaban yang tepat untuk masalah klien.
Terapis Kognitif-Behavior turut serta dalam kasus dengan mempertahankan empirisme mereka, fokus pada masalah, dan dengan mengimplementasikan teknik pengobatan yang spesifik secara kreatif dan inovatif. Pionir terapis perilaku seperti Joseph Wolpe menggambarkan usaha penyembuhan bukan sebagai suatu set yang tetap atau pasti tetapi lebih kepada suatu pendekatan klinis yang fleksibel, berfokus pada klien individual dan berbasis pada penilaian perilaku yang unik. Ada potensi konflik antara 2 sudut pandang yang dipertahankan sama kuatnya, yakni :
1. Bahwa adalah tidak pantas dan etis bagi seorang psikolog untuk menawarkan kepada klien perawatanyang belum dipastikan keamanan dan efektivitasnya,sesuai dengan standar verifikasi ilmiah.
2. Bahwa tidak pantas dan etis untuk memberikan pengobatan kepada klien semata-mata karena ia memiliki gangguan tertentu, mengabaikan unsur keunikan pribadi yang mungkin memiliki landasan yang valid pada seleksi pengobatan.

BAB III
KESIMPULAN

Intervensi Kognitif-Perilaku adalah salah satu bentuk interfensi yang komprehensif dimana penanganan klien yang bermasalah adalah dengan menggunakan berbagai teknik eksperimental yang bersifat positif. Sebagai bentuk komprehensif psikoterapi, Terapi Kognitif-Perilaku berbasis empiris, berfokus pada masalah, berorientasi pada tujuan, kolaboratif, dan berpusat pada masa kini, menekankan intervensi aktif untuk menyelesaikan masalah melalui perubahan langsung dalam pemikiran dan perilaku (Pearson, 1994). Dalam setiap peristiwa , tujuan pengobatan yang tepat harus dibicarakan dan disetujui bersama klien sebelum intervensi terfokus bisa dilaksanakan.
Teknik yang digunakan dalam intervensi inipun cenderung menekankan pada prinsip umum perpsektif bevioral, namun tidak menghilangkan elemen kognisi klien dalam sesi terapi. Dalam aplikasinya, teraapi kognitif- perilaku ini difokuskan pada berbagai jenis gangguan kecemasan. Diantaranya gangguan panic, fobia, GAD, dan gangguan obsesif kompulsif. Dengan adanya unsur kognitif, maka dalam terapi ini, terapis akan cenderung berperan sebai pendamping dan pembimbing bagi klien dalam memutuskan solusi yang akan digunakan dalam sesi terapi.