IMOBILISASI PADA LANJUT USIA

BAB XIX
IMOBILISASI PADA LANJUT USIA

TUJUAN BELAJAR

TUJUAN KOGNITIF
Setelah membaca bab ini dengan seksama, maka anda sudah akan dapat:
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan neurogeriatri.
1.1. Menjelaskan pengertian imobilisasi
1.2. Menjelaskan dengan kata-kata sendiri mengenai pentingnya memahami imobilisasi.
1.3. Menjelaskan dengan kata-kata sendiri mengenai keadaan-keadaan pasien geriatri yang mengalami imobilisasi
2. Mengetahui bagaimana pendekatan pelayanan kesehatan pada pasien geriatri.
2.1. Menjelaskan cara pendekatan pelayanan kesehatan pada pasien geriatri yang mengalami imobilisasi

TUJUAN AFEKTIF
Setelah membaca bab ini dengan penuh perhatian, maka penulis mengharapkan anda sudah akan dapat:
1. Menunjukkan perhatian akan kesehatan pasien geriatri yang mengalami imobilisasi
1.2. Membimbing keluarga pasien bagaimana cara menghadapi orang lanjut usia dengan kondisi imobilisasi
1.3. Mengusulkan cara pengobatan yang memadai.

I. PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang masalah
Seiring dengan meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan di negara maju dan negara berkembang, maka bertambahlah usia harapan hidup penduduk negara tersebut. Hal ini berarti, akan bertambahnya populasi penduduk lanjut usia (lansia). Belum ada batasan yang jelas dan universal saat kapan seseorang bisa dikelompokkan sebagai lansia, di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya seseorang dikelompokkan ke dalam golongan lansia jika umur kronologisnya sudah 60 tahun.
Di Indonesia sendiri, saat ini, jumlah populasi lansia diperkirakan mencapai 15 juta penduduk dan angka ini diperkirakan akan meningkat terus, diperkirakan antara tahun 1990-2025 di Indonesia populasi lansia akan meningkat empat kali lipat.
Perlu dipahami istilah geriatri yang berasal dari kata gerontos (usia lanjut) dan iatrics (penyakit), sehingga geriatri adalah penyakit pada usia lanjut dengan gejala khas yaitu multipatologi (lebih dari satu penyakit), kemampuan fisiologis tubuh yang sudah menurun, tampilan gejala yang tidak khas / menyimpang, dan penurunan status fungsional (kemampuan beraktivitas). Sehingga tidak semua pasien lansia adalah pasien geriatri tetapi pasien geriatri pastilah lansia. Penyakit-penyakit yang umum ditemukan pada pasien geriatri umumnya adalah penyakit degeneratif kronik. Untuk memahami pasien geriatri Kane & Ouslander merumuskannya dalam Geriatric Giants (14 I) yaitu:
1. Immobility (imobilisasi),
Adalah keadaan tidak bergerak / tirah baring (bed rest) selama 3 hari atau lebih. Kondisi ini sering dijumpai pada lansia akibat penyakit yang dideritanya seperti infeksi yang berat, kanker, selain akibat penyakit yang diderita, imobilisasi juga sering ditemukan pada lansia yang “dikekang” untuk melakukan segalanya sendiri oleh keluarga yang merawatnya, sehingga ia hanya tidur dan duduk, atau juga ditemukan pada lansia yang “manja”. Banyak gangguan yang dapat ditimbulkan akibat imobilisasi seperti ulkus dekubitus (koreng pada punggung karena luka tekan dan sulit disembuhkan) dan ulkus-ulkus di permukaan tubuh lainnya, trombosis vena (bekuan darah pada pembuluh darah balik) yang dapat menyumbat aliran darah (emboli) pada paru-paru yang berujung pada kematian mendadak.
2. Instability (instabilitas) dan jatuh
Dapat terjadi akibat penyakit muskuloskeletal (otot dan rangka) seperti osteoartritis, rematik, gout, dsb., juga dapat disebabkan oleh penyakit pada sistem syaraf seperti Parkinson, sequellae (penyakit yang mengikuti) stroke. Akibat dari instabilitas dan jatuh ini dapat berupa cedera kepala dan perdarahan intrakranial (di dalam kepala), patah tulang, yang dapat berujung pada kondisi imobilisasi.
3. Incontinence (inkontinensia) urine dan alvi.
Inkontinensia adalah kondisi dimana seseorang tidak dapat mengeluarkan “limbah” (urin dan feses) secara terkendali atau sering disebut ngompol. Inkontinensia dapat terjadi karena melemahnya otot-otot dan katup, gangguan persyarafan, kontraksi abnormal pada kandung kemih, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna seperti yang terjadi pada hipertrofi (pembesaran) prostat, sedangkan pada inkontinensia alvi dapat terjadi akibat konstipasi, penyakit pada usus besar, gangguan syaraf yang mengatur proses buang air, hilangnya refleks anal.
4. Irritable bowel (usus besar yang sensitif -mudah terangsang-)
Sehingga menyebabkan diare atau konstipasi/ impaksi (sembelit). Penyebabnya tidak jelas, tetapi pada beberapa kasus ditemukan gangguan pada otot polos usus besar, penyeab lain yang mungkin adalah gangguan syaraf sensorik usus, gangguan sistem syaraf pusat, gangguan psikologis, stres, fermentasi gas yang dapat merangsang syaraf, kolitis.
5. Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh)
Banyak hal yang mempengaruhi penurunan sistem kekebalan tubuh pada usia lanjut seperti atrofi thymus (kelenjar yang memproduksi sel-sel limfosit T) meskipun tidak begitu bermakna (tampak bermakna pada limfosit T CD8) karena limfosit T tetap terbentuk di jaringan limfoid lainnya. Begitu juga dengan barrier infeksi pertama pada tubuh seperti kulit dan mukosa yang menipis, refleks batuk dan bersin -yang berfungsi mengeluarkan zat asing yang masuk ke saluran nafas- yang melemah. Hal yang sama terjadi pada respon imun terhadap antigen, penurunan jumlah antibodi. Segala mekanisme tersebut berakibat terhadap rentannya seseorang terhadap agen-agen penyebab infeksi, sehingga penyakit infeksi menempati porsi besar pada pasien lansia.
6. Infection (infeksi)
Salah satu manifestasi akibat penurunan sistem kekebalan tubuh dan karena kemampuan faali (fisiologis) yang berkurang. Sebagai contoh, agen penyebab infeksi saluran pernafasan dapat dikeluarkan bersama dahak melalui refleks batuk, tetapi karena menurunnya kemampuan tubuh, agen tersebut tetap berada di paru-paru. Selain itu, pada pasien usia lanjut, gejala-gejala infeksi yang tampak tidak seperti pada orang dewasa-muda. Pada pasien lansia, demam sering tidak mencolok, bahkan dalam keadaan sepsis beberapa menunjukkan penurunan temperatur – hipotermia – bukan demam. Contoh lain pada pneumonia, gejala yang tampak bukan demam, batuk, sesak nafas, dan leukositosis (jumlah sel darah putih meningikat) melainkan nafsu makan turun, lemah, dan penurunan kesadaran, gejala inilah yang umumnya tampak pada penyakit infeksi pada lansia, ditambah dengan inkontinensia dan jatuh (akibat penurunan kesadaran). Sehingga terkadang pasien dengan infeksi yang datang ke instalasi gawat darurat karena penurunan kesadaran atau jatuh disalah-artikan sebagai serangan stroke.
7. Iatrogenics (iatrogenesis)
Karakteristik yang khas dari pasien geriatri yaitu multipatologik, seringkali menyebabkan pasien tersebut perlu mengkonsumsi obat yang tidak sedikit jumlahnya. Akibat yang ditimbulkan antara lain efek samping dan efek dari interaksi obat-obat tersebut yang dapat mengancam jiwa. Pemberian obat pada lansia haruslah sangat hati-hati dan rasional karena obat akan dimetabolisme di hati sedangkan pada lansia terjadi penurunan fungsi faal hati sehingga terkadang terjadi ikterus (kuning) akibat obat. Selain penurunan faal hati juga terjadi penurunan faal ginjal (jumlah glomerulus berkurang), dimana sebagaian besar obat dikeluarkan melalui ginjal sehingga pada lansia sisa metabolisme obat tidak dapat dikeluarkan dengan baik dan dapat berefek toksik.
8. Intellectual impairment (Intelektual menurun) dan demensia,
Banyak hal yang terkait dengan terjadinya penurunan fungsi intelektual dan kognitif pada usia lanjut. Mulai dari menurunnya jumlah sel-sel syaraf (neuron) hingga penyakit yang berpengaruh pada metabolisme seperti diabetes melitus dan gangguan hati dimana semua metabolisme terjadi disini. Otak adalah organ yang sangat tergantung pada glukosa sebagai sumber energi sehingga pada diabetes melitus -terjadi gangguan metabolisme glukosa- pasokan energi untuk otak terganggu. Selain diabetes, hipertensi juga mempengaruhi fungsi otak karena sirkulasi darah ke otak terganggu, gangguan respirasi seperti Chronic Obstructive Pulmonary Disease/ Penyakit Paru Obstruktif Menahun (COPD/PPOM) juga dapat menurunkan jumlah oksigen ke otak. Penyebab lain penurunan fungsi intelektual adalah iatrogenesis.
9. Isolation (terisolasi) dan depresi
Penyebab utama depresi pada usia lanjut adalah kehilangan seseorang yang disayangi, pasangan hidup, anak, bahkan binatang peliharaan. Selain itu kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan, menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi. Keluarga yang mulai mengacuhkan karena merasa direpotkan menyebabkan pasien akan merasa hidup sendiri dan menjadi depresi. Beberapa orang dapat melakukan usaha bunuh diri akibat depresi yang berkepanjangan.
10. Impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran),
Gangguan penglihatan disebabkan oleh mengendornya otot dan kuit kelopak mata, perubahan sistem lakrimal (air mata), proses penuaan pada kornea (organ yang menerima rangsang cahaya), penurunan produksi aqueous humor, perubahan refraksi, perubahan struktur dalam bola mata, katarak, dan glaukoma. Sedangkan gangguan fungsi pendengaran dapat terjadi karena, penurunan fungsi syaraf-syaraf pendengaran, perubahan organ-organ di dalam telinga. Penurunan fungsi kedua panca indera ini mengakibatkan sulitnya komunikasi bagi lansia, sehingga akibat lainnya adalah penderita terisolasi atau mengisolasi diri.
11. Inanition (malnutrisi)
Diakibatkan oleh pengaruh perubahan faal organ-organ pencernaan seperti air liur, atrofi kuncup kecap, penurunan syaraf-syaraf penciuman dan pusat haus, gangguan menelan karena otot yang melemah, Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD), sekresi HCl yang meningkat, penurunan aktivitas enzim, dsb. Banyak penyakit yang dapat timbul akibat kurangnya asupan gizi atau lebihnya asupan gizi, selain itu lansia juga perlu menjaga pola makan sehat dengan mengurangi makanan-makanan yang dapat memperburuk keadaan lansia tersebut. Banyaklah mengkonsumsi sayur, buah dan air, serta mineral-mineral seperti besi, yodium dan kurangi konsumsi minyak, lemak dan kolesterol.
12. Insomnia.
Dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup yang menyebabkan seorang lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa penyakit juga dapat menyebabkan insomnia seperti diabetes melitus dan hiperaktivitas kelenjar thyroid, gangguan neurotransmitter di otak juga dapat menyebabkan insomnia. Jam tidur yang sudah berubah juga dapat menjadi penyebabnya.
13. Impotency (Impotensi)
Ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual pada usia lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti gangguan hormon, syaraf, dan pembuluh darah. Ereksi terjadi karena terisinya penis dengan darah sehingga membesar, pada gangguan vaskuler seperti sumbatan plak aterosklerosis (juga terjadi pada perokok) dapat menyumbat aliran darah sehingga penis tidak dapat ereksi. Penyebab lainnya adalah depresi.
14. Impecunity (kemiskinan)
Usia lansia dimana seseorang menjadi kurang produktif (bukan tidak produktif) akibat penurunan kemampuan fisik untuk beraktivitas. Usia pensiun dimana sebagian dari lansia hanya mengandalkan hidup dari tunjangan hari tuanya. Pada dasarnya seorang lansia masih dapat bekerja, hanya saja intensitas dan beban kerjanya yang harus dikurangi sesuai dengan kemampuannya, terbukti bahwa seseorang yang tetap menggunakan otaknya hingga usia lanjut dengan bekerja, membaca, dsb., tidak mudah menjadi “pikun” . Selain masalah finansial, pensiun juga berarti kehilangan teman sejawat, berarti interaksi sosialpun berkurang memudahakan seorang lansia mengalami depresi.

II. IMOBILISASI PADA LANSIA
II.1. DEFINISI
Imobilisasi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di bidang geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang diderita.
Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak atau tirah baring selama tiga hari atau lebih, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Di dalam praktek medik istilah imobilisasi digunakan untuk menggambarkan sebuah sindrom degenerasi fisiologik yang merupakan akibat menurunnya aktivitas atau deconditioning. Terdapat beberapa faktor risiko utama imobilisasi seperti kontraktur, demensia berat, osteoporosis, ulkus, gangguan penglihatan, dan fraktur merupakan beberapa faktor risiko utama imobilisasi.
Imobilisasi seringkali tidak dapat dicegah, namun beberapa komplikasi akibat imobilisasi dapat dicegah. Perubahan pada beberapa sistem organdan fungsi metabolik akan terjadi sebagai akibat imobilisasi. Perubahan-perubahan tersebut akan menimbulkan berbagai komplikasi yang akan memperberat kondisi dan memperlambat proses penyembuhan serta dapat menyebabkan kematian. Upaya seperti mobilisasi dini dapat dilakukan untuk mengurangi insiden dan mengurangi beratnya komplikasi imobilisasi, sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan dan kualitas hidup pasien.

II.2.PENYEBAB
Penyebab imobilisasi berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Rasa lemah sering kali disebabkan oleh malnutrisi, gangguan elektrolit, tidak digunakannya otot, anemia, gangguan neurologis atau miopati. Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Parkinson, artritis reumatoid, gout, dan obat-obatan antipsikotik seperti haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Rasa nyeri, baik dari tulang (osteoporosis, osteomalacia, Paget’s disease, metastase kanker tulang, trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot (polimialgia,pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi. Ketidakseimbangan dapat disebabkan karena kelemahan, faktor neurologis (strok, kehilangan refleks tubuh, neuropati karena diabetes melitus, malnutrisi, dan gangguan vestibuloserebral), hipotensi ortostatik, atau obat-obatan (diuretik, antihipertensi, neuroleptik, dan antidepresan).
Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi tentu sangat sering menyebabkan terjadinya imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan dapat pula menyebabkan orang lanjut usia terus menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun di rumah sakit. Efek samping beberapa obat dapat menyebabkan gangguan mobilisasi, namun biasanya tidak teridentifikasi oleh petugas kesehatan. Obat-obat hipnotik dan sedatif menyebabkan rasa kantuk dan ataksia yang mengganggu mobilisasi. Untuk itu kontrol teratur dan seksama terhadap obat-obat yang dikonsumsi oleh pasien sangat penting untuk dilakukan.

II.3.Pengkajian pasien imobilisasi
Anamnesis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik penting dilakukan dalam mengkaji pasien imobilisasi. Beberapa informasi penting meliputi lamanya menderita disabilitas yang menyebabkan imobilisasi, penyakit yang mempengaruhi kemampuan mobilisasi, dan pemakaian obat-obatan untuk mengeliminasi masalah iatrogenesis yang menyebabkan imobilisasi. Adanya keluhan rasa nyeri penting dikaji secara rutin karena mungkin dapat sebagai penyebab utama imobilisasi. Pengkajian faktor psikologis, seperti depresi dan rasa takut, serta pengkajian lingkungan penting untuk dilakukan. Pemeriksaan terhadap kulit penting untuk mengidentifikasi adanya ulkus dekubitus.
Status kardiopulmonal, khususnya volume intravaskular dan perubahan tekanan darah dan nadi akibat perubahan posisi penting untuk diketahui sebagai dasar untuk penatalaksanaan imobilisasi. Pengkajian muskuloskeletal secara rinci seperti evaluasi kekuatan dan tekanan otot, gerakan sendi, serta adanya masalah pada kaki (lesi dan deformitas pada kaki) penting juga untuk dilakukan. Selain itu, perlu juga diberikan perhatian terhadap pengkajian neurologis untuk mengidentifikasi adanya kelemahan fokal, dan masalah persepsi serta sensor. Status imobilisasi pasien harus selalu dikaji secara terus menerus.

II.4.Komplikasi imobilisasi
• Trombosis
Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer yang penyebabnya bersifat multifaktorial, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan risiko trombosis vena dalam yaitu adanya luka di vena dalam karena trauma atau pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan berbagai kondisi yang meningkatkan risiko pembekuan darah. Luka di vena dalam karena pembedahan atau trauma menyebabkan penglepasan beberapa substansi yang mengaktivasi sistem pembekuan. Darah yang tidak mengalir akan cenderung untuk mengalami pembekuan. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena dalam meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama (tidak berjalan atau bergerak), dan adanya gumpalan darah yang telah timbul sebelumnya.
Kondisi imobilisasi akan menyebabkan terjadinya akumulasi leukosit teraktivasi dan akumulasi trombosit yang teraktivasi. Kondisi tersebut menyebabkan gangguan sel-sel endotel dan juga memudahkan terjadinya trombosis. Selain itu, imobilisasi yang menyebabkan stasis akan menyebabkan timbulnya hipoksia lokal pada sel endotel yang selanjutnya akan menghasilkan aktivator faktor X dan merangsang akumulasi leukosit dan trombosit. Sel endotel pembuluh darah belakangan ini tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang tidak berperan dan pasif di dalam proses koagulasi. Sebaliknya, berbagai perubahan yang terjadi di sel-sel endotel pembuluh darah akan mengubah sifat alamiah sel tersebut yakni yang semula bersifat antitrombotik menjadi bersifat trombotik, sehingga justru memudahkan terjadinya keadaan trombosis.
Gejala trombosis vena dalam timbul pada kurang dari separuh pasien dengan trombosis vena dalam. Gejala yang timbul bervariasi, tergantung pada ukuran dan lokasi trombosis vena dalam, dapat berupa rasa panas, bengkan, kemerahan, dan rasa nyeri pada tuingkai. Sebagian besar trombosis vena dalam timbul hanya pada satu kaki. Trombosis vena dalam pada betis menimbulkan gejala hanya pada betis, sedangkan trombosis vena dalam pada paha menimbulkan gejala paha dan atau betis. Untuk penapisan adanya trombosis vena dalam akhir-akhir ini dilakukan dengan pemeriksaan test D-dimer dan pletismografi. Sedangkan untuk diagnosis pasti trombosis vena dalam dapat digunakan pemeriksaan venografi, ultrasonografi, tomografi terkomputerisasi, dan dengan magnetic resonanceimaging (MRI).

• Emboli paru
Emboli paru dapat diakibatkan oleh banyak faktor seperti emboli air ketuban, emboli udara, dsb. Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu refleks tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian besar emboli paru disebabkan oleh emboli karena trombosis vena dalam. Berkaitan dengan trombosis vena dalam, emboli paru disebabkan oleh lepasnya trombus yang biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada gilirannya akan mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang dapat berakibat fatal. Emboli paru sebagai akibat trombosis merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada pasien-pasien di rumah sakit, terutama pada pasien usia lanjut.
Suatu penelitian yang dilakukan pada 617 pasien yang mengalami imopbilisasi menunjukkan adanya kejadian emboli paru sebesar 27%, dimana sebagian besar kejadian emboli paru tersebut tidak terdiagnosis sebelum pasien meninggal. Emboli paru timbul pada lebih dari 300.000 orang setiap tahun di Amerika Serikat yang menyebabkan kematian paling sedikit 50.000 orang setiap tahun. Gejala emboli paru dapat berupa sesak napas, nyeri dada, dan peningkatan denyut nadi.

• Kelemahan otot
Imobilisasi lama akan mengakibatkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan 1-2 persen sehari. Untuk mengetahui penurunan kekuatan otot dapat juga dilihat dari ukuran lingkar otot (muscle circumference). Ukuran lingkar otot tersebut biasanya akan menurun sebanyak 2,1-21%. Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi seringkali terjadi dan berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh. Terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan atrofi otot, yaitu perubahan biologis proses menua itu sendiri, akumulasi penyakit akut dan kronik, serta malnutrisi. Perubahan otot selama imobilisasi lama menyebabkan degenerasi serat otot dan peningkatan jaringan lemak, serta fibrosis. Massa otot berkurang setengah dari ukuran semula setelah mengalami dua bulan imobilisasi. Massa otot sebagian besar menurun dari kaki bawah dan otot-otot tubuh.
Posisi imobilisasi juga berperan terhadap beratnya pengurangan otot. Imobilisasi dengan posisi meringkuk akan mengakibatkan pengurangan otot yang lebih banyak dibandingkan posisi imobilisasi terlentang (lurus).

• Kontraktur Otot dan Sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul rasa nyeri yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut. Kontraktur dapat terjadi karena perubahan patologis pada bagian tulang sendi, pada otot, atau pada jaringan penunjang di sekitar sendi. Penyebab kontraktur otot lainnya adalah spastisitas dan neuroleptik. Faktor posisi dan mekanik juga dapat menyebabkan kontraktur pada usia lanjut dengan imobilisasi. Kontraktur artrogenik seringkali disebabkan karena inflamasi, luka sendi degeneratif, infeksi, dan trauma. Kolagen sendi dan jaringan lunak sekitar akan mengerut. Kontraktur akan menghalangi pergerakan sendi dan mobilisasi pasif yang akan memperburuk kondisi kontraktur.
Deteksi dini, pencegahan, dan penatalaksanaan penyebab kontraktur seperti penatalaksanaan inflamasi, nyeri, dan infeksi akan menurunkan risiko kontraktur atau mengurangi tingkat keparahan kontraktur. Metode yang biasa digunakan untuk mencegah kontraktur adalah mobilisasi sendi dini dengan penatalaksanaan nyeri yang sesuai serta positioning yang optimal dari ekstrimitas yang terlibat.

• Osteoporosis
Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antar resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi ternyata meningkatkan resorpsi tulang, meningkatkan kadar kalsium serum, menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif (1,25-(OH)2D). selain itu, insufisiensi vitamin D3 inaktif (25-(OH)D) mungkin berperan pula pada turunnya vitamin D3 aktif. Faktor utama yang menyebabkan kehilangan massa tulang pada imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi tulang. Massa tulang menurun tetapi komponen rasio antara matriks inorganik dan organik tidak berubah. Konsentrasi kalsium, fosfor, dan hidroksiprolin di urine meningkat pada minggu pertama imobilisasi. Kalsium tubuh total menurun hingga 4% selama tujuh minggu imobilisasi. Suatu penelitian terhadap 170 usia lanjut strok dan 72 kontrol, mendapatkan imobilisasi meningkatkan kalsium serum dan berkorelasi negatif dengan indeks Barthel, yang menunjukkan bahwa imobilisasi meningkatkan resorpsi tulang. Didapatkan pula adanya penurunan kadar 1,25(OH)2D dan 25-OHD, serum PTH tidak meingkat.

• Ulkus dekubitus
Pasien imobilisasi umumnya tidak bergerak pada malam hari karena tidak adanya gerakan pasif maupun aktif. Skor aktivitas sakral pasien pada kondisi tersebut adalah nol gerakan per jam, yang mengakibatkan peningkatan tekanan pada daerah kulit yang sama secara terus menerus. Tekanan akan memberikan pengaruh pada daerah kulit sakral ketika dalam posisi berbaring. Aliran darah akan terhambat pada daerah kulit yang tertekan dan menghasilkan anoksia jaringan dan nekrosis.
Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi mikrosirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar antara 25 mmHg. Tekanan lebih dari 25mmHg secara terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu yang lama akan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh darah dalam waktu lama akan mengakibatkan trombosis intra-arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan pada keadaan tersebut mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan pada akhirnya akan terbentuk luka akibat tekanan.
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Faktor risiko timbulnya ulkus dekubitus adalah semua jenis penyakit dan kondisi yang menyebabkan seseorang terbatas aktivitasnya. Faktor-faktor risiko tersebut memperpanjang wwaktu tekanan ke kulit dan menurunkan resistensi jumlah tekanan. Faktor risiko yang sering pada usia lanjut adalah demam, kondisi koma, penyakit serebovaskular, infeksi, anemia, malnutrisi, kaheksia, hipotensi, syok, dehidrasi, penyakit neurologis dengan paralisis, limfosit, imobilisasi, penurunan berat badan, kulit kering, dan eritema.
• Hipotensi Postural
Komplikasi yang sering timbu akibat imobilisasi lama pada pasien usia lanjut adalah penurunan efisiensi jantung, perubahan tanggapan kardiovaskular postural, dan penyakit trombo emboli. Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20mmHg dari posisi baring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul adalah iskemia serebral, khususnya sinkop. Peningkatan denyut jantung lebih dari 10 kali/menit menunjukkan adanya hipotensi postural tipe simpatis sedangkan denyut jantung kurang dari 10 kali/menit adalah tipe asimpatis.
Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan volume sekuncup jantung sebanyak 35% dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%. Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan vasokontriksi dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan tekanan darah menurun. Tekanan darah tidak berubah atau sedikit meningkat pada kondisi bangun (dari berbaring ke duduk) dengan tiba-tiba. Pada usia lanjut umumnya fungsi baroreseptor menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih terlihat pada pasien usia lanjut. Pada posisi baring, secara normal 600-800 ml volume plasma kembali ke paru-paru dan jantung, dan terjadi peningkatan stimulasi baroreseptor, denyut jantung, volume sekuncup jantung, dan curah jantung. Pelepasan hormon antidiuretik berkurang selama minggu awal imobilisasi yang mengakibatkan diuresis dan penurunan volume plasma. Penurunan volume plasma mencapai 10% selama 2 minggu pertama imobilisasi dan bisa mencapai 20% setelah itu.
Tirah baring lama akan membalikkan respons kardiovaskular normal menjadi tidak normal yang akan menghasilkan penurunan volume sekuncup jantung dan curah jantung. Curah jantung rendah mengakibatkan terjadinya hipotensi postural. Gejala dan tanda hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sistolik dari tidur ke duduk lebih dari 20 mmHg, berkeringat, pucat, kebingungan, peningkatan denyut jantung, letih, dan pada keadaan berat dapat menyebabkan jatuh yang pada akhirnya akan mengakibatkan fraktur, hematoma jaringan lunak dan perdarahan otak.

• Pneumonia dan infeksi saluran kemih
Imobilisasi juga dikaitkan dengan pneumonia dan infeksi saluran kemih. Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar. Manakala kondisi ini dibarengi dengan daya pegas (recoil) elastik yang sudah berkurang (karena proses menua) yang mengakibatkan perubahan pada tekanan penutup saluran udara kecil, kondisi tersebut akan memudahkan usia lanjut untuk mengalami atelektasis paru dan pneumonia.
Aliran urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih lebih mudah terjadi. Inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi, yang umumnya disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensasi kandung kemih. Pengisian kandung kemih yang berlebihan akan menyebabkan mengembangnya dinding kandung kemih yang kemudian akan meningkatkan kapasitas kandung kemih dan retendi urin. Retensi urin ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran kemih dan bila dibarengi dengan hiperkalsiuria akan mengakibatkan terjadinya pembentukan batu ginjal kalsium. Bila hal ini dibiarkan, maka akan menurunkan fungsi saluran kemih bawah dan timbulnya hidronefrosis.

• Gangguan Nutrisi (Hipoalbuminemia)
Selain infeksi, imobilisasi ternyata juga berperan pada terjadinya hipoalbuminemia pada pasien usia lanjut yang menjalani perawatan di rumah sakit. Imobilisasi akan memperngaruhi sistem metabolik dan endokrin yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu perubahan yang terjadi adalah pada metabolisme protein. Kadar plasma kortisol yang lebih tinggi mengubah metabolisme menjadi katabolisme sehingga metabolisme protein akan lebih rendah pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi.
Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin. Peningkatan ekskresi nitrogen mencapai puncak dengan rata-rata kehilangan 2mg/hari, sehingga pasien akan mengalami hipoproteinemia, oedema, dan penurunan berat badan. Kehilangan nitrogen (Nitrogen loss) meningkat hingga 12 gram pada keadaan imobilisasi dengan malnutrisi, trauma, fraktur pinggul atau infeksi. Penekanan sekresi hormon antidiuretik selama imobilisasi juga akan terjadi yang akan meningkatkan diuresis dan pemecahan otot sehingga akan mengakibatkan penurunan berat badan. Pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi lama akan memiliki natrium serum dan natrium urin yang lebih rendah dibandingkan pada yang tidak imobilisasi,sehingga pasien dengan tirah baring lama akan memiliki defisiensi natrium kronik.
Tirah baring lama dan malnutrisi, baik di rumah sakit maupun di rumah, menyebabkan atrofi otot dan turunnya kekuatan dan ukuran otot. Kelemahan otot pada pasien geriatri yang mengalami imobilisasi sering terjadi dan sangat berkaitan dengan kerapuhan (frailty), mengakibatkan penurunan status fungsional yang berat sehingga imobilisasi terus terjadi, seperti lingkaran setan, dan mengakibatkan pula terjadinya instabilitas, jatuh dan trauma serius.

• Konstipasi dan skibala
Konstipasi, skibala, dan obstruksi usus merupakan masalah utama pada usia lanjut dengan imobilisasi. Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama feses tinggal di usus besar, maka absorpsi cairan akan lebih besar sehingga feses akan menjadi lebih keras. Asupan cairan yang kurang, dehidrasi, dan penggunaan obat-obatan juga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi.

II.5.Upaya pencegahan komplikasi
Pencegahan timbulnya komplikasi dapat dilakukan dengan memberikan penatalaksanaan yang tepat terhadap imobilisasi. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan farmakologik dan non farmakologik.

II.5.1.Non farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologik memegang peran penting dalam mencegah terjadinya komplikasi akibat imobilisasi. Berbagai upaya yang dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara teratur dan latihan di tempat ridur dapat dilakukan sebagai upaya mencegah terjadinya kelemahan dan kontraktur otot serta kontraktur sendi. Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap. Latihan isometris secara 10-20% dari tekanan maksimal selama beberapa kali dalam sehari dapat dilakukan untuk mempertahankan kekuatan isometri. Untuk mencegah terjadinya kontraktur otot dapat dilakukan latihan gerakan pasif sebanyak satu atau dua kali sehari selama 20 menit.
Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30⁰, penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien dengan kursi roda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk. Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus. Pemberian minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi.
Program latihan jasmani yang dilakukan harus disesuaikan dengan kondisi pasien, berdasarkan ada tidaknya penyakit, status imobilisasinya, tingkat aktivitas dan latihannya. Pasien yang baru sembuh dari penyakit akut tetapi masih belum banyak bergerak harus menghindari latihan jasmani yang berat secara tiba-tiba. Sebaliknya pasien harus didorong untuk program latihan jasmani secara bertahap.
Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Latihan kekuatan otot serta kontraksi abdomen dan otot pada kaki akan menyebabkan aliran darah balik vena lebih efisien. Khusus untuk mencegah terjadinya trombosis dapat dilakukan tindakan kompresi intermiten pada tungkai bawah. Teknik tersebut meningkatkan alirah darah dari vena di kaki dan menstimulasi aktivitas fibrinolitik. Kompresi intermiten bebas dari efek samping tetapi merupakan kontraindikasi pada pasien dengan penyakit vaskular perifer.
Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien dengan penyakit vaskular perifer.
Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi. Pada pasien yang mengalami hipokinesis perlu diberikan suplementasi vitamin dan mineral.

II.5.2.Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis dapat diberikan sebagai salah satu upaya pencegahan komplikasi akibat imobilisasi, terutama pencegahan terhadap terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan merupakan terapi farmakologik yang dapat diberikan untuk mencegah terjadinya trombosis pada pasien geriatri dengan imobilisasi. Low dose heparin (LDH) dan Low Molecular Weight Heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien geriatri dengan imobilisasi dan risiko trrombosis non pembedahan terutama strok. Namun pemberian antikoagulan pada pasien geriatri perlu dilakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Penurunan faal organ ginjal dan hati serta adanya interaksi obat terutama antara warfarin dengan beberapa obat analgetik atau NSAID merupakan hal yang harus amat diperhatikan.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak / tirah baring (bed rest) selama 3 hari atau lebih. Keadaan ini sering dijumpai pada penyakit infeksi yang berat, fraktur, kanker. Banyak gangguan yang dapat ditimbulkan akibat imobilisasi seperti ulkus dekubitus, trombosis vena, atropi otot dan lain-lain.
Penatalaksanaan imobilisasi ini adalah dengan penggunaan alat bantu berjalan, Physiotherapy,dan pada kasus dekubitus dilakukan penggunaan kasur anti dekubitus, bantal berongga, perubahan posisi 30o ke samping, perubahan posisi tiap jam, pemberian minyak setelah mandi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, edisi ketiga, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2001

Sri surini Pudjiastuti, SMPh, S. Pd; Budi Utomo, AMF, Fisioterapi Pada Lansia, 2002, Penerbit EGC

www.vueling.com

www. Rahasia Perkasa _ Informasi Konsultasi Kesehatan Indonesia.htm.com

www. Apotik online dan media informasi obat – penyakit : m e d i c a s t o r e . c o m