HUBUNGAN PERSONAL HYGIENE SISWA DI SD NEGERI 11 KECAMATAN SAMALANGA KABUPATEN BIREUEN TERHADAP KEBERADAAN TELUR CACING PADA KOTORAN KUKU TAHUN 2013

HUBUNGAN PERSONAL HYGIENE SISWA DI SD NEGERI 11
KECAMATAN SAMALANGA KABUPATEN BIREUEN
TERHADAP KEBERADAAN TELUR CACING
PADA KOTORAN KUKU
TAHUN 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit cacingan (Helminthiasis) merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia, sebab cacingan akan menghambat pertumbuhan fisik, kecerdasan anak dan produktif kerja (Depkes, 1998 dan Ramali, 1990).
Prevalensi Helminthiasis sangat tinggi terutama di daerah tropis. Penyakit ini merupakan penyebab kesakitan terbanyak di seluruh dunia. Tiga setengah miliar penduduk dunia terinfeksi parasit intestinal, termasuk cacing perut (Ascaris lumbricoides, Trichiuris trichura, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan empat ratus lima puluh juta diantaranya mengenai anak – anak.
Demikian juga halnya di Indonesia, prevalensi Helminthiasis masih cukup tinggi, yaitu 30,4% untuk Ascaris lumbricoides, 21,25% Trichiuris trichiura serta 6,5% Necator americanus dan Ancylostoma doudenale. Di Indonesia Helminthiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak setelah Malnutrisi. Prevalensi dan intensitas tertinggi dijumpai dikalangan anak usia sekolah dasar. Menurut laporan Bank Dunia, di Negara Berkembang diperkirakan diantara anak usia 5 – 14 tahun, Helminthiasis merupakan penyumbang terbesar angka kesakitan (12% pada anak perempuan dan 11% pada anak laki – laki). Prevalensi dikalangan anak SD di tiga Provinsi di Indonesia (Yogyakarta, DKI Jakarta dan Sulawesi Utara) adalah 12,9% untuk Ascaris lumbricoides, 19,8% untuk Trichiuris trichiura dan 7,8% untuk cacing tambang (Sajimin,2000).
Penyakit kecacingan sering dihubungkan dengan kurang gizi, anemia defisiensi besi, gangguan pertumbuhan dan fungsi kognitif. Upaya pemberantasan Helminthiasis pada anak SD dilakukan antara lain dengan pemberian obat cacing, namun melihat masih tingginya prevalensi penyakit tersebut, upaya pemberantasan perlu diintegrasikan dengan kegiatan lain seperti UKS yang meliputi pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan dan lingkungan sekolah yang sehat (Rahfiluddin, 2000).
Keadaan infeksi cacing yang tetap tinggi dari tahun ke tahun disebabkan oleh adanya infeksi dan reinfeksi yang berulang – ulang. Penelitian yang dilakukan oleh Rasad (1987) di Jembatan Besi Jakarta Barat pada anak sekolah yang tidak mendapat penyuluhan kesehatan terdapat reinteraksi Ascaris lumbricoides sebanyak 58,8% empat bulan setelah pengobatan. Sedangkan anak yang diberikan penyuluhan, reinfeksi terjadi 40,3% (Hadidjaja, 1992).
Investasi cacing pada manusia dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal dan manipulasinya terhadap lingkungan. Helminthiasis banyak ditemukan di daerah dengan kelembaban tinggi dan terutama terkena pada kelompok masyarakat dengan hygiene dan sanitasi yang kurang. Kondisi ini dapat menyebabkan tingginya angka prevalensi Helminthiasis ditambah lagi dengan sosial ekonomi masyarakat yang rendah (Sajimin, 2000).
Survei Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1995/1996 menemukan prevalensi kecacingan pada anak SD di tujuh Kabupaten/kota sebesar 63,7% untuk Ascaris lumbricoides, 57,6% untuk Trichiuris trichiura dan 8,4% untuk Hookworm. Sementara untuk Kota Medan sebesar 70% Ascaris lumbricoides, 80% Trichiuris trichiura dan 13% Hookworm.
Berdasarkan hasil prevaluasi prevalensi kecacingan program PMT-AS tahun 1999/2000 oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara di empat Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara (Medan, Deli Serdang, Tapanuli Selatan dan Nias) diperoleh hasil sebagai berikut: Ascaris lumbricoides 43,7%, Trichiuris trichiura 38,3% dan Hookworm 1,6%.
Di kabupaten Deli Serdang berdasarkan repitulasi laporan hasil kegiatan Program Pemberantasan cacingan, pada tahun 2002 menunjukkan bahwa 49% murid SD di Tanjung Morawa dan Perbaungan positif menderita cacing gelang dan 21% positif cacing cambuk.
Kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikroorganisme diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan cacingan diantaranya melalui tangan yang kotor. Kuku jari tangan yang kotor yang kemungkinan terselip telur cacing akan tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan (Luize, 2004 dan Onggowaluyo, 2002).
SD Negeri 11 merupakan salah satu SD yang ada di Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen, dimana pada survey awal yang dilakukan oleh peneliti, kebiasaan siswanya tidak berbeda dengan di SD yang lain yang suka bermain tanah dan juga mengkonsumsi makanan jajanan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu sehingga dapat menyebabkan masuknya telur cacing kedalam kuku dan bahkan tertelan ketika makan sehingga menyebabkan terjadinya penyakit kecacingan.
Mengacu pada uraian diatas, maka perlu untuk mengetahui keberadaan telur cacing pada kotoran kuku dan personal hygiene siswa SD 11 Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen Tahun 2013.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, apakah ada atau tidaknya telur cacing pada kotoran kuku dan personal hygiene siswa SD Negeri 11 Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen tahun 2013.
C. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian di batasi pada keberadaan telur cacing pada kotoran kuku dan hygiene siswa SD Negeri 11 Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen tahun 2013.

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan Personal Hygiene Siswa Sd Negeri 11 Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen Terhadap Keberadaan Telur Cacing Pada Kotoran Kuku Tahun 2013.
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hygiene siswa (kebiasaan memotong kuku, mencuci tangan memakai sabun sebelum makan, kebiasaan mandi, kebiasaan bermain tanah dan juga kebiasaan memakai alas kaki) siswa SD Negeri 11 Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen tahun 2013.
2. Untuk mengetahui ada atau tidaknya telur cacing pada kotoran kuku siswa SD Negeri 11 Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen tahun 2013.
3. Untuk mengetahui hubungan personal hygiene siswa SD Negeri 11 Kecamatan Kabupaten Bireuen.
E. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dalam rangka tindakan pencegahan dan meningkatkan hygiene siswa SD Negeri 11 Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen tahun 2013.
2. Sebagai bahan masukan bagi pihak yang membutuhkannya untuk melanjutkan penelitian.
3. Sebagai wahan untuk menambah wawasan dan menerapkan ilmu yang telah penulis peroleh selama perkuliahan di Poltekkes Aceh.
F. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan, dalam bab ini dikemukakan latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan Kepustakaan, dalam bab ini dikemukakan tinjauan kepustakaan dan kerangka teori.
Bab III : Kerangka Konsep, dalam bab ini dikemukakan kerangka konseptual, definisi operasional, dan hipotesis.
Bab IV : Metode Penelitian, dalam bab ini dikemukakan jenis penelitian, populasi dan sampel, lokasi dan waktu penelitian, instrumen penelitian, rencana jalannya penelitian, tehnik pengumpulan data, tehnik pengolahan data, analisa data, penyajian data, dan jadwal penelitian.
Bab V : Hasil dan Pembahasan, dalam bab ini dikemukakan gambaran umum, hasil penelitian dan pembahasan.
Bab VI : Kesimpulan dan Saran, dalam bab ini dikemukakan kesimpulan dan saran – saran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Upaya Hygiene
Hygiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya pencegahan timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. Kedalam pengertian ini termasuk pula upaya melindungi, memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan manusia baik perseorangan maupun masyarakat sehingga berbagai faktor lingkungan tang tidak menguntungkan tersebut tidak sampai menimbulkan gangguan kesehatan (Azwar, 1993).
Dalam praktiknya upaya hygiene ini antara lain meminum air yang sudah direbus samapai mendidih dengan suhu 100oC selama 5 menit, mandi dua kali sehari agar badan selalu bersih dan segar, mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang makanan, mengambil makanan dengan memakai alat seperti sendok atau jepitan, dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya apabila panjang (Azwar, 1993).
Menurut Entjang (2000), usaha kesehatan pribadi (personal hygiene) adalah daya upaya seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri. Usaha – usaha tersebut antara lain adalah:
a. Memelihara kebersihan
Yang termasuk kedalam usaha memelihara kebersihan ini adalah memelihara kebersihan badan (mandi sekurang – kurangnya dua kali sehari, menggosok gigi secara teratur, dan mencuci tangan sebelum memegang makanan dan sesudah makan), memelihara kebersihan pakaian (selalu dicuci dan setrika), memelihara kebersihan rumah dan lingkungannya (selalu disapu, membuang sampah, buang air bersih dan air limbah pada tempatnya).
b. Makanan yang sehat
Makanan harus selalu dijaga kebersihannya, bebas dari bibit penyakit, cukup kuantitas dan kualitas.
c. Cara hidup yang teratur
Makan, tidur, bekerja dan beristirahat secara teratur termasuk rekreasi dan menikmati hiburan pada waktunya.
d. Meningkatkan daya tahan tubuh
Untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit perlu mendapatkan vaksinanasi, olahraga secara teratur untuk menjaga agar badan selalu bugar.

e. Menghindari terjadinya penyakit
Agar selalu sehat, hindari kontak dengan sumber penularan penyakit baik yang berasal dari penderitaan maupun dari sumber lainnya, menghindari pergaulan yang tidak baik, selalu berpikir dan berbuat baik.
f. Pemeriksaan kesehatan
Untuk menjaga badan agar selalu sehat, perlu dilakukan pemeriksaan secara periodik, walaupun merasa sehat, dan segera memeriksakan diri apabila merasa sakit.
2. Kuku dan Kesehatan
Kuku berfungsi melindungi ujung jari yang lembut dan penuh urat saraf, serta mempertinggi daya sentuh. Secara kimia, kuku sama dengan rambut yang antara lain berbentuk dari keratin, protein yang kaya akan sulfur.
Kulit ari pada pangkal kuku berfungsi melindungi dari kotoran. Kuku tumbuh dari sel mirip gel lembut yang mati, mengeras dan kemudian berbentuk saat mulai tumbuh keluar dari ujung jari.
Pada kulit dibawah kuku terdapat banyak pembuluh kapiler yang memiliki suplai darah kuat sehingga menimbulkan kemaerah – merahan. Seperti tulang dan gigi, kuku merupakan bagian terkeras dari tubuh karena kandungan airnya sangat sedikit.
Nutrisi yang baik sangat penting bagi pertumbuhan kuku. Pertumbuhan kuku jari tangan dalam satu minggu rata – rata 0,5 – 1,5 mm, empat kali lebih cepat dari pertumbuhan kuku jari kaki. Pertumbuhan kuku juga dipengaruhi oleh panas tubuh (Onggowaluyo, 2002).
Kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian seseorang. Kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikroorganisme diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan cacingan diantaranya melalui tangan yang kotor. Kuku jari tangan yang kotor yang kemungkinan terselip telur cacing akan tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan, atau bahkan pada anak – anak yang menderita Oxuriasis akan mengalami auto infeksi ketika menghisap jari sewaktu tidur (Luize, 2004 dan Onggowaluyo, 2002).
3. Tinja dan Kesehatan
Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dalam kesehatan lingkungan. Pembuangan tinja yang tidak saniter akan mengakibatkan terkontaminasinya air tanah dan sumber – sumber air bersih. Kondisi ini mengakibatkan agen penyakit dapat berkembang biak dan menyebarkan infeksi terhadap manusia (Kusnoputranto, 1989).
Penyakit yang dapat ditularkan melalui tinja adalah penyakit – penyakit yang penyebab dan bibit penyakitnya terdapat didalam tinja tersebut. Penyakit yang sering ditimbulkan dapat digolongkan sebagai berikut: (Notoatmodjo, 1997)
a. Penyakit enteric, misalnya: Kolera dan Diare
b. Infeksi Virus, misalnya: Hepatitis infektiosa
c. Infeksi Cacing, misalnya: Ascariasis,Scistomiasis, Enterobiosis.
Terhadap hubungan antara pembuangan tinja dengan status kesehatan penduduk baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung misalnya dapat mengurangi insiden dari penyakit – penyakit tertentu yang dapat ditularkan karena kontaminasi dengan tinja misalnya Helminthiasis (Ascariasis, Ancylostomiasis, Wnterobiasis, dan lain – lain), Typhus abdominalis, Kolera, Disentri dan lain – lain.
4. Helminthiasis pada Manusia
Helminthiasis adalah keadaan patologis karena infeksi cacing atau suatu penyakit dimana seseorang mempunyai cacing didalam ususnya. (Ramali, 1990 dan Depkes, 1992). Helminthiasis yang banyak di temukan pada manusia adalah Ascariasis akibat cacing gelang (Ascariasis lumbricoides), Tricuriasis akibat cacing cambuk (Tricuris triciura), Necatoriasis akibat cacing tambang (Necator americanus) yang termasuk cacing yang ditularkan melalui tanah atau soil transmited Disease (Depkes, 1998).
a. Ascaris lumbricoides (Cacing gelang)
Ascaris lumbricoides disebut juga cacing gelang, mengakibatkan penyakit Ascariasis. Penyebarannya diseluruh dunia (kosmopolit) dan lebih sering dijumpai pada anak usia 5 – 10 tahun. Frekuensinya di Indonesia tergolong tinggi, yaitu antara 80 – 90%. Manusia merupakan satu – satunya hospes definitif cacing ini (Haryati, 1993).
1) Morfologi
Cacing dewasa betina, panjangnya antara 20 – 35 cm, berbentuk silindris (bulat panjang), berwarna putih kemerah – merahan dan berekor lurus / tidak melengkung. Cacing dewasa jantan, panjang antara 10 – 30 cm, berbentuk silindris, berwarna putih kemerah – merahan dan mempunyai ekor melengkung (Haryati, 1993).
2) Siklus Hidup
Dimulai dari tertelannya telur infektif yang telah terkontaminasi dengan tinja manusia. Telur ini akan menetas di bagian atas usus (duodenum), dan mengeluarkan larva rhabditiform yang akan keluar menembus dinding usus dan akan melalui aliran darah ke vena kecil atau pembuluh limfe. Melalui sirkulasi portal, larva ini masuk ke hepar dan kemudian ke jantung lalu ke paru – paru. Siklus ke paru – paru in disebut “lung passage”, dan gunanya adalah untuk mengambil oksigen. Dari alveolus, larva bermigrasi ke bronchiolus lalu ke bronchus naik ke trachea lalu ke larynk dan naik ke pharynk, kemudian larva tertelan dan masuk ke oesophagus dan akhirnya ke duodenum dan menjadi dewasa (Brown, 1993).
Lamanya waktu antara tertelan telur matang hingga menjadi cacing dewasa berlangsung selama 2 hingga 2,5 bulan. Cacing jantan dan betina dewasa akan berkopulasi dan menghasilkan telur yang akan mencemari tanah melalui faeces. Cacing betina bertelur sampai 200.000 butir per hari per ekor. Telur yang telah dibuahi akan menjadi matang ditanah yang lembab dalam waktu lebih kurang 3 minggu dan dapat hidup lama (berbulan – bulan hingga bertahun – tahun), serta tahan terhadap pengaruh cuaca buruk dan desinfektan kimiawi serta rendaman sementara dalam berbagai bahan kimia yang keras (Haryati, 1993).
3) Gejala Klinis
Ascaris lumbricoides menimbulkan berbagai gejala penyakit. Apabila masih dalam bentuk larva, dapat menimbulkan kerusakan pada paru – paru, akan tetapi kerusakannya kecil dan larva ini dapat menyebabkan “loeffer syndrome” dengan gejala – gejala: demam, batuk, infiltrasi paru – paru, aodema, asma, leucocytosis, oesinofilia. Foto thorax terlihat seperti gambaran pneumonia. Hal ini disebabkan oleh migrasi larva dari paru – paru. Gejala klinis ini biasanya hanya ringan saja kecuali bagi orang yang sensitif.
Gejala penyakit yang disebabkan oleh cacing dewasa bisa menimbulkan gastro intestinal ringan. Pada infeksi berat dapat menimbulkan ileus dan coli. Cacing mungkin juga masuk ke ductus choleduchus, appendix, menyumbatam ampula uteri dan mengakibatkan pancreatitis haemoragik. Sewaktu muntah, cacing dewasa dapat juga keluar melalui mulut dan hidung. Dalam waktu sehari setiap ekor cacing ini menghisap 0,19 gram karbohidrat dalam usus halus penderita.
4) Diagnosa
Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai telur dalam tinja. Secara klinis, cacing dewasa keluar melalui mulut, hidung maupun anus.
5) Cara penularan Ascaris lumbricoides
Cacing dapat menular sebagai akibat dari adanya interaksi antara agent, proses transmisi, host dan dipengaruhi oleh lingkungan.
Cacing dewasa yang hidup di usus kecil bertelur dan telurnya keluar bersama feces. Telur yang berada di luar tubuh (± 3 minggu) tahan terhadap cuaca dan menjadi matang pada tanah yang lembab. Kebiasaan defikasi di sembarang tempat seperti ditanah pekarangan, dikebun (tidak di jamban yang memenuhi syarat) akan mengakibatkan telur menyebar di tanah, apabila ada tiupan angin, telur menyebar di dalam debu. Kurangnya hygiene dan sanitasi perorangan seperti tidak mencuci tangan bila makan dan bermain tanah akan mengakibatkan seseorang terinfeksi oleh Ascaris lumbricoides. Penularan Helminthiasis melalui tanah yang tercemar sehingga sering disebut sebagai soil transmitted diseases. Apabila tertelan / masuk ke usus manusia, telur tersebut menetas menjadi larva dan cacing dewasa. Mulai dari tertelan hingga dewasa dibutuhkan waktu selama 2 – 21/2 bulan (Adam, 1992).
6) Epidemiologi
Iklim tropis sangat sesuai untuk perkembangan telur dan larva cacing. Suhu optimal untuk perkembangan telur adalah 23 – 30oC. Tanah liat sangat sesuai untuk perkembangan telurnya. Pada kelembaban 80%, telur akan tumbuh menjadi stadium larva. Tiupan angin menyebabkan telur cacing menyebar di dalam debu.
Faktor manusia merupakan salah satu hal yang sangat penting, karena manusia sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi pencemaran tanah oleh telur dan larva cacing, atau justru akan menambah polusi lingkungan sekitarnya. Sebagian masyarakat masih ada yang mempunyai kebiasaan buang hajat (defikasi) di tanah di sekitar rumah, dikebun – kebun atau dibawah pohon. Biasanya hal ini dijumpai pada golongan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan keadaan sanitasi yang jelek. Kebiasaan ini akan mengakibatkan terjadinya kontaminasi tanah oleh telur dan larva cacing dan menimbulkan reinfeksi secara terus – menerus di daerah endemik (Brown, 1983).
Gambar 1
Ascaris lumbricoides stadium telur dibuahi dan tidak dibuahi (6,4 x 40)

b. Trichiuris trichiura
1) Siklus hidup
Cacing dewasa hidupnya di usus besar dan kepalanya terbenam di dalam mukosa usus. Daur hidupnya tidak melalui paru – paru. Telur yang keluar bersama tinja penderita, setelah 2 – 3 minggu di tanah, telur tersebut menjadi matang/infeksi/berisi larva. Suhu optimum untuk perkembangan telurnya adalah 30oC. Bila telur ini tertelan oleh manusia, maka akan menetas di dalam usus halus dan larvanya keluar, lalu masuk ke usus besar. Disana ia tumbuh menjadi dewasa dan menetap. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun dalam usus besar hospes (Brown, 1983).
2) Cara penularan Trichiuris trichiura
Hidup di usus besar dan kepalanya tenggelam di dalam mucosa usus. Penyebarannya melalui telur yang terdapat dalam tinja penderita. Setelah 2 – 3 minggu di tanah, telur menjadi matang dan berisi larva. Apabila tertelan oleh host baru, maka akan menetas di usus halus, tumbuh dan menjadi dewasa dan menetap di usus besar.
3) Epidemiologi
Secara geografis penyebaran Trichiuris trichiura sama dengan Ascaris lumbricoides, sehingga seringkali kedua cacing ini ditemukan bersama – sama dalam satu hostes. Frekuensinya di Indonesia tinggi antara 30 – 90%, terutama di daerah pedesaan. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anak – anak. Faktor terpenting dalam penyebaran Triucuriasis adalah kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur. Telur berkembang biak pada tanah liat, lembab dan teduh.
Gambar 2
Cacing dewasa trichuris trichura

Gambar 3
Trichuris trichura telur (10 x 40)

c. Hook Worm (Cacing tambang)
Cacing tambang ini dikenal ada dua macam species, yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Cacing dewasa hidup dalam rongga duodenum dan mulutnya melekat pada mukosa untuk melukai dan mengisap darah sebagai makanannya. Bila cacing ini melepaskan mulutnya/berpindah, luka belas isapannya akan terus mengeluarkan darah dalam waktu yang agak lama.
Cacing ini terdapat di seluruh daerah khatulistiwa dan ditempat lain yang beriklim sama, terutama di daerah pertambangan dan perkebunan yang mempunyai sanitasi yang jelek. Di Indonesia frekuensinya tinggi ± 70% dan yang terbanyak diantara kedua species ini adalah Necator americanus (Brown, 1983).
1) Morfologi
Cacing dewasa berbentuk silindrik. Ukuran cacing betina 9 – 13 mm dan cacing jantan 5 – 10 mm. Bentuk Necator americanus seperti huruf S, sedangkan A. Duodenale dilengkapi dua pasang gigi berbentuk lancip. Kedua cacing ini, yang jantan ujung ekornya mempunyai bursa kapulatrik, sedangkan yang betina ekornya lurus dan lancip. Kedua species cacing dewasa ini secara morfologi mempunyai perbedaan yang nyata (terutama bentuk tubuh rongga mulut dan bursa kopulatriknya).
2) Siklus hidup
Cacing dewasa hidup dalam usus halus manusia. Cacing melekat pada mukosa usus dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik. Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui penetrasi kulit oleh larva filariform yang ada di tanah.
Telur kedua cacing ini keluar bersama – sama dengan tinja. Didalam tubuh manusia, dengan waktu 1 – 1,5 hari telur telah menetas dan mengeluarkan larva rabditiform yang panjangnya kurang lebih 250 mikron, rongga mulut panjang dan sempit.
Selanjutnya dalam waktu kira – kira 3 hari, larva rabditiform berubah menjadi larva filariform (bentuk infektif) yang panjangnya kira – kira 500 mikron, rongga mulut tertutup. Larva filariform dapat bertahan didalam tanah selama 7 – 8 minggu. Infeksi pada manusia terjadi apabila larva filariform menembus kulit atau tertelan. Daur hidup kedua cacing tambang ini dimulai dari larva filariform menembus kulit, kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut – turut menuju jantung kanan, paru – paru, bronkus, tarkea, laring, dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa (Onggowaluyo, 2002). Kemudian menjadi cacing dewasa yang matang bertelur 5 – 6 minggu setelah infeksi (Brown, 1983).
3) Gejala Klinis
Larva filariform yang menembus kulit menimbulkan penyakit “ground itch” dengan gejala – gejala: gatal, erythem, papula, erupsi dan vesicular pada kulit. Setelah sampai di paru – paru, maka akan menimbulkan batuk dan pneumoritis. Bila larva filariform tertelan, maka akan menimbulkan penyakit “wakan disease”.
Cacing dewasa mempunyai sifat mengisap darah dan suka berpindah – pindah serta bekas luka isapannya terus mengeluarkan darah karena cacing ini mengeluarkan sejenis anti koagula tempat menutupnya melekat pada mukosa usus. Hal ini akan menimbulkan anemia hypocrom microcitair yang kronis pada penderita. Anemia ini bisa menyebabkan Hb turun hingga 2 gr% dan sel darah merah lebih kecil dari ukuran normal. Penderita masih dapat bekerja tetapi selalu lemah dan lesu serta debaran jantung lebij cepat dan lebih kuat. Anemia ini timbul karena:
a) Defisiensi ferrum
b) Darah yang diisap cukup banyak (Necator americanus rata – rata menghisap 0,03 ml darah/hari/ekor dan Ancylostoma duodenale rata – rata 0,3 ml/hari/ekor
c) Banyak luka usus yang masih mengeluarkan darah karena cacing ini suka berpindah – pindah.
d) Kemungkinan cacing ini mengeluarkan toksin
Berat ringannya anemia ini tergantung kepada jumlah dan species cacing serta keadaan gizi penderita, umur dan daya tahan penderita serta terinfeksi.
4) Cara penularan Hookworm
Telur yang keluar bersama tinja, setelah 2 – 3 hari menetas dan keluarlah larva rhabditiform, selama 2 hari larva ini berubah menjadi filariform (infektif) yang tahan terhadap perubahan iklim, dapat hidup selama 7 – 8 minggu di tanah lembab. Defikasi disembarang tempat membuat larva filariform menyebar ditanah. Larva filariform menembus kulit sehingga menimbulkan “Ground itch”, sedangkan apabila tertelan menimbulkan wakana disease dan apabila terhirup melalui udara pernafasan dan mencapai paru mengakibatkan batuk dan Pneumonitis. Penyebab kepada host baru juga melalui tanah atau makanan (mulut) dan pernafasan.
5) Epidemiologi
Di Indonesia insiden Nekatorriasis dan Ankilostomiasis cukup tinggi. Kasusnya banyak ditemukan di pedesaan, khususnya pada pekerja di daerah perkebunan yang kontak langsung dengan tanah. Tanah yang gembur berpasir, humus dan lembab sangat baik untuk pertumbuhan larva dengan suhu optimus 28 – 32oC untuk larva N. Americanus dan 23 – 25oC untuk A. Duodenale. Penderita yang defikasi di sembarang tempat, pemakaian tinja sebagai pupuk kebun dan kebiasaan tidak memakai alas kaki sangat penting dalam penyebaran cacing tambang ini (Onggowaluyo, 2002).
Gambar 4
Cacing tambang telur (6,3 x 40)

Gambar 5
Cacing tambang larva rhabditiform (10 x 6,3)

d. Enterobius vermicularis (cacing keremi)
Menimbulkan penyakit cacingan yang dikenal dengan nama enterobiasis atau oxyuriasis. Hospes definitifnya adalah manusia. Penyebarannya kosmopolit, frekuensinya di Indonesia tinggi terutama anak – anak.
1) Morfologi
Berbentuk silindris, warna putih susu, mempunyai “chepalic alea”. Cacing betina panjangnya ± 1 cm, ekornya sangat runcing dan kosong. Seekor cacing betina dapat memproduksi telur lebih kurang 10.000 butir. Sesudah bertelur cacing tersebut akan mati. Cacing jantan jauh lebih kecil, panjangnya 2 – 5 mm, ekor melengkung kearah ventral dab banpak adanya spikulum. Cacing jantan umurnya lebih pendek daripada cacing betina, karena cacing jantan akan mati setelah kopulasi. Secara mikroskopis oesophagus berbentuk khas yaitu mempunyai tiga bibir (Haryati, 1993 dan Onggowaluyo, 2002).
2) Siklus hidup
Cacing ini hidup di rongga caecum, colon assenden dan bisa juga di appendix. Cacing betina pada malam hari mengembara ke anus, bertelur di kulit perianal. Telur ini matang setelah 6 jam. Telur matang yang tertelan oleh manusia, menetas di usus halus dan tumbuh menjadi dewasa di usus besar maupun appendiks. Daerah perianal dan peineum sering gatal terutama pada malam hari, karena cacing ini bertelur disana, hal ini mengakibatkan daerah perenium sering digaruk. Kadang – kadang cacing bermigrasi ke organ vagina wanita. Jari/kuku yang dilekati tekur dimasukkan ke mulut/diisap (kebiasaan anak – anak) pada waktu tidur, maka telur tersebut akan tertelan. Hal ini sering disebut dengan auto infeksi (Haryati, 1993 dan Onggowaluyo, 2002).
3) Gejala Klinis
Karena daerah parianal gatal, maka sering digaruk yang bisa menimbulkan infeksi bakteri maupun jamur yang menyebabkan penyakit kulit Prutiyus ani, bila cacingnya bermigrasi ke vagina dan menuju ke tuba falopii dan sering menimbulkan peradangan saluran telur sehingga terjadi Pruritus vagina.
Beberapa gejala telah diketahui diantaranya yaitu nafsu makan berkurang, berat badan menurun, mimpi buruk, gigi menggertak, enuresis, insomnia, gelisah dan berakhir dengan melakukan mastubasi (Onggowaluyo, 2002).
4) Cara penularan Enterobius vermicularis (cacing keremi)
Enterobius vermicularis sering disebut juga dengan Oxyuris vermicularis, hidup dalam rongga caecum, colon assenden, dam dapat juga di appendix. Cacing betina dewasa yang gravid pada malam mengembara pergi ke anus untuk bertelur di kulit perianal, sehingga anus terasa gatal – gatal. Ketika menggaruk – garuk, telur mungkin melekat pada jari/kuku tangan, kemudian ikut tertelan bersama makanan (auto infeksi). Telur yang tertelan kemudian pecah dan menjadi larva hingga dewasa. Sebagian telur yang melekat pada sprei/alas tidur akan terhirup melalui hidung atau mulut oleh penderitaan sendiri maupun host baru dan masuk ke usus hingga tumbuh menjadi dewasa.

5) Epidemiologi
Penyebaran cacing kremi lebih luas jika dibandingkan dengan penyebaran Nematoda usus lainnya. Penyebarannya lebih sering terjadi pada satu keluarga maupun kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama, misalnya asrama, panti asuhan, dan panti jompo. Dalam hal penyebaran, hal berikut sangat penting, yaitu tangan sebagai sarana auto infeksi dan pakaian/sprei sebagi sarana penyebaran secara inhalasi. Tinja penderita tidak penting karena telur jarang sekali dijumpai pada tinja penderita.
Gambar 6
Oxyuris vermicularis dewasa

Gambar 7
Oxyuris vermicularis telur (6,3 x 40)

5. Dampak Helminthiasis terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia
a. Dampak terhadap Status Kesehatan dan Gizi
Helminthiasis sering menimbulkan berbagai penyakit di dalam perut dan berbagai gejala penyakit perut seperti kembung dan diare. Cacing gelang tidak jarang menimbulkan kematian karena penyumbatan usus dan saluran empedu. Cacing tambang dan Cacing cambuk dapat mengakibatkan anemia berat yang menyebabkan orang menjadi sangat lemah karena kehilangan darah.
Terhadap status gizi, Helminthiasis mempengaruhi pemasukan, pencernaan, penyerapan serta metabolisme makanan sehingga menyebabkan kekurangan gizi. Anak yang menderita kecacingan, nafsu makan menurun, jumlah cacing yang banyak didalam anus akan mengganggu pencernaan dan penyerapan makanan. Hal ini yang berakibat pada menurunnya daya tahan tubuh terhadap infektif.
Pada orang yang kekurangan gizi, akibatnya lebih buruk lagi. Dari penelitian yang dilakukan Platt dan Heard (1965), terbukti bahwa perilaku cacing dalam mencuri zat gizi menjadi lebih agresif pada keadaan kekurangan gizi. Terjadinya gangguan gizi dan kesehatan pada penderita berlangsung melalui produksi zat toksin dan zat anti enzim yang dihasilkan cacing serta kerusakan dinding usus yang diakibatkan oleh gesekan tabung cacing (Depkes, 1998).
b. Dampak terhadp Intelektual dan Produktivitas
Helminthiasis secara umum berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan, mental dan prestasi anak sekolah. Hasil penelitian Bundi, (1992) menunjukkan bahwa anak – anak sekolah dasar di Jamaika yang teinfeksi cacing Trichuris trichura (cacing cambuk) mengalami penurunan kemampuan berfikir.
Di Kenya penelitian oleh Stephenson (1993) menunjukkan bahwa menurunnya kesehatan jasmani, pertumbuhan dan selera makan pada anak sekolah yang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides (Cacing gelang) dan Trichuris trichura.
Di Malaysia ditemukan dampak infeksi kecacingan terhadap penurunan kecerdasan dilingkungan anak sekolah oleh Che Gani (1994). Penyakit ini tidak menyebabkan orang mati mendadak, akan tetapi menyebabkan penderita semakin lemah karena kehilangan darah yang menahun sehingga menurunkan prestasi. Disamping itu daya tahan tubuh juga menurun sehingga dapat memperberat penyakit lainnya (Depkes, 1995).
6. Penanggulangan Helminthiasis pada anak SD
Penanggulangan penyakit Helminthiasis pada anak SD bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan anak sekolah atau lebih khusus lagi untuk menghilangkan infeksi cacing perut dari populasi anak usia sekolah.
Penanggulangan Helminthiasis dapat dilakukan dengan cara pemberian obat cacing, penyuluhan dan promosi budaya hidup bersih dan sehat, perbaikan/pengadaan Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga (Samijiga) serta motivasi peran orang tua.
Kegiatan ini dapat dilakukan melalui upaya Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dengan melibatkan kerja sama lintas sektoral terutama pada Timb Pembina UKS dan kerjasama lontas program di instansi kesehatan. Disamping itu dilakukan pula pemeriksaan untuk mengetahui angka penyakit cacingan sebelum dan sesudah diberi obat. Pengobatan dilakukan setiap 6 bulan sekali dan fase pertama berlangsung paling sedikit 3 tahun. Agar lebih terintegrasi maka pada tingkat sekolah dibentuk tim pelaksanaan penanggulangan penyakit kecacingan dengan Surat Keputusan Kepala Sekolah dan mengikut sertakan orang tua murid dan unsur teknis (Puskesmas) dengan dukungan dari Tim Pembina UKS tingkat Kecamatan dan Kabupaten/Kota (Dinas P&K Propinsi Sumatera Utara, 1995).
7. Kerangka konsep
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya maka dapat disusun sebuah kerangka konsep penelitian. Selengkapnya pada gambar berikut ini
B. KERANGKA TEORI
Gambar 8
Kerangka Teori Penelitian

DAFTAR PUSTAKA
Adam. S., 1992. Dasar – dasar Mikrobiologi Parasitologi. Jakarta: EGC.
Azwar. A., 1993. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara.
Brown. H.W., 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Edisi III. Jakarta: Gramedia.
Depkes. R.I., 1992. Marilah Memberantas dan Mencegah Kecacingan. Jakarta: P2M-PLP.
Entjang. I., 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Hadidjaja. P., 1990. Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran. Jakarta: penerbit FKUI.
Haryati, 1993. Helmintoiogi Kedokteran. Medan: Bagian Parasitologi FK USU.
Kunsoputranto. H., 1989. Kesehatan Lingkungan. Jakarta:FKM UI.
Notoatmodjo. S., 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: penerbit Rineka Cipta.
Onggowaluyo. J.S., 2002. Parasitologi Medik. Jakarta: EGC.
Rahfiluddin. M.Z., 2000. Intervensi Pendidikan Kesehatan sebagai upaya Pencegahan Kecacingan pada Anak SD di Kota Semarang. Jurnal Epidemiologi Indonesia. Volume 4. Edisi 3. Hal:4-6
Ramali. A., 1990. Kamus Kedokteran. Jakarta: Jamban.
Sajimin. T., 2000. Gambaran Epidemiologi Kejadian Kecacingan pada Siswa SD di Kecamatan Ampana Kota Poso Sulawesi Tengah. Jurnal Epidemiologi Indonesia, Volume 4. Hal: 1 – 2.