Gerontofarmakologi

.   PENDAHULUAN

       Penggunaan obat pada lanjut usia merupakan masalah tersendiri yang perlu mendapat perhatian khusus dari bidang profesi kedokteran, apalagi dengan semakin bertambahnya jumlah populasi lanjut usia.

       Karena terjadinya proses menua tidak selalu sama pada setiap orang, penggunaan obat yang efektif dan aman adalah suatu masalah individualisasi terapi. Menua fisiologis tidak selalu berjalan pararel dengan menua kronologis, namun terlepas dari adanya penyakit penyerta yang sering berpengaruh besar, proses menua fisiologislah yang menentukan nasib dan kerja dari suatu obat.

       Hal-hal berikut ini menggambarkan keadaan-keadaan yang dihadapi dalam hubungan farmakoterapi pada lanjut usia:

  • Penyakit pada lanjut usia cenderung terjadi pada banyak organ dan bersifat kronik sehingga pemberian obat juga cenderung bersifat polifarmasi, belum lagi kalau diingat kecenderungan mengunjungi banyak dokter, sehingga polifarmasi lebih sering terjadi.
  • Polifarmasi menyangkut biaya yang besar untuk pembelian obat. Juga lebih banyak terjadi interaksi obat, efek samping obat dan reaksi samping yang merugikan.
  • Proses menua yang fisiologis menyebabkan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obat, juga penurunan fungsi dari berbagai organ, sehingga tingkat keamanan obat dan efektifitas obat berubah dibanding usia muda.
  • Keadaan gizi dan kepatuhan berobat yang kurang mendapat perhatian pada lanjut

       Oleh karena itulah, seorang dokter diharapkan memahami perubahan-perubahan fisiologi dan farmakologi yang terjadi sejalan dengan proses menua sehingga bisa memberikan pengobatan yang lebih rasional, individualistik dan cermat mengevaluasi respons-respons terapi yang terjadi.

   Beberapa Istilah Pokok

        Farmakologi klinik ialah cabang farmakologi yang mempelajari efek obat pada manusia dengan tujuan mendapatkan dasar ilmiah untuk penggunaan suatu obat.

        Farmakoterapi ialah cabang ilmu farmakologi yang berhubungan dengan penggunaan obat dalam pencegahan dan pengobatan suatu penyakit. Baik dalam farmakologi klinik maupun farmakoterapi dipelajari aspek farmakokinetik dan farmakodinamik suatu obat.

       Farmakokinetik mempelajari nasib obat di dalam tubuh yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi) dan ekskresinya.

       Farmakodinamik mempelajari efek obat, baik efek terapeutik maupun efek non-terapeutik (efek samping / side effect / adverse drug reaction), terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya.

II. FARMAKOKLINIK DAN LANJUT USIA

       Setiap memberikan obat kepada penderita lanjut usia, diharapkan timbulnya respons yang tentunya merupakan suatu respons terapeutik yang menguntungkan. Namun untuk mencapai efek terapeutik ini, ada banyak hal yang berpengaruh. Secara ringkas, berbagai faktor yang dapat mempengaruhi respons penderita lanjut usia terhadap obat dapat dilihat pada gambar berikut:

Jumlah obat, dosis dan aturan pakai

  • kepatuhan penderita
  • ketepatan medikasi

Dosis yang diminum

Faktor-faktor farmakokinetik

  • absorpsi
  • distribusi
  • metabolisme (biotransformasi) – kondisi fisiologis
    • ekskresi     – kondisi patologik

                                                                                           – interaksi obat

   Kadar obat di jaringan                                                            – gizi dan diet

tempat kerja obat                                                                   – faktor genetik

                              Faktor-faktor farmakodinamik                   – toleransi

  • sensitivitas reseptor
  • mekanisme homeostatik

Intensitas efek farmakologik = Respons penderita

(termasuk efek terapeutik dan non-terapeutik)

       Faktor-faktor farmakokinetik menentukan dari jumlah obat yang diminum berapa yang dapat mencapai jaringan tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologi yang ditimbulkan oleh kadar obat di reseptor. Sedangkan faktor-faktor lain yang turut berpengaruh  mencakup kondisi fisiologis dan patologis, interaksi obat, keadaan gizi dan diet, serta kepatuhan penderita. Semua faktor-faktor ini akan dibahas lebih terperinci sebagai berikut:

  1. Perubahan Fisiologis

       Kapasitas fungsional kebanyakan sistem organ menunjukkan penurunan yang dimulai sejak dewasa dan berlangsung seumur hidup. Seperti tampak pada gambar di bawah ini, tidak terdapat “middle age plateau” (plateau usia pertengahan), namun perubahan fisiologis merupakan penurunan linear yang sudah dimulai pada usia tidak lebih dari 45 tahun. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi pada semua orang. Kurang lebih 1/3 orang mengalami penurunan fungsi yang tidak berhubungan dengan usia, misalnya penurunan klirens kreatinin.

            Perubahan fisiologis dalam komposisi tubuh mencakup:

  • Penurunan berat badan total termasuk lean body mass, akibat penurunan jumlah cairan intraselular (body water). Keadaan ini berakibat menurunnya distribusi obat yang sebagian besar terikat pada air, misalnya litium.
  • Penurunan massa otot menyebabkan distribusi obat yang sebagian besar terikat pada otot akan menurun, misalnya digoksin.
  • Peningkatan kadar lemak tubuh mengakibatkan peningkatan kadar obat yang larut dalam lemak , misalnya diazepam.
  • Penurunan kadar albumin terutama pada lanjut usia yang sakit, menyebabkan penurunan ikatan obat dengan protein, misalnya salisilat, tiroksin, warfarin.

       Distribusi obat dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh keadaaan komposisi tubuh. Perubahan-perubahan ini akan mempengaruhi respons tubuh terhadap obat, dengan kata lain mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Secara ringkas perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik dapat dilihat pada gambar berikut:

Tabel 1. Perubahan yang Berkaitan dengan Menua yang  Mempengaruhi  Farmakokinetik Obat.

Variabel Dewasa Muda

(20 – 30 tahun)

Usia Lanjut

(60 – 80 tahun)

Air tubuh (% dari berat badan)

Lean body mass (% dari berat badan)

Lemak tubuh (% dari berat badan)

 

Albumin serum (g/dL)

Berat ginjal (% dari dewasa muda)

Aliran darah hepar (% dari dewasa muda)

61

19

26 – 33 (wanita)

18 – 20 (pria)

4,7

100

100

53

12

38 – 45

36 – 38

3,8

80

55 – 60

  1. Farmakokinetik

Dari keempat faktor farmakokinetik pada lanjut usia, yang terpenting adalah faktor ekskresi oleh ginjal.

  • Absorbsi

       Absorbsi menentukan bioavailabilitas atau availabilitas sistemik (F). Bila obat  diberikan secara intravena maka F=1, bila diberikan secara oral maka F biasanya kurang dari 1. Penyerapan obat per oral terjadi terutama di lambung dan usus halus. Kecepatan dan tingkat absorbsi obat dari lambung dan usus praktis secara keseluruhan tidak mengalami perubahan yang berarti, kecuali pada beberapa obat seperti Fenitoin, Barbiturat, dan Prazosin. Perubahan ini tidak bermakna secara klinis, terutama selama pengobatan jangka panjang. Kadang malah dapat terjadi keadaan sebaliknya yaitu meningkatnya bioavailabilitas Levodopa dan Propanolol akibat menurunnya inaktivasi di saluran cerna. Peningkatan pH lambung mempengaruhi  proses ionisasi dan daya kelarutan beberara jenis obat. Penurunan aliran darah usus mengurangi kecepatan absorbsi aktif obat-obat seperti Fe, Ca, Tiamin, Levodopa dan obat-obat antineoplastik. Penurunan motilitas tidak memberikan banyak pengaruh. Absorpsi melalui otot dengan pemberian obat intramuskular cenderung sedikit melambat dikarenakan turunnya aliran darah pada otot, seperti pada obat Lidokain dan Klordiazepoksid.

  • Distribusi

       Parameter distribusi disebut volume distribusi (Vd) yang menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum. Besarnya Vd ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, fungsi kardiovaskular, kemampuan obat memasuki kompartemen tubuh dan derajat ikatan protein plasma. Obat yang tertimbun dalam jaringan sehingga kadar plasma rendah memiliki Vd yang besar, seperti digoksin. Sebaliknya, obat yang terikat kuat pada protein plasma mempunyai Vd yang kecil seperti warfarin. Vd dapat dirumuskan sebagai berikut:

Vd = X   X = jumlah obat dalam tubuh

         C                C = kadar obat dalam plasma

       Hal terpenting dalam distribusi obat berhubungan dengan penyebaran obat dalam cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, atau pada beberapa obat lain α1 glikoprotein), dengan sel darah merah dan jaringan tubuh, termasuk dengan organ target. Pada lanjut usia, terdapat penurunan massa tubuh tanpa lemak (lean body mass) dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh, penurunan albumin plasma. Volume distribusi obat yang larut air seperti Furosemid dan Paracetamol mungkin menurun pada lanjut usia dengan akibat meningkatnya konsentrasi dalam darah dan jaringan. Contoh obat-obat lain yang dapat mengalami hal yang sama ialah antibiotika Aminoglikosida dan Digoxin. Sedangkan untuk obat yang larut lemak (lipofilik) seperti Lidokain, Amitriptilin, dan Diazepam distribusi terjadi lebih luas dan mempunyai waktu paruh yang lebih panjang. Penurunan albumin plasma sedikit saja pada lanjut usia yang sehat dapat menjadi lebih berarti bila terjadi pada lanjut usia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Selain itu, juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi dengan eliminasi yang lebih cepat. Kadar obat-obat terutama dari jenis asam lemah yang meningkat karena penurunan albumin plasma misalnya Fenitoin, Digitoxin, Warfarin, Klorpropamid, Klofibrat dan Furosemid.

       Perubahan fisiologis yang terjadi seiring dengan proses menua memang tidak banyak berpengaruh pada distribusi obat, tetapi untuk obat-obat yang disebutkan di atas, hendaknya faktor distribusi obat menjadi suatu hal yang harus dipertimbangkan dalam farmakoterapi lanjut usia.

  • Metabolisme

       Kapasitas fungsi hepar sebagai tempat metabolisme utama obat-obatan pada lanjut usia menurun banyak oleh karena faktor-faktor penurunan aktivitas intrinsik enzim mikrosomal hati, berkurangnya massa hepar dan penurunan aliran darah hepar. Aktivitas enzim-enzimnya dapat dirangsang (induced)  misalnya rifampisin, luminal dan diazepam, maupun dihambat (inhibited) misalnya oleh Simetidin, Eritromisin, Allopurinol, Kalsium antagonis dan Siprofloksasin. Obat-obat yang mengalami metabolisme di hepar misalnya Parasetamol, Salisilat, Diazepam, Prokain, Propanolol, dan Warfarin, eliminasinya akan menurun sejalan dengan kemunduran kapasitas fungsional hepar. Penurunan massa hati konstan sesuai dengan berat badan (massa hepar 2,5% dari berat badan total). Mulai usia pertengahan, massa hati mengalami penurunan sebesar 0,2% per tahun. Aliran darah hati juga berkurang 0,3-1,5% pertahun. Hal ini menyebabkan kecepatan metabolisme hati menjadi bekurang, sehingga waktu paruh eliminasi obat dalam plasma juga meningkat. Obat-obat yang terpengaruh adalah: Propranolol, Imipramin, Desipramin, Amitriptilin, Nortriptilin.

  • Ekskresi

       Perubahan fisiologis yang mempengaruhi farmakokinetik obat meliputi penurunan massa ginjal, penurunan aliran darah ginjal (laju filtrasi glomerulus menurun 30% pada usia 65 tahun dan tinggal ± 35% pada usia 90 tahun), penurunan fungsi sekretorik.

       Pemberian dosis obat pada pasien lanjut usia memerlukan acuan nilai bersihan/klirens kreatinin (creatinine clearance). Nilai ini bisa diperoleh dengan rumus Cockroft-Gault, yaitu:

                    Kl kreatinin = (140-umur <thn>) x berat badan <kg>

                                72 x kreatinin serum <mg/dl>

               Untuk wanita, nilai ini dikalikan lagi dengan 0,85.

       Selain dengan rumus Cockroft-Gault, perkiraan klirens kreatinin bisa didapatkan dengan normogram Sierbaek-Nielsen. Selanjutnya, hasil bersihan kreatinin ini dimasukkan ke dalam formula Giusti Hayton. Formula ini sebenarnya dipakai pada pasien gagal ginjal, namun karena pada pasien lanjut usia juga terjadi penurunan fungsi ginjal maka formula ini dapat dipakai.

                           G = ( 1-fR ) x (1-  Kl kreatinin pasien    )

                                                       Kl kreatinin normal

               G  =  Faktor penyesuaian dosis.

                   f= fraksi obat yang diekskresi utuh oleh urin dari dosis yang    bioavailabel

Dosis yang ingin diberikan bisa dihitung dengan cara:

  • Dosis per kali pemberian tetap, interval diperpanjang

     T = TN x 1/G

  • Dosis per kali pemberian diperkecil, interval tetap

     D = DN x  G

  • Cara gabungan kedua cara diatas, yaitu dosis per kali pemberian diperkecil dan interval diperpanjang, asalkan dosis per satuan waktu sama dengan nilai tersebut pada ginjal normal dikali dengan G.

       Perhitungan ini bisa membantu dalam memperkirakan dosis, namun pemeriksaan kadar obat plasma beberapa obat yang relatif toksik perlu dilakukan seperti digoksin dan antibiotik aminoglikosida. Selain itu, harus diingat bahwa perhitungan tersebut hanya didasarkan atas penurunan fungsi ginjal penderita yang bersangkutan (berlaku untuk obat-obat yang ekskresinya melalui filtrasi glomerulus maupun yang melalui sekresi tubulus) dan belum memperhitungkan berbagai perubahan lainnya yang terjadi pada lanjut usia. Oleh karena itu, perhitungan ini hanya berguna sebagai perkiraan awal yang harus diikuti penyesuaian lebih lanjut sesuai respons klinik penderita dan/atau kadar plasma obatnya.

       Fungsi ginjal adalah suatu kerja yang dinamis, sehingga dosis rumatan perlu diubah sesuai kondisi patologis yang terjadi pada pasien. Pasien lanjut usia mudah mengalami kerusakan ginjal akibat dehidrasi, gagal jantung kongestif,  hipotensi, retensi urin, dan nefropati diabetikum.

       Beberapa obat yang terutama mengalami ekskresi utama di ginjal adalah simetidin, penisilin, litium, obat anti diabetik oral, pankuronium dan tetrasiklin.

       Paru-paru penting dalam ekskresi obat berupa gas. Sebagai akibat berkurangnya kapasitas respiratori dan peningkatan penyakit paru aktif pada lanjut usia, pemakaian anestesi inhalasi menjadi pertimbangan tersendiri dan bisa diganti dengan anestesi parenteral.

       Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu dan rambut tetapi dalam jumlah kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat.

Tabel 2. Hal-hal yang Mempengaruhi Farmakokinetik Obat pada Lanjut Usia

Parameter farmakokinetik Perubahan fisiologis

yang berhubungan dengan penuaan

Kondisi/penyakit terkait
Absorpsi

 

 

 

 

 

 

 

Distribusi

 

 

 

 

 

 

 

Metabolisme

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ekskresi

Peningkatan pH lambung

Penurunan permukaan absorbsi

Penurunan aliran darah spanknik

Penurunan motilitas saluran cerna

 

Penurunan output jantung

Penurunan jumlah air tubuh

Penurunan lean mass body

Penurunan albumin serum

 

 

 

Peningkatan a-1 glikoprotein

Peningkatan lemak tubuh

Penurunan massa hati

Penurunan aktivitas enzim

 

 

 

 

 

Penurunan aliran darah hati

Penurunan aliran darah ginjal

Penurunan laju filtrasi glomerulus

Penurunan sekresi tubulus

Akloridia

Diare

Gastrektomi

Sindrom malabsorpsi

Pankreatitis

 

 

 

Gagal jantung kongestif

Dehidrasi

Edem atau asites

Gagal hati

Malnutrisi

Gagal ginjal

 

Gagal jantung kongestif

Demam

Insufisiensi hepar

Keganasan

Malnutrisi

Penyakit tiroid

Infeksi virus atau imunisasi

 

Hipovolemia

Insufisiensi ginjal

  1. Farmakodinamik

 Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Perubahan-perubahan dari aspek farmakodinamik lanjut usia meliputi penurunan maupun peningkatan sensitivitas obat dengan reseptor (interaksi obat-reseptor), penurunan jumlah reseptor, kejadian pasca penangkapan oleh reseptor, serta perubahan mekanisme homeostatis.

       Obat menimbulkan serentetan reaksi biokimiawi dari reseptor sampai efektor. Di dalam sel terjadi proses biokimiawi yang menghasilkan respons selular. Respons ini pada lanjut usia secara keseluruhan menurun. Penurunan ini tidak dapat diprediksi dengan ukuran-ukuran matematis seperti yang terjadi pada farmakokinetik.

       Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimiawi selular intensitas pengaruhnya akan menurun, misalnya agonis β untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar, padahal dengan dosis yang besar, efek samping akan lebih besar pula. Sebaliknya obat-obat yang cara kerjanya menghambat proses biokimiawi selular, pengaruhnya akan menjadi lebih nyata sekali terlebih-lebih dengan mekanisme regulasi homeostasis yang melemah, efek farmakologi obat dapat sangat menonjol sehingga toksik, misalnya obat-obat antagonis β dan antikolinergik.

       Secara umum, didapatkan peningkatan kepekaan sistem saraf pusat usia lanjut terhadap psikotropika seperti Morfin, Benzodiazepin, sebagian besar antipsikotik dan analgesik. Sebaliknya didapatkan penurunan efek obat kardiovaskular terutama Propanolol karena penurunan sensitivitas reseptor yang terjadi.

       Berkurangnya efisiensi mekanisme homeostatik merupakan bagian dari proses menua dengan akibat berkurangnya kemampuan lanjut usia menetralkan berbagai efek obat sehingga lebih rentan terhadap efek sampingnya. Akibat mundurnya fungsi baroreseptor, hipotensi postural akibat obat sering terjadi, seperti pada penggunaan diuretika tiazid. Kemampuan termoregulasi juga berkurang nyata dan hipotermia akibat obat yang disebabkan oleh efek farmakologi langsung atau tak langsung melalui berkurangnya mobilitas, adalah masalah utama pada usia lanjut. Fenotiazin menimbulkan kesukaran yang nyata dalam hal ini.  Jatuh pada lanjut usia juga dapat disebabkan oleh efek obat pada mekanisme pengendalian sikap tubuh, misalnya kejadian aritmia oleh obat.

       Pemeliharaan fungsi intelektual yang normal, pengaturan kadar gula darah dan pengendalian saraf atas fungsi berkemih dan buang air besar juga menjadi kurang efisien. Akibatnya, meningkatlah kepekaan terhadap efek farmakologi atau efek samping obat.

  1. Kondisi Patologis

       Penderita lanjut usia biasanya menderita beberapa penyakit sekaligus.   Penyakit-penyakit ini biasanya bersifat kronis seperti gagal jantung/gagal ginjal, hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular, diabetes, artritis, osteoporosis, katarak demensia dan sebagainya. Selain itu, masih ada lagi komplikasi dari berbagai penyakit yang diderita. Dari uraian ini, dapat dilihat bahwa lanjut usia memerlukan obat-obat yang di antaranya memiliki batas keamanan yang sempit seperti digitalis, anti-aritmia, antidiabetik oral, antipsikotik dan lain-lain. Hendaknya diingat bahwa kadang terjadi perubahan respons terhadap penyakit sehingga memungkinkan diagnosa dan pengobatan yang keliru dengan segala akibatnya. Salah satu contoh adalah keluhan-keluhan psikis yang sering muncul sebagai gejala penyakit somatis.

       Diantara penyakit-penyakit yang sering diderita lanjut usia, yang dapat   mempengaruhi respons terhadap obat adalah:

  • Penyakit yang menurunkan aliran darah ke organ, diantaranya adalah gagal jantung kongestif (cardiac heart failure/CHF). Pada pasien CHF terjadi pengurangan luasnya distribusi obat seperti lidokain, digoksin dan teofilin sehingga dosis awal obat-obat tersebut harus dikurangi paling sedikit 1/3nya. Berkurangnya aliran darah pada hepar akan mengurangi metabolisme obat-obat seperti Propanolol, Lidokain dan Morfin. Pada ginjal, berkurangnya aliran darah akan mengurangi ekskresi obat-obat dengan klirens tinggi di ginjal, terutama obat yang tidak hanya difiltrasi oleh glomerulus tetapi juga disekresi aktif oleh tubulus ginjal, seperti Penisilin dan Neostigmin.
  • Penyakit hati, dibedakan antara penyakit hepar yang kronik seperti sirosis hepatis dan yang akut seperti hepatitis viral akut. Pada penyakit hati kronik terjadi penurunan aliran darah hepar, penurunan produksi albumin dan penurunan aktivitas intrinsik enzim-enzim metabolisme sehingga pengurangan dosis obat-obat tertentu yang dimetabolisme maupun terikat albumin perlu dikurangi seperti Fenitoin dan Warfarin. Berapa besar dosis yang dikurangi diperkirakan dari respons klinik atau monitoring kadar plasma obat. Pada penyakit hepar akut, aliran darah dapat meningkat dengan aktivitas enzim yang bisa meningkat atau menurun, kadar albumin plasma tetap atau menurun dengan kadar bilirubin meningkat. Oleh karena itu, klirens obat-obat dapat meningkat, menurun atau tetap.

Gagal ginjal, jelas mengurangi klirens obat-obat yang bentuk utuhnya atau metabolit aktifnya diekskresi oleh ginjal sehingga dosis obat perlu diturunkan, terutama obat dengan batas keamanan yang sempit. Besarnya