GANGGUAN MUSKULOSKELETAL

BAB XVI
GANGGUAN MUSKULOSKELETAL

TUJUAN BELAJAR

TUJUAN KOGNITIF
Setelah membaca bab ini dengan seksama diharapkan anda sudah dapat:
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi Sistem Muskuloskeletal sebagai penunjang bentuk tubuh serta peranannya dalam pergerakan.
2. Mengetahui sebab-sebab gangguan muskuloskeletal pada lanjut usia, seperti:
2.1. Osteoarthritis
2.1.1. Etiologi, patogenesis, dan gejala-gejalanya.
2.1.2. Pemeriksaan penunjang, diagnosa serta penatalaksanaannya.
2.2. Arthritis Rheumatoid
2.2.1. Etiologi, patogenesis, dan gejala-gejalanya.
2.2.2. Pemeriksaan penunjang, diagnosa serta pengobatannya.
2.3. Arthritis Gout
2.3.1. Patogenesis dan gambaran klinisnya.
2.3.2. Diagnosa dan penatalaksanaannya.
2.4. Amiloidosis
2.4.1. Klasifikasi dan manifestasi klinisnya.
2.4.2. Diagnosa, terapi, dan prognosanya.

TUJUAN AFEKTIF
Setelah membaca bab ini dengan penuh perhatian, maka penulis mengharapkan anda sudah akan dapat:
1. Mengerti akan gangguan muskuloskeletal pada lanjut usia serta masalah yang diakibatkannya.
2. Mencoba menggali lebih jauh gangguan muskuloskeletal pada lanjut usia.
3. Membantu lanjut usia dalam menangani masalah yang diakibatkan oleh gangguan sistem muskuloskeletal.

I. PENDAHULUAN
Seiring bertambahnya usia, tubuh manusia akan mengalami perubahan. Dari awal hingga akhir kehidupan, semua organ dan jaringan tubuh mengalami perubahan. Begitu pula dengan sistem muskuloskeletal dan semua jaringan lain yang dapat menyebabkan kelainan pada sistem muskuloskeletal tersebut. Apabila terdapat gangguan pada sistem muskuloskeletal, fungsi otot yang terganggu dapat mengalami penurunan jika tidak digunakan. Nyeri otot dan sendi-tulang merupakan keluhan utama pada lanjut usia yang terdapat pada daerah perkotaan.
Penyebab terjadinya gangguan muskuloskeletal pada lanjut usia dapat dikelompokkan menjadi:
A. Mekanik : penyakit sendi degeneratif (osteoarthritis), stenosis spinal
B. Metabolik : osteoporosis, myxedema, penyakit paget
C. Berkaitan dengan keganasan : dermatomyositis, neuromiopati
D. Radang : polymyalgia rheumatica, temporal (giant cell) arthritis, gout
E. Pengaruh obat
Jenis-jenis gangguan pada sistem muskuloskeletal sangat bervariasi. Beberapa yang paling sering terjadi dan akan dibahas antara lain; osteoarthritis, arthritis rheumatoid, arthritis gout, dan amiloidosis.

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Sistem muskuloskeletal berfungi sebagai penunjang bentuk tubuh dan ikut serta dalam pergerakan. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligamen, bursa, dan jaringan–jaringan khusus yang menghubungkan struktur tersebut.
A. Sendi
Sendi adalah pertemuan dua atau lebih tulang. Tulang-tulang ini dipadukan dengan berbagai cara, misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen, tendon, fasia, atau otot.
Ada tiga tipe sendi, yaitu :
1. Sendi fibrosa atau sinarthroidal, merupakan sendi yang tidak dapat bergerak.
2. Sendi kartilaginosa atau amphiarthroidal, merupakan sendi yang sedikit bergerak.
3. Sendi sinovial atau diarthroidal, merupakan sendi yang dapat bergerak dengan bebas.

A.1. Sendi fibrosa (Sinarthroidal)
Sendi ini tidak memiliki lapisan tulang rawan, dan tulang yang satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh jaringan penyambung fibrosa. Contohnya terdapat pada sutura tulang-tulang tengkorak. Yang kedua disebut sindesmosis, dan terdiri dari suatu membran interosseus atau suatu ligamen antara tulang. Hubungan ini memungkinkan sedikit gerakan, tetapi bukan gerakan sejati. Contohnya ialah perlekatan tulang tibia dan fibula bagian distal.

A.2. Sendi kartilaginosa ( Amphiarthroidal )
Sendi kartilaginosa adalah sendi dimana ujung–ujung tulangnya dibungkus oleh rawan hialin dan disokong oleh ligamen, sehingga hanya memungkinkan suatu gerakan yang terbatas. Ada dua tipe sendi kartilaginosa.

Sinkondrosis adalah sendi-sendi yang seluruh persendiannya diliputi oleh tulang rawan hialin. Sendi-sendi kostokondral adalah contoh dari sinkondrosis. Simfisis adalah sendi yang tulang-tulangnya memiliki suatu hubungan fibrokartilago, dan selapis tipis tulang rawan hialin yang menyelimuti permukaan sendi. Simfisis pubis dan sendi-sendi pada tulang punggung adalah contoh-contohnya.
A.3. Sendi sinovial ( Diarthroidal )
Sendi sinovial adalah sendi-sendi tubuh yang dapat digerakkan. Sendi-sendi ini memiliki rongga sendi dan permukaan rongga sendi dilapisi tulang rawan hialin.
Kapsul sendi terdiri dari suatu selaput penutup fibrosa padat, suatu lapisan dalam yang terbentuk dari jaringan penyambung berpembuluh darah banyak dan sinovium yang membentuk suatu kantung yang melapisi seluruh sendi, dan membungkus tendon-tendon yang melintasi sendi. Sinovium tidak meluas melampaui permukaan sendi, tetapi terlipat sehingga memungkinkan gerakan sendi secara penuh. Lapisan-lapisan bursa diseluruh persendian membentuk sinovium. Periosteum tidak melewati kapsul.
Sinovium menghasilkan cairan yang sangat kental yang membasahi permukaan sendi. Cairan sinovial normalnya bening, tidak membeku dan tidak berwarna. Jumlah yang ditemukan pada tiap-tiap sendi relatif kecil (1 sampai 3 ml). Hitung sel darah putih pada cairan ini normalnya kurang dari 200 sel/ml dan terutama adalah sel-sel mononuklear. Asam hialuronidase adalah senyawa yang bertanggung jawab atas viskositas cairan sinovial dan disintesis oleh sel-sel pembungkus sinovial. Bagian cair dari cairan sinovial diperkirakan berasal dari transudat plasma. Cairan sinovial juga bertindak sebagai sumber nutrisi bagi tulang rawan sendi.
Kartilago hialin menutupi bagian tulang yang menanggung beban tubuh pada sendi sinovial. Tulang rawan ini memegang peranan penting dalam membagi beban tubuh. Rawan sendi tersusun dari sedikit sel dan sebagian besar substansi dasar. Substansi dasar ini terdiri dari kolagen tipe II dan proteoglikan yang berasal dari sel-sel tulang rawan. Proteoglikan yang ditemukan pada tulang rawan sendi sangat hidrofilik sehingga memungkinkan tulang rawan tersebut menerima beban yang berat.
Tulang rawan sendi pada orang dewasa tidak mendapat aliran darah, limfe, atau persarafan. Oksigen dan bahan-bahan metabolisme lain dibawa oleh cairan sendi yang membasahi tulang rawan tersebut. Perubahan susunan kolagen pembentukan proteoglikan dapat terjadi setelah cedera atau usia yang bertambah. Beberapa kolagen baru pada tahap ini mulai membentuk kolagen tipe I yang lebih fibrosa. Proteoglikan dapat kehilangan sebagian kemampuan hidrofiliknya. Perubahan-perubahan ini berarti tulang rawan akan kehilangan kemampuannya untuk menahan kerusakan bila diberi beban berat.
Sendi dilumasi oleh cairan sinovial dan oleh perubahan-perubahan hidrostatik yang terjadi pada cairan interstitial tulang rawan. Tekanan yang terjadi pada tulang rawan akan mengakibatkan pergeseran cairan ke bagian yang kurang mendapat tekanan. Sejalan dengan pergeseran sendi ke depan, cairan yang bergerak ini juga bergeser ke depan mendahului beban. Cairan kemudian akan bergerak ke belakang ke bagian tulang rawan ketika tekanan berkurang. Tulang rawan sendi dan tulang-tulang yang membentuk sendi biasanya terpisah selama gerakan selaput cairan ini. Selama terdapat cukup selaput atau cairan, tulang rawan tidak dapat aus meskipun dipakai terlalu banyak.
Aliran darah ke sendi banyak yang menuju ke sinovium. Pembuluh darah mulai masuk melalui tulang subkondral pada tingkat tepi kapsul. Jaringan kapiler sangat tebal di bagian sinovium yang menempel langsung pada ruang sendi. Hal ini memungkinkan bahan-bahan di dalam plasma berdifusi dengan mudah ke dalam ruang sendi. Proses peradangan dapat sangat menonjol di sinovium karena di dalam daerah tersebut banyak mengandung aliran darah, dan disamping itu juga terdapat banyak sel mast dan sel lain dan zat kimia yang secara dinamis berinteraksi untuk merangsang dan memperkuat respons peradangan.
Saraf-saraf otonom dan sensorik tersebar luas pada ligamen, kapsul sendi, dan sinovium. Saraf-saraf ini berfungsi untuk memberikan sensitivitas pada struktur-struktur ini terhadap posisi dan pergerakan. Ujung-ujung saraf pada kapsul, ligamen, dan adventisia pembuluh darah sangat sensitif terhadap peregangan dan perputaran. Nyeri yang timbul dari kapsul sendi atau sinovium cenderung difus dan tidak terlokalisasi. Sendi dipersarafi oleh saraf-saraf perifer yang menyeberangi sendi. Ini berarti nyeri yang berasal dari satu sendi mungkin dapat dirasakan pada sendi yang lainnya, misalnya nyeri pada sendi panggul dapat dirasakan sebagai nyeri lutut.

B. Jaringan Penyambung
Jaringan yang ditemukan pada sendi dan daerah-daerah yang berdekatan terutama adalah jaringan penyambung yang tersusun dari sel-sel dan substansi dasar. Dua macam sel yang ditemukan pada jaringan penyambung adalah sel-sel yang tidak dibuat dan tetap berada pada pada jaringan penyambung seperti pada sel mast, sel plasma, limfosit, monosit, dan leukosit polimorfonuklear. Sel-sel ini memegang peranan penting pada reaksi-reaksi imunitas dan peradangan yang terlihat pada penyakit-penyakit rheumatik. Jenis sel yang kedua dalam jaringan penyambung ini adalah sel-sel yang tetap berada dalam jaringan, seperti kondrosit, fibroblas, dan osteoblas. Sel-sel ini mensintesis berbagai macam serat dan proteoglikan dari substansi dasar dan membuat tiap jenis jaringan penyambung memiliki susunan sel yang tersendiri.
Serat-serat yang didapatkan di dalam substansi dasar adalah kolagen dan elastin. Setidaknya terdapat 11 bentuk kolagen yang dapat diklasifikasikan menurut rantai molekul, lokasi dan fungsinya. Kolagen dapat dipecahkan oleh kerja kolagenase. Enzim proteolitik ini membuat molekul stabil berubah menjadi molekul tidak stabil pada suhu fisiologik dan selanjutnya dihidrolisis oleh proses lain. Perubahan sintesis kolagen tulang rawan terjadi pada orang-orang yang usianya makin lanjut. Peningkatan aktivitas kolagenase terlihat pada bentuk-bentuk penyakit rheumatik yang diperantarai oleh imunitas seperti pada arthritis rheumatoid.
Serat-serat elastin memiliki sifat elastin yang penting. Serat ini didapat dalam ligamen, dinding pembuluh darah besar dan kulit. Elastin dipecah-pecah oleh enzim yang disebut elastase. Elastase dapat menjadi penting pada proses pembentukan arteriosklerosis dan emfisema. Ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa perubahan dalam sistem kardiovaskuler karena proses menua, dapat terjadi oleh karena peningkatan pemecahan serat elastin.
Selain serat-serat, proteoglikan adalah zat penting yang ditemukan dalam substansi dasar. Proteoglikan adalah molekul besar terbuat dari rantai polisakarida panjang yang melekat pada pusat polipeptida. Proteoglikan pada tulang rawan sendi berfungsi sebagai bantalan pada sendi sehingga sendi dapat menahan beban-beban fisik yang berat. Hubungan proteoglikan dan dengan proses imunologi dengan proses peradangan adalah kompleks. Limfokin dapat menginduksi sel-sel jaringan penyambung untuk memproduksi proteoglikan baru, menghambat produksi, atau meningkatkan pemecahan. Proteoglikan dapat menjadi fokus aksi autoimun pada gangguan seperti arthritis rheumatoid. Pertambahan usia mengubah proteoglikan di dalam tulang rawan, proteoglikan ini akan kurang melekat satu dengan lainnya dan berinteraksi dengan kolagen. Perubahan fungsional dan struktural utama yang menjadi bagian dari proses menua normal menyebabkan perubahan biokimia dari jaringan penyambung dan terjadi terutama pada serat dan proteoglikan.

III. EVALUASI CAIRAN SINOVIAL
Tiap-tiap gangguan rheumatik dapat mempengaruhi perubahan cairan sinovial secara berbeda-beda. Uji beku musin dilakukan dengan menambahkan asam asetat pada cairan sinovial. Zat ini akan membentuk presipitasi karena berinteraksi dengan asam hialuronat. Uji ini akan memberikan hasil yang semakin tidak akurat dengan semakin banyaknya cairan peradangan, karena asam hialuronat telah dipecahkan oleh enzim-enzim lisosomal sehingga jumlahnya tidak cukup lagi untuk membentuk presipitasi ketika ditetesi asam asetat. Kejernihan cairan sinovial normal akan menghilang dengan peningkatan sel-sel dan protein pada keadaan patologik.

IV. OSTEOARTHRITIS
Osteoarthritis adalah suatu penyakit sendi degeneratif yang terutama terjadi pada lanjut usia dan ditandai oleh degenerasi kartilago artikularis, perubahan pada membran sinovia serta hipertrofi tulang pada tepinya. Rasa nyeri dan kaku, khususnya setelah melakukan aktivitas yang lama akan menyertai perubahan degeneratif tersebut.
A. Insidens, Etiologi dan Patologi
Osteoarthritis merupakan bentuk penyakit sendi yang paling sering ditemukan. Diperkirakan ⅓ dari orang berusia >35 tahun, menunjukkan bukti radiografik yang memperlihatkan penyakit osteoarthritis dengan prevalensi yang terus meningkat sampai 80 tahun. Meskipun mayoritas pasien, khususnya yang berusia muda, menderita penyakit ringan dan relatif asimptomatik, osteoarthritis merupakan salah satu dari beberapa penyebab utama yang menimbulkan disabilitas orang yang berusia > 65 tahun.
Osteoarthritis mungkin bukan satu penyakit melainkan beberapa penyakit yang semuanya memperlihatkan gambaran klinis dan patologis yang serupa. Akan tetapi terdapat dua perubahan morfologis utama, yaitu kerusakan fokal tulang rawan sendi yang progresif dan pembentukan tulang baru pada dasar lesi tulang rawan dan tepi sendi yang dikenal sebagai osteofit. Penelitian menunjukkan bahwa perubahan metabolisme tulang rawan sendi sudah timbul sejak awal proses patologis osteoarthritis. Perubahan metabolisme tulang tersebut berupa peningkatan aktivitas enzim-enzim yang merusak makromolekul matriks tulang rawan sendi yaitu kolagen dan proteoglikan. Perusakan ini membuat kadar proteoglikan dan kolagen berkurang sehingga kadar air tulang rawan sendi juga berkurang.
Hal tersebut membuat tulang rawan sendi rentan terhadap beban biasa. Permukaan tulang rawan sendi menjadi tidak homogen, terpecah-pecah dan timbul robekan-robekan. Dalam hal inilah, diduga pembentukan tulang baru yaitu osteofit adalah merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk memperbesar permukaan tulang di bagian inferior tulang rawan sendi yang telah rusak tersebut. Dengan menambah luas permukaan tulang dibawahnya diharapkan distribusi beban yang ditanggung persendian tersebut dapat merata.

Beberapa faktor turut terlibat dalam timbulnya osteoarthritis ini. Penambahan usia semata tidak menyebabkan osteoarthritis, sekalipun perubahan selular atau matriks pada kartilago yang terjadi bersamaan dengan proses menua kemungkinan menjadi predisposisi bagi lanjut usia untuk mengalami osteoarthritis. Faktor-faktor lain yang diperkirakan menjadi predisposisi adalah obesitas, trauma, kelainan endokrin (misalnya diabetes mellitus) dan kelainan primer persendian (misalnya arthritis inflamatorik).
B. Keluhan dan Gejala
Gejala klinis osteoartritis bervariasi, bergantung pada sendi yang terkena, lama dan intensitas penyakitnya, serta respons penderita terhadap penyakit yang dideritanya. Pada umumnya pasien osteoartritis mengatakan bahwa keluhan-keluhannya sudah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan-lahan. Secara klinis, osteoartritis dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1. Subklinis.
Pada tingkatan ini belum ada keluhan atau tanda klinis lainnya. Kelainan baru terbatas pada tingkat seluler dan biokimiawi sendi.
2. Manifestasi
Pada tingkat ini biasanya penderita datang ke dokter. Kerusakan rawan sendi bertambah luas disertai reaksi peradangan.
3. Dekompensasi
Rawan sendi telah rusak sama sekali, mungkin terjadi deformitas dan kontraktur. Pada tahap ini biasanya diperlukan tindakan bedah.
Keluhan-keluhan umum yang sering dirasakan penderita osteoartritis adalah sebagai berikut:
• Nyeri Sendi
Merupakan keluhan utama yang sering kali membawa pasien datang ke dokter. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu menimbulkan rasa sakit yang berlebih dibanding gerakan lain. Pada osteoartritis terdapat hambatan sendi yang biasanya bertambah berat dan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri. Asal nyeri dapat dibedakan, yaitu:
– Peradangan
Nyeri yang berasal dari peradangan biasanya bertambah pada pagi hari atau setelah istirahat beberapa saat dan berkurang setelah bergerak. Hal ini karena sinovitis sekunder, penurunan pH jaringan, pengumpulan cairan dalam ruang sendi yang menimbulkan pembengkakan dan peregangan simpai sendi. Semua ini menimbulkan rasa nyeri.
– Mekanik
Nyeri akan lebih dirasakan setelah melakukan aktivitas lama dan akan berkurang pada waktu istirahat. Mungkin ada hubungannya dengan keadaan penyakit yang telah lanjut dimana rawan sendi telah rusak berat. Nyeri biasanya terlokalisasi hanya pada sendi yang terkena, tetapi dapat juga menjalar.
• Kaku Sendi
Merupakan keluhan pada hampir semua penyakit sendi dan osteoartritis yang tidak begitu berat. Pada beberapa pasien, nyeri dan kaku sendi dapat timbul setelah istirahat beberapa saat misalnya sehabis duduk lama atau bangun tidur. Berlawanan dengan penyakit inflamasi sendi seperti artritis rheumatoid, di mana pada artritis rheumatoid kekakuan sendi pada pagi hari berlangsung lebih dari 1 jam,maka pada osteoartritis kekakuan sendi jarang melebihi 30 menit.
• Pembengkakan Sendi
Merupakan reaksi peradangan karena pengumpulan cairan dalam ruang sendi. Biasanya teraba panas tanpa adanya kemerahan. Pada sendi yang terkena akan terlihat deformitas yang disebabkan terbentuknya osteofit. Tanda-tanda adanya reaksi peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada osteoartritis karena adanya sinovitis.
• Perubahan Gaya Jalan
Salah satu gejala yang menyusahkan pada pasien osteoartritis adalah adanya perubahan gaya jalan. Hampir pada semua pasien osteoartritis, pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggulnya berkembang menjadi pincang. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman besar untuk kemandirian pasien lanjut usia.
• Gangguan Fungsi
Timbul karena ketidakserasian antara tulang pembentuk sendi. Adanya kontraktur, kemungkinan adanya osteofit, nyeri dan bengkak merupakan penyebab yang menimbulkan gangguan fungsi. Pada osteoartritis tidak terdapat gejala-gejala sistemik seperti kelelahan, penurunan berat badan atau demam.

C. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berguna untuk menyingkirkan penyakit sendi lain, karena tidak ada satupun yang spesifik untuk osteoartritis. Pemeriksaan hematologis umumnya normal, jumlah leukosit dan laju endap darah normal, kecuali jika disertai infeksi lain. Cairan sendi dapat diambil dari sendi manapun yang bengkak dan tindakan ini dapat mengurangi rasa nyeri penderita. Pada osteoartritis, cairan sendi akan meningkat jumlahnya, berwarna kuning transparan, kental, terdapat gumpalan musin, jumlah leukosit kurang dari 2000/mm3 dengan proporsi sel normal (25% PMN). Mungkin ditemukan kristal kalsium pirofosfat dan hidroksi-apatit sebagai penyebab reaksi peradangan. Dapat juga ditemukan serpihan tulang rawan pada tingkat lanjut penyakit.
 Radiologis
Pemeriksaan radiologis membantu diagnosis osteoartritis, tetapi adanya kelainan radiologis tidak terlalu berarti bahwa ini sebagai penyebab satu-satunya keluhan penderita. Kriteria radiologis osteoartritis adalah sebagai berikut:
• Osteofit pada tepi sendi atau tempat melekatnya ligamen.
• Adanya periartikuler ossikel terutama pada DIP dan PIP.
• Penyempitan celah sendi disertai sklerosis jaringan tulang
Subkondrial.
• Adanya kista dengan dinding yang sklerotik pada daerah
Subkondrial.
• Perubahan bentuk tulang, misal pada caput femur.
Kriteria diagnosis radiologis, yaitu :
1. Meragukan : bila ditemukan 1 dari 5 kriteria di atas
2. Osteoartritis ringan : bila ditemukan 2 dari 5 kriteria di atas
3. Osteoartritis moderat : bila ditemukan 3 dari 5 kriteria di atas
4. Osteoartritis berat : bila ditemukan 4 dari 5 kriteria di atas

D. Diagnosis
Diagnosis osteoartritis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan jasmani, radiologis, dan bila perlu dengan pemeriksaan laboratorium tertentu. Diagnosis bandingnya terutama dengan penyakit sendi yang sering ditemui dalam praktek sehari-hari, yaitu artritis gout dan artritis rheumatoid.

E. Penatalaksanaan Osteoarthritis
Stadium awal osteoarthritis paling baik bila ditangani dengan tindakan konservatif, termasuk pengobatan dengan obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID), fisioterapi atau tanpa pengobatan sama sekali. Intervensi pembedahan merupakan tindakan yang terlambat setelah terjadi perkembangan penyakit yang berarti.
Penggunaan injeksi sodium hialuronat yang berfungsi sama seperti cairan sinovial pada rongga sendi dapat juga digunakan. Dosis yang dipakai adalah 1 x 2 ml/minggu selama 5 minggu berturut-turut.

Indikasi bedah dilakukan bila nyeri dan pengurangan fungsi masih ada setelah pemberian obat-obat anti inflamasi non steroid, suntikan steroid ke dalam sendi dan penggunaan bidai kecil. Osteoarthritis lanjut pada persendian perifer sering memerlukan pembedahan untuk meringankan rasa nyeri dan memperbaiki fungsi sendi, misalnya tindakan menyatukan sendi atau arthroplasti reseksi untuk menyumbat rongga sendi, osteotomi untuk menghasilkan kembali keseimbangan berbagai gaya mekanis, atau arthroplasti penggantian sendi secara total untuk membentuk kembali permukaan artikulasi sendi.
Selain dari pengobatan medis seperti di atas, dapat juga disertai dengan penatalaksanaan lain seperti sebagai berikut:
• Meyakinkan penderita bahwa penyakitnya tidak progresif karena biasanya penderita takut sekali menjadi lumpuh atau cacat. Rencana pengobatan selanjutnya dijelaskan dan disesuaikan dengan keadaan umum penderita, sendi-sendi yang terkena, keluhan dan sikap hidup sehari-hari.
• Istirahat atau proteksi terhadap sendi yang terkena.
• Koreksi semua faktor-faktor yang menimbulkan stress berlebihan pada rawan sendi. Tindakan ini bukan saja akan mengurangi beban pada rawan sendi, tetapi juga memperlambat proses degenerasi sehingga akan lebih memberi kesempatan proses regenerasi berlangsung.
• Diet, selain untuk mengurangi berat badan, tidak ada bukti bahwa diet berperan langsung terhadap pengobatan osteoarthritis. Dengan menghilangkan kegemukan penderita osteoarthritis sendi penyokong berat badan maka akan mengurangi keluhan.
• Fisioterapi, terutama pemanasan dan latihan yang adekuat. Pemanasan badan (moist health) lebih nyaman daripada pemanasan kering. Massage, penggunaannya sangat terbatas karena hanya berefek pada otot yang melingkupi sendi, sedang sendinya sendiri tidak dapat dicapai. Massage berguna untuk mengurangi nyeri karena spasme otot.
• Alat bantu, misalnya traksi atau pemakaian soft collar untuk spondilosis leher, korset untuk spondilosis lumbal, tongkat untuk osteoartritis lutut atau pinggul.
Berdasarkan perkembangan penelitian tentang osteoarthritis, untuk pengobatan terbaru osteoarthritis dapat dipakai kombinasi Chondroitin Sulfat (CS) dan Glucosamine Sulfat (GS). Dengan kombinasi ini sangat efektif untuk menghilangkan nyeri pada osteoarthritis juga nyeri pada arthritis rheumatoid.
Glucosamine adalah bentuk polisakarida terbuat dari kulit kerang yang merupakan bahan dasar pembentuk tulang rawan sendi. Cara kerjanya menstimulasi fungsi dan kerja sendi sehingga dapat terjadi regenerasi sel rawan sendi secara berkesinambungan. Zat tersebut disisipkan melalui pergesekan sendi ke dalam rawan sendi untuk membentuk sel-sel rawan. Chondroitin sulfat terbuat dari tulang rawan ikan hiu dan paus. Khasiatnya adalah antiinflamasi (peradangan) dan penghilang rasa sakit. Zat itu juga bisa menetralisasi perusakan enzim dan meningkatkan kualitas cairan sendi.

V. ARTHRITIS RHEUMATOID
Menurut definisi, arthritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi yang mengenai jaringan ikat sendi, bersifat progresif, simetrik, dan sistemik serta cenderung menjadi kronik. Atau arthritis rheumatoid adalah kelainan sistemik dengan manifestasi utama pada persendian yang berkembang secara perlahan-lahan dalam beberapa minggu.
Insidens arthritis rheumatoid yang berbeda dengan osteoarthritis memperlihatkan penurunan setelah usia 65 tahun. Namun demikian, karena arthritis rheumatoid merupakan penyakit yang kronis, prevalensinya meningkat pada populasi lanjut usia. Etiologi penyakit ini tidak diketahui, akan tetapi, arthritis rheumatoid ditandai oleh inflamasi serius pada sinovia persendian diartroid.

A. Insidens, Etiologi dan Patogenesis

Jaringan sinovia menjadi hiperplastik dan mengalami infiltrasi oleh limfosit serta sel-sel plasma. Sejumlah zat pengantar inflamasi, termasuk interleukin 1, prostaglandin, dan imunoglobulin ditemukan dalam cairan sinovia.
B. Keluhan dan gejala
Sebagian besar pasien arthritis rheumatoid yang berusia lanjut menderita penyakit tersebut sebagai suatu proses yang tengah berlangsung dan sudah dimulai. Kalau arthritis rheumatoid baru terjadi ketika seseorang sudah lanjut usia, onsetnya dapat timbul perlahan atau terjadi secara akut. Pada kebanyakan pasien, keadaan arthritis disertai dengan gejala konstitutional yang ringan atau sedang.

Biasanya arthritis reumatoid terutama ditemukan pada persendian yang kecil pada tangan (yaitu di artikulasio interfalangeal proksimal, metakarpofalangeal), kemudian kaki (pada artikulasio metatarsofalangeal, interfalangeal) dan pergelangan tangan, baru kemudian penyakit ini mengenai persendian yang besar (misalnya sendi siku, bahu, lutut). Kalau onsetnya terjadi secara tiba-tiba selama waktu beberapa hari saja, pasien sering mengalami gejala malaise, anoreksia, penurunan berat badan dan depresi. Gejala panas dan perspirasi malam hari kadang-kadang dikemukakan. Pada akhirnya, arthritis rheumatoid akan menjadi penyakit tambahan yang simetris persendian seperti halnya arthritis rheumatoid pada pasien yang berusia muda.
C. Hasil Laboratorium
Beberapa hasil uji laboratorium dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis arthritis reumatoid. Sekitar 85% penderita arthritis reumatoid mempunyai autoantibodi didalam serumnya yang dikenal sebagai faktor rheumatoid. Autoantibodi ini adalah suatu faktor anti-gama globulin (IgM) yang bereaksi terhadap perubahan IgG. Titer yang tinggi, lebih besar dari 1:160, biasanya dikaitkan dengan nodula rheumatoid, penyakit yang berat, vaskulitis, dan prognosis yang buruk. Faktor reumatoid adalah suatu indikator diagnosis yang membantu, tetapi uji untuk menemukan faktor ini bukanlah suatu uji untuk menyingkirkan diagnosis arthritis rheumatoid. Hasil yang positif dapat juga menyatakan adanya penyakit jaringan penyambung seperti lupus eritematosus sistemik, sklerosis sistemik progresif, dan dermatomiositis. Selain itu, sekitar 5% orang normal memiliki faktor reumatoid yang positif dalam serumnya. Insidens ini meningkat dengan bertambahnya usia. Sebanyak 20% orang normal yang berusia diatas 60 tahun dapat memiliki faktor rheumatoid dalam titer yang rendah.
Laju endap darah (LED) adalah suatu indeks peradangan yang bersifat tidak spesifik. Pada arthritis rheumatoid nilainya dapat tinggi (100 mm/jam atau lebih tinggi lagi). Hal ini berarti bahwa laju endap darah dapat dipakai untuk memantau aktivitas penyakit.
Arthritis rheumatoid dapat menyebabkan anemia normositik normokromik melalui pengaruhnya pada sumsum tulang. Anemia ini tidak berespons terhadap pengobatan anemia yang biasa dan dapat membuat penderita cepat lelah. Seringkali juga terdapat anemia kekurangan besi sebagai akibat pemberian obat untuk mengobati penyakit ini. Anemia semacam ini dapat berespons terhadap pemberian besi.
Cairan sinovial normal bersifat jernih, berwarna kuning muda hitung sel darah putih kurang dari 200/mm3. Pada arthritis rheumatoid cairan sinovial kehilangan viskositasnya dan hitungan sel darah putih meningkat mencapai 15.000 – 20.000/ mm3. Hal ini membuat cairan menjadi tidak jernih. Cairan semacam ini dapat membeku, tetapi bekuan biasanya tidak kuat dan mudah pecah.

D. Kriteria Diagnostik
Diagnosis arthritis rheumatoid tidak bersandar pada satu karakteristik saja tetapi berdasar pada evaluasi dari sekelompok tanda dan gejala.
Kriteria diagnostik adalah sebagai berikut:
1. Kekakuan pagi hari (sekurangnya 1 jam)
2. Arthritis pada tiga atau lebih sendi
3. Arthritis sendi-sendi jari-jari tangan
4. Arthritis yang simetris
5. Terdapat nodula rheumatoid
6. Faktor rheumatoid dalam serum
7. Perubahan-perubahan radiologik (erosi atau dekalsifikasi tulang)
Diagnosis arthritis rheumatoid dikatakan positif apabila sekurang-kurangnya empat dari tujuh kriteria ini terpenuhi. Empat kriteria yang disebutkan terdahulu harus sudah berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu.
E. Pengobatan
Terapi farmakologis yang utama untuk artritis rheumatoid adalah penggunaan obat anti inflamasi non steroid (AINS). Obat anti inflamasi non steroid umumnya diberikan kepada arthritis rheumatoid sejak masa dini penyakit ini dimaksudkan untuk mengatasi rasa nyeri sendi akibat inflamasi. Keterbatasan dalam penggunaan AINS adalah toksisitasnya. Toksisitas AINS yang paling sering dijumpai adalah efek sampingnya pada gastrointestinal, terutama jika AINS digunakan bersama obat lain, alkohol, kebiasaan merokok, atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan faktor resiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat AINS. Bagi pasien yang sensitif dapat digunakan preparat AINS dalam bentuk supositoria atau enteric coated. Preparat dalam bentuk ini kurang berpengaruh dalam mukosa lambung dibandingkan dengan preparat biasa. Pada pihak lain, walaupun AINS dalam bentuk ini seringkali dianggap kurang menyebabkan timbulnya iritasi gastrointestinal akibat kontak langsung dengan mukosa gastroduodenal, umumnya obat dalam bentuk ini tetap memiliki efek sistemik terutama menekan sintesis prostaglandin sehingga obat ini juga harus digunakan secara hati-hati terutama pada pasien yang telah memiliki gangguan gastroduodenal. Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan AINS antara lain adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta penekanan sistem hematopoetik.
Selain AINS pengobatan arthritis rhematoid juga dilakukan dengan terapi fisik dan okupasional yang harus dilakukan bersama-sama dengan exercise serta pemakaian peralatan penopang dan mungkin pula cara-cara jasmaniah untuk meringankan rasa nyeri (misalnya kompres hangat atau dingin pada tempat yang sakit). Meskipun istirahat perlu dianjurkan pada saat-saat kambuhnya penyakit, immobilitas irreversibel dapat terjadi jika seorang pasien lanjut usia dibiarkan tirah baring dalam waktu yang lama.
Jika pasien tidak memperlihatkan respon yang memuaskan terhadap pengobatan dan terapi fisik dalam waktu 6 hingga 12 minggu, terapi pilihan kedua (second line therapy) harus segera dimulai. Banyak pasien dengan inflamasi yang aktif pada persendian memberikan respon terhadap terhadap preparat kortikosteroid sistemik (misalnya pemberian prednison selama 1 bulan yang dimulai dengan takaran 25 mg/hari dan kemudian diturunkan secara perlahan-lahan dengan cara tappering-off menjadi 5-10 mg/hari). Efek jangka panjang (osteoporosis, katarak, kesembuhan luka yang jelek, hiperglikemia, hipertensi dan peningkatan resiko infeksi) harus seimbang dengan manfaat yang diberikan oleh pengobatan ini. Pemberian preparat steroid intra artikular dapat membantu mengatasi inflamasi rheumatoid akut yang mengenai satu sendi.

VI. ARTHRITIS GOUT
Artritis gout adalah suatu proses inflamasi yang terjadi karena deposisi kristal asam urat pada jaringan sekitar sendi (tofi). Gout juga merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan metabolik yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia).
A. Insidens dan Patogenesis
Gout dapat bersifat primer maupun sekunder. Gout primer merupakan akibat langsung pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat tertentu.

Masalah akan timbul bila terbentuk kristal-kristal dari monosodium urat monohidrat pada sendi-sendi dan jaringan sekitarnya. Kristal-kristal berbentuk jarum ini mengakibatkan reaksi peradangan yang bila berlanjut akan mengakibatkan nyeri hebat yang sering menyertai serangan gout. Jika tidak diobati endapan kristal akan menyebabkan kerusakan hebat pada sendi dan jaringan lunak

Pada keadaan normal kadar urat serum pada pria mulai meningkat setelah pubertas. Pada wanita kadar urat tidak meningkat sampai setelah menopause karena estrogen meningkatkan ekskresi asam urat melalui ginjal. Setelah menopause kadar urat serum meningkat seperti pada pria.
Gout jarang terjadi pada wanita. Sekitar 95% penderita gout adalah pria. Gout dapat ditemukan di seluruh dunia, pada semua ras manusia. Ada prevalensi familial dalam penyakit gout yang mengesankan suatu dasar genetik dari penyakit ini. Namun ada sejumlah faktor yang agaknya mempengaruhi timbulnya penyakit ini, termasuk diet, berat badan, dan gaya hidup.
B. Gambaran Klinis
Terdapat empat tahap dari perjalanan klinis penyakit gout yang tidak diobati. Tahap pertama adalah hiperurisemia asimtomatik. Dalam tahap ini penderita tidak menunjukkan gejala-gejala selain dari peningkatan asam urat serum. Hanya 20% dari penderita hiperurisemia asimptomatik yang menjadi serangan gout akut.
Tahap kedua adalah arthritis gout akut. Pada tahap ini terjadi pembengkakan mendadak dan nyeri yang luar biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki dan metatarsofalangeal. Arthritis bersifat monoartikular dan menunjukkan tanda-tanda peradangan lokal. Mungkin terdapat demam dan peningkatan jumlah sel darah putih. Serangan dapat dipicu oleh pembedahan, trauma, obat-obatan, alkohol, atau stress emosional. Tahap ini biasanya mendorong pasien untuk mencari pengobatan segera. Sendi-sendi lain dapat terserang, termasuk sendi jari-jari tangan, lutut, mata kaki, pergelangan tangan, dan siku. Serangan gout akut biasanya pulih tanpa pengobatan, tetapi dapat memakan waktu 10 sampai 14 hari.
Perkembangan dari serangan akut gout umumnya mengikuti serangkaian peristiwa sebagai berikut. Mula-mula terjadi hipersaturasi dari urat plasma dan cairan tubuh. Selanjutnya diikuti oleh penimbunan di dalam dan sekeliling sendi-sendi. Mekanisme terjadinya kristalisasi urat setelah keluar dari serum masih belum jelas dimengerti. Serangan gout seringkali terjadi sesudah trauma lokal atau ruptura dari tofi (timbunan natrium urat), yang mengakibatkan peningkatan cepat dari konsentrasi asam urat lokal. Tubuh mungkin tidak dapat mengatasi peningkatan ini dengan baik, sehingga terjadi pengendapan asam urat di luar serum. Kristalisasi dan penimbunan asam urat akan memicu serangan gout. Kristal-kristal asam urat memicu respons fagositik oleh leukosit, sehingga leukosit memakan kristal-kristal urat dan memicu mekanisme respons peradangan lainnya. Respons peradangan ini dapat dipengaruhi oleh lokasi dan banyaknya timbunan kristal asam urat. Reaksi peradangan dapat meluas dan bertambah sendiri, akibat dari penambahan timbunan kristal dari serum.

Pembengkakan tangan kiri pada penderita gout

Tahap ketiga setelah serangan gout akut adalah tahap interkritikal. Tidak terdapat gejala-gejala pada masa kini yang dapat berlangsung dari beberapa bulan sampai tahun. Kebanyakan orang mengalami ulangan serangan gout dalam waktu kurang dari 1 tahun jika tidak diobati.
Tahap keempat adalah tahap gout kronik dimana timbunan urat terus bertambah dalam beberapa tahun jika pengobatan tidak dimulai. Peradangan kronik akibat kristal-kristal asam urat menyebabkan nyeri, sakit, dan kaku, juga pembesaran dan penonjolan dari sendi yang bengkak. Serangan akut dari arthritis gout dapat terjadi pada tahap ini. Tofi terbentuk pada masa gout kronik akibat insolubilitas relatif dari urat. Bursa olekranon, tendon achilles, permukaan ekstensor lengan bawah, bursa infrapatelar, dan heliks telinga adalah tempat yang sering dihinggapi tofi.

C. Diagnosis
Diagnosis arthritis gout didasarkan pada kriteria American Rheumatism Association (ARA), yaitu:
• Terdapat kristal urat dalam cairan sendi atau tofus dan/atau
• Bila ditemukan 6 dari 12 kriteria tersebut dibawah ini:
1. Inflamasi maksimum pada hari pertama
2. Serangan artritis akut lebih dari satu kali
3. Artritis nonartikuler
4. Sendi yang terkena berwarna kemerahan
5. Pembengkakan dan sakit pada sendi metatarsofalangeal
6. Serangan pada sendi metatarsofalangeal unilateral
7. Serangan pada sendi tarsal unilateral
8. Adanya fokus
9. Hiperurisemia
10. Pada foto sinar-x tampak pembengkakan sendi asimetris
11. Pada foto sinar-x tampak kista subkortikal tanpa erosi
12. Kultur bakteri cairan sendi negatif
Diagnosa banding terutama dengan penyakit artritis monoartikular dan artritis yang timbulnya akut, yaitu pseudogout, artritis piogenik, demam reumatik, artritis reumatoid, artritis virus dan lain-lain. Dalam praktek sehari-hari ada dua jenis penyakit sendi yang harus dibedakan dengan penyakit pirai sendi yaitu pseudogout dan artritis piogenik.
D. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terapi artritis gout sebaiknya mengikuti pedoman terapi sebagai berikut:
• Hentikan serangan nyeri yang hebat pada serangan artritis gout akut
• Berikan kolkisin sebagai pencegahan terhadap serangan berulang dari artritis gout
• Evaluasi kadar asam urat dalam urin selama 24 jam setelah terapi nonfarmakologi diberikan (diet rendah purin dijalankan)
• Penanggulangan untuk artritis gout kronis

Adapun pengobatan artritis gout dibagi atas:
1. Serangan akut
Cara yang efektif dan sederhana mengatasi serangan arthritis gout yang akut adalah penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid. Kesembuhan akan terlihat dalam waktu 24 jam dan gejalanya menghilang setelah 3 hari. Preparat kolkisin IV dengan takaran 1-2 mg yang diencerkan dengan larutan NaCl 0,9% dan disuntikkan selama waktu 20 menit merupakan preparat yang sangat efektif untuk meredakan gejala yang akut. Preparat kolkisin oral dengan takaran 0,5 mg 2-4 x sehari selama 2-3 hari mungkin diperlukan untuk kesembuhan total. Namun karena efek sampingnya yaitu timbulnya gejala toksisitas gastrointestinal, pengobatan ini sudah mulai ditinggalkan.
Tindakan efektif lainnya yaitu dengan cara pungsi cairan sinovia dan penyuntikan deposteroid dengan dosis 40 mg (triamsinolon). Tindakan ini efektif terutama pada pasien yang tidak mendapat pengobatan per oral atau tidak dapat mentolerir pemakaian NSAID ataupun kolkisin.
Preparat urikosurik dan allopurinol harus dihindari selama serangan akut. Insidensi terjadinya artritis gout akut yang rekuren dapat diturunkan dengan pemberian kolkisin 2 x 0,5 mg/hari dalam jangka waktu lama.
2. Tindakan untuk menurunkan kadar asam urat serum
Tindakan untuk menurunkan kadar asam urat serum dapat diberikan preparat urikosurik yang salah satunya adalah probenesid dengan dosis 500 mg tiap 12 jam dan dapat ditingkatkan hingga mencapai 3 gram/hari untuk kadar asam urat serum sampai 6 mg/dl. Alternatif lain dapat diberikan sulfinpirazon yang relatif bekerja singkat dan harus diberikan tiap 6 jam dengan dosis terbagi yang berkisar dari 300-1000 mg/hari.
Allopurinol merupakan preparat urikosurik yang sangat efektif bekerja dengan menyekat lintasan metabolik yang memproduksi asam urat, khususnya dengan menghambat kerja enzim xantin oksidase. Dosis sebesar 2 x 100 mg/hari dapat ditingkatkan hingga mencapai dosis 600 mg/hari untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Pada penyakit gout dengan tofus yang berat, preparat allopurinol dapat digunakan bersama-sama preparat urikosurik lainnya.

VII. AMILOIDOSIS
Amiloidosis adalah suatu sindroma klinis yang ditandai penumpukan protein amiloid yang berbentuk fibrin pada jaringan tubuh. Penumpukan ini disebabkan oleh produksi yang berlebihan dan pengeluaran yang menurun. Protein ini memiliki sifat biokimiawi yang unik, ia dapat tertumpuk secara setempat, tidak mempunyai arti klinis, atau secara klinis, atau secara nyata mengenai sistem organ manapun dalam tubuh, yang menyebabkan perubahan patofisiologi yang berat, atau penyakit ini dapat berupa pertengahan di antara keduanya. Bagi pasien dan keluarganya, amiloidosis adalah suatu hal yang menakutkan, karena itu pencegahan dan pengobatan yang efektif adalah penting.
A. Klasifikasi
Fibril amiloid dibentuk dari prekursor protein dengan berat molekul besar. Sebagai pengecualian adalah tipe amiloid yang berkaitan dengan hemodialisis, di mana ß2 mikroglobulin dapat terlibat. Bila amiloid sudah terbentuk, ia memiliki resistensi terhadap enzim proteolitik. Dalam bentuk sekunder (AA), perubahan dari penyakit inflamasi atau stimulus imunologis kadang-kadang diikuti dengan resorpsi komplit.
Amiloidosis terdapat dalam berbagai macam bentuk yang berbeda secara klinis dan biokimiawi, yang dikelompokkan berdasarkan susunan fibrin yang dimilikinya. Fibril amiloid memiliki komposisi kimiawi bervariasi dan berdasarkan hubungannya dengan sindroma klinisnya, ada tiga jenis amiloid yang dominan. Amiloid AA, biasanya berhubungan dengan penyakit inflamasi yang lama, amiloid AL yang berhubungan dengan produksi yang berlebihan dari imunoglobulin rantai pendek, dan amiloid ß2 mikroglobulin yang berhubungan dengan hemodialisis.
Selain tiga jenis amiloid tadi juga terdapat amiloid ASc yang biasa ditemukan pada pasien di atas umur 60 tahun, dengan penyakit jantung. Juga terdapat amiloid tipe AF yang menyertai tipe klinis dari amiloidosis familial.
Tipe amiloidosis yang paling umum adalah:
1. Amiloidosis primer, biasanya berhubungan dengan kelainan sel plasma,
multipel mieloma dan disebabkan amiloid tipe AL yang diproduksi
berlebihan.
2. Amiloidosis sekunder, berhubungan dengan penyakit inflamasi
kronis,seperti rheumatoid arthritis, osteomyelitis, malaria, tuberkulosis,
lepra, dan demam mediteranea familial, dan disebabkan fibril amiloid tipe
AA, yang disintesis berlebihan.
3. Amiloidosis familial (herediter), berhubungan dengan neuropati,
kardiomiopati familial, disebabkan protein transtiretin abnormal yang
diproduksi di hepar.
4. Amiloidosis hemodialisis, yang berhubungan dengan hemodialisis ginjal,
disebabkan ß2 mikroglobulin yang tidak dapat dikeluarkan ginjal pada
waktu hemodialisis.

Selain itu juga terdapat penggolongan lain adalah penggolongan yang secara klinis:
1. Amiloidosis (tanpa bukti akan atau sedang timbulnya penyakit) primer
(tipe AL)
2. Amiloid yang berkaitan dengan multipel mieloma (juga tipe AL)
3. Amiloidosis sekunder atau yang reaktif (tipe AA) yang berkaitan dengan
penyakit infeksi kronis (misalnya osteomielitis, tuberkulosis, lepra) atau
penyakit radang kronik (misalnya arthritis rheumatoid)
4. Amiloidosis heredofamilial, jenis kelainan neuropati [tipe AF transtiretin
(praalbumin)], ginjal, kardiovaskuler, dan gejala lainnya, serta amiloidosis
yang berkaitan dengan demam mediteranea yang bersifat familial
(tipeAA)
5. Amiloidosis setempat (fokal, seringkali menyerupai tumor, penumpukan
timbul pada organ yang terisolasi, seringkali kelenjar endokrin, tanpa
tanda terserang secara sistemik)
6. Amiloidosis yang berkaitan dengan usia, terutama pada jantung dan dalam
otak
7. Amiloidosis yang berkaitan dengan hemodialisis yang telah berlangsung
lama.

B. Manifestasi klinis
Amiloid dapat menyerang persendian secara langsung dengan keberadaannya di membran sinovial dan cairan sinovial atau di tulang rawan sendi. Arthritis amiloid dapat menyerupai beberapa penyakit rheumatik karena timbul sebagai arthritis simetris. Pada persendian kecil dengan nodul, kekakuan sendi pada pagi hari dan kelelahan. Banyak pasien dengan arthropati amiloid ternyata menderita multipel mieloma. Cairan sinovial biasanya mengandung sedikit sel darah putih, bekuan musin yang baik sampai tingkat menengah, predominansi sel mononuklear, dan tanpa kristal. Penelitian dari contoh pembedahan dengan angka kejadian yang mencolok menunjukkan terdapatnya amiloid di tulang rawan, kapsul dan sinovial pada osteoarthritis. Penyebaran amiloid di otot dapat mengakibatkan pseudomiopati.
Gejala klinis lainnya tergantung dari sistem organ yang terkena. Bila mengenai paru-paru dapat timbul dyspneu dan penyakit paru interstitial. Akibat infiltrasi amiloid pada miokard dan endokard, dapat timbul kardiomyopati, aritmia, angina pektoris dan gagal jantung kongestif. Pada ginjal dapat timbul sindroma nefrotik dan gagal ginjal. Bila terdapat di otak, dapat timbul gejala demensia, sehingga dianggap berperan dalam penyakit Alzheimer.

(Amiloidosis pada endokardium atrial kiri)

(Amiloidosis primer pada ginjal)

C. Diagnosis
Diagnosis spesifik amiloid bergantung kepada pengumpulan spesimen jaringan melalui biopsi dan penemuan amilod melalui pewarnaan yang tepat. Bila seorang pasien menderita penyakit kronik yang mengarah ke amiloid seperti arthritis rheumatoid, tuberkulosis, paraplegia, multipel mieloma, bronkiektasis, atau lepra yang disertai hepatomegali, splenomegali, malabsorpsi, gangguan jantung atau yang paling penting proteinuria, pikirkanlah kemungkinan amiloid sekunder. Bila diagnosis sudah terarah lakukanlah aspirasi pada lemak abdomen atau biopsi rektum. Semua jaringan yang terkumpul harus diberi pewarnaan congo red dan diperiksa menggunakan mikroskop polarisasi untuk mencari sinar birefringence hijau.

(Potongan melintang amiloid pada miokardium dengan pewarnaan Lugol)

D. Prognosis dan Terapi
Bila amiloidosis timbul pada pasien dengan arthritis rheumatoid, hal ini jarang diketahui bila arthritisnya kurang dari 2 tahun.Waktu rata-rata arthritis sebelum menjadi amiloidosis adalah 16 tahun.
Berbagai lembaga telah melaporkan amiloidosis yang menyertai infeksi yang dapat diterapi, seperti osteomielitis, setidaknya remisi sebagian terjadi setelah penyakit primer diterapi. Amiloidosis generalisata biasanya merupakan penyakit yang berjalan perlahan dan mematikan dalam beberapa tahun, tetapi prognosisnya lebih baik daripada yang terdahulu. Angka rata-rata lama hidup pada kelompok adalah 1-4 tahun, tetapi pada beberapa pasien amiloid, dapat mencapai 5-10 tahun bahkan lebih.
Tidak ada terapi spesifik untuk semua jenis amiloidosis. Terapi yang rasional adalah berupa :
1. Mengurangi rangsangan antigen yang menghasilkan amiloid.
2. Menghambat sintesis dan penumpukan fibril amiloid ekstraseluler.
3. Memacu lisis atau mobilisasi penumpukan amiloid yang telah ada.
Percobaan baru-baru ini menunjukkan bahwa ini pemberian prednison (melphalan) atau prednison/melphalan/kolkisin dapat memperpanjang harapan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Albar, Zuljasri. ‘Diagnosis dan Pengobatan Fibromialgia’ dalam Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Rheumatologi 2008. Jakarta : IRA, 2008.

Asdie, Ahmad H. Harrison’s Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 4, Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC. 2000.

Dambro. Griffith’s 5 – Minutes Clinical Consult. USA: Lippincott Williams and Wilkins. 2001.

Hazzard, W.R. et al. Principles of Geriatrtrics Medicine and Gerontology, Second Edition. USA: MC Graw Hill.1996.

Lonergen, Edmund T. A Lange Clinical Manual Geriatrics, First Edition. London: Prentice – Hall International.1996.

Noer, HM S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.1996.

Price, S A and Wilson L M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Buku Kedua, Edisi Kempat. Jakarta: EGC.1995.

R.Boedhi-Darmojo. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : FKUI. 1999.

Smith, A.N. Exton M.D. and P.W. Overstall MB; Guidelines an Medicine Geriatrics Volume 1; University Park Press; Baltimore, 1979.

NN. UV Intensity May Affect Autoimmune Disease, available from

http://www.ehp.niehs.nih.gov/docs

http://www.google.com