GANGGUAN HIDUNG DAN TENGGOROKAN PADA LANSIA

BAB XXVI
GANGGUAN HIDUNG DAN TENGGOROKAN PADA LANSIA

TUJUAN BELAJAR

TUJUAN KOGNITIF
Setelah membaca bab ini dengan seksama diharapkan anda sudah dapat:
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi Hidung dan Tenggorokan sebagai salah satu organ vital tubuh serta peranannya dalam proses pernafasan, penciuman dan menelan.
2. Mengetahui sebab-sebab gangguan hidung dan tenggorokan pada lanjut usia, seperti:
– Rhinitis Vasomotor
Etiologi, patogenesis, dan gejala-gejalanya.
Pemeriksaan penunjang, diagnosa serta penatalaksanaannya.
– Sinusitis
Etiologi, patogenesis, dan gejala-gejalanya.
Pemeriksaan penunjang, diagnosa serta pengobatannya.
– Penyumbatan Hidung
Patogenesis dan gambaran klinisnya.
Diagnosa dan penatalaksanaannya.
– Laringitis
Klasifikasi dan manifestasi klinisnya.
Diagnosa, terapi, dan prognosanya.
– Disfagia
Klasifikasi dan gejala-gejalanya.
Diagnosa dan penatalaksanaannya.

TUJUAN AFEKTIF
Setelah membaca bab ini dengan penuh perhatian, maka penulis mengharapkan anda sudah akan dapat:
1. Mengerti akan gangguan hidung dan tenggorokan pada lanjut usia serta masalah yang diakibatkannya.
2. Mencoba menggali lebih jauh gangguan hidung dan tenggorokan pada lanjut usia.
3. Membantu lanjut usia dalam menangani masalah yang diakibatkan oleh gangguan hidung dan tenggorokan.

GANGGUAN HIDUNG PADA LANJUT USIA

I. PENDAHULUAN
Gangguan hidung pada orang muda dan usia lanjut tidak jauh berbeda. Gangguan yang sering timbul misalnya hidung tersumbat, rhinorrhea, epistaksis dan fraktur pada hidung juga dapat terjadi pada kelompok umur lainnya dan dapat menimbulkan berbagai macam gejala. Namun, terapi yang diberikan pada lanjut usia dapat berbeda. Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang biasa diberikan pada pasien usia dewasa muda bisa menyebabkan efek samping yang serius pada lanjut usia. Misalnya pada obat yang biasa diberikan pada pasien yang menderita penyakit rhinorrhea dan hidung tersumbat, yaitu pseudoephedrine dapat menyebabkan agitasi, konfusi, dan yang lebih sering, menimbulkan retensi urin. Beberapa antihistamin yang diberikan pada pasien dengan penyakit rhinitis alergika bersifat antikolinergik sehingga dapat menyebabkan rasa kantuk yang amat dalam, hipotensi, vertigo, sinkope, inkoordinasi, konstipasi, dan gangguan berkemih (khususnya pada laki-laki dengan pembesaran prostat jinak), dan keluarnya sekret kental dari hidung.

II. ANATOMI HIDUNG

A. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1. Pangkal hidung ( bridge )
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung ( apeks )
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung ( nares anterior )

Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari :
1. Sepasang os nasalis ( tulang hidung )
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontalis

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu :
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago alar mayor )
3. Beberapa pasang kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum nasi

Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok yaitu :
1. Kelompok dilator :
– m. dilator nares ( anterior dan posterior )
– m. proserus
– kaput angulare m. kuadratus labii superior
2. Kelompok konstriktor :
– m. nasalis
– m. depresor septi

B. Hidung dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut nares posterior ( koana ) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
a. Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrisae.
b. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang terdiri dari :
– lamina perpendikularis os etmoid
– vomer
– krista nasalis os maksila
– krista nasalis os palatina
Bagian tulang rawan terdiri dari :
– kartilago septum ( lamina kuadrangularis )
– kolumela
c. Kavum nasi

Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horisontal os palatum.

! Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

! Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.

! Konka
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

! Meatus nasi
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Disini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara
konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.

! Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi.

Pendarahan Hidung
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama:
1. a. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral
hidung.
2.a. etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ), mendarahi septum bagian superior posterior.
3. a. sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan a. septi posterior yang menyebar pada septum nasi.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach ( Little’s area ) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

Persarafan hidung
1. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian luar.
2. Saraf sensoris.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya , sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.
3. Saraf otonom.
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu :
a. Saraf post ganglion saraf simpatis ( Adrenergik ).
Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3, berjalan ke atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung dengan serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor membentuk n. vidianus yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalam ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang palatine mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis secara dominan mempunyai peranan penting terhadap sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi kelenjar.
b. Serabut saraf preganglion parasimpatis ( kolinergik ).
Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nucleus salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam ganglion tersebut. Serabut-serabut post ganglion menyebar menuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls sekretomotorik / parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan sensasi hidung tidak akan terganggu.
4. Olfaktorius ( penciuman )
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.

III. FISIOLOGI HIDUNG
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara ( air conditioning ), penyaring udara, indra penghidu ( olfactory ), untuk resonansi suara, refleks nasal dan turut membantu proses bicara.

IV. GANGGUAN HIDUNG PADA LANJUT USIA
Penelitian membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang pasti antara usia dan jenis epitel pada hidung. Berkurangnya sel-sel bercilia tidak berhubungan dengan umur maupun kebiasaan merokok. Namun, terdapat sedikit pengaruh penuaan pada transport mukosilier. Hilangnya jaringan penyokong hidung dapat meningkatkan gejala sumbatan hidung. Keluhan pada hidung yang paling sering adalah rasa kering pada hidung, post nasal drip, bersin, batuk, berkurangnya kemampuan penciuman dan rhinitis vasomotor.
A. Rhinitis Vasomotor4
Sekret pada hidung dan post nasal drip pada orang lanjut usia dapat disebabkan oleh hilangnya kontrol oleh saraf otonom. Rhinitis vasomotor disebabkan oleh hiperaktivitas persarafan otonom pada kelenjar Bowman dan mukoserosa. Pada umumnya, hidung lebih sering tersumbat seiring dengan bertambahnya umur walaupun banyak pasien tidak mengeluh tentang itu karena dianggap merupakan konsekuensi normal dari penuaan. Terapinya mencakup menjaga kelembapan rongga hidung dan menghindari pemakaian dekongestan sistemik maupun topical karena dapat menambah kekeringan pada rongga hidung. Pada pasien dengan rhinitis vasomotor, diberikan antikolinergik seperti ipratropium bromide dalam bentuk spray, irigasi hidung, antibiotic dan operasi sinus bila diperlukan. Namun, terapi farmakologis harus dihindari bila memungkinkan.
B. Sinusitis1
Adalah reaksi inflamasi pada sinus paranasalis yang disebabkan oleh virus, bakteri, infeksi jamur atau reaksi alergi. Sebagian besar sinusitis sudah dialami pasien sebelum berusia lanjut, umumnya pada pasien dengan gangguan pada mukosa respiratorius. Pada pasien dengan rhinosinusitis alergika, gejalanya makin berat seiring dengan bertambahnya usia. Namun, sinusitis sering terjadi pada orang tua, berhubungan dengan infeksi gigi, polip hidung yang menyebabkan obstruksi, dan infeksi pada traktus respiratorius bagian atas. Pada usia lanjut, penyebab sinusitis akut yang paling banyak adalah pengobatan yang biasa diberikan untuk epistaksis.
a. Gejala dan Diagnosis
Gejala sinusitis pada pasien usia muda dan lanjut usia kurang lebih sama. Daerah sekitar sinus yang terkena menjadi lembek dan bengkak. Terdapat rasa nyeri pada wajah, tergantung pada sinus mana yang terkena. Pasien mengeluhkan penyumbatan pada hidung dan nafas yang berbau busuk, malaise, serta rhinorrhoea dengan sekret purulen berwarna hijau. Mukosa hidung menjadi merah dan bengkak, sering timbul eksudat purulen. Bila terdapat demam, atau terkadang merasa dingin, menunjukkan bahwa infeksinya telah menyebar di seluruh sinus. Bau busuk, sekret hidung yang purulen menunjukkan abses pada akar gigi yang telah menyebar ke sinus maksilaris.
Jika pasien mengalami pembengkakan pada hidung atau pipi, obstruksi pada lubang hidung unilateral atau bilateral, sekret yang purulen atau berdarah, sebabnya lebih mungkin neoplasma pada hidung atau sinus, dan bukan sinusitis. Harus dilakukan pemeriksaan X ray pada sinus dan bila ada indikasi, dapat dilakukan biopsy. Sinus yang terkena terlihat lebih opak pada gambaran radiologis, namun keberadaan dan derajat sinusitis terlihat lebih jelas dengan CT scan. Jika sinus maksilaris terkena, perlu dilakukan foto x ray pada gigi untuk menemukan abses pada akar gigi. Jika ditemukan abses, gigi yang terkena harus diekstraksi.
b. Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya bertujuan untuk meningkatkan drainage dan mengendalikan infeksi. Inhalasi uap air panas, dengan menggunakan saline nasal, menghembuskan udara lewat hidung dan meminum 6 – 8 gelas air setiap hari juga dapat menolong. Vasokontriktor topical (misalnya phenylephrine, oxymetazoline) dipakai sebagai spray hidung dapat mengurangi pembengkakan namun tidak boleh digunakan lebih dari 7 hari. Vasokontriktor sistemik (misalnya pseudoephedrine) kurang efektif dan dapat menimbulkan efek samping pada orang lanjut usia, sehingga harus dihindari. Antibiotik harus diberikan selama minimal 10 – 12 hari jika diduga terdapat sinusitis bacterial akut. Antibiotik yang merupakan obat pilihan utama adalah amoxicillin dengan atau tanpa clavulanate; sebagai alternatif dapat dipakai clarithromycin, azithromycin atau cefuroxime. Untuk sinusitis kronik biasa diberikan antibiotik spektrum luas jika terjadi eksaserbasi akut. Biasanya terapi antibiotik efektif. Jika tidak berhasil perlu dilakukan irigasi sinus atau operasi.

C. Hidung Tersumbat
Penyumbatan karena Perubahan Anatomi
Seiring dengan bertambahnya usia, hidung perlahan-lahan akan berubah, sebagian besar karena efek gravitasi. Ujung hidung menjadi lebih rendah, hidung menjadi lebih panjang dan sempit. Sudut antara columella hidung dan bibir atas semakin kecil karena kulit menjadi kendur dan tulang rawan pada hidung menjadi lebih tipis dan lembek. Penyumbatan hidung bisa disebabkan karena penurunan ujung hidung yang nyata dan karena tulang rawan yang menjadi lembek dapat menutup septum saat inspirasi. Disebut penyumbatan karena perubahan anatomi jika pada pemeriksaan “thumb procedures” ujung hidung yang rendah segera naik. Jalan nafas pada hidung dapat dibuka dengan menempatkan alat untuk menarik (traction) yang lembut pada pipi. Terapinya juga dapat dilakukan pemakaian lembaran plastic pada hidung saat malam hari untuk menahan jalan nafas yang kolaps. Sedangkan untuk obstruksi yang berat dapat dilakukan operasi untuk mengangkat ujung hidung, memendekkan septum hidung dan mengencangkan kulit.
Obstruksi Bilateral
Rhinitis alergika musiman atau perineal dapat menyebabkan sumbatan hidung bilateral juga, sama seperti perubahan anatomi pada hidung. Gejala alergi dapat terjadi bila pasien berpindah tempat ke Negara atau kota yang baru. Bagi orang lanjut usia, gejala rhinosinusitis alergika semakin berkurang seiring dengan bertambahnya usia.
Penyumbatan bilateral dapat juga merupakan akibat dari polip hidung bilateral. Jika penyumbatan berhubungan dengan kehilangan pendengaran unilateral atau bilateral karena otitis media serosa, penyebabnya mungkin karena tumor nasofaring (misalnya carcinoma, limfoma, plasmasitoma), sehingga harus dilakukan pemeriksaan radiologis sinus untuk menemukan penyebab pastinya.
Penyumbatan pada hidung dapat pula berhubungan dengan hipotiroid. Penyumbatan pada hidung dapat pula disebabkan oleh obat-obatan antihipertensi tertentu dan antidepresan trisiklik. Penggunaan yang berlebuhan dari spray dekongestan (misalnya phenylephrine, oxymetazoline) dapat menyebabkan hipertrofi kronik pada mukosa hidung (disebut juga rhinitis medikamentosa).
Pada pasien dengan alergi, terapi utama yang diberikan adalah antihistamin. Namun, antihistamin yang bersifat antikolinergik cenderung menyebabkan sedasi (mengantuk), mulut kering, hipotensi ortostatik, konstipasi, retensi urin dan konfusi pada lanjut usia. Hanya obat-obatan tanpa efek kolinergik (misalnya astemizole, cetrizine, fexofenadine, loratadine) yang digunakan pada lanjut usia.
Obstruksi Unilateral
Penyebabnya misalnya pembengkakan pada hidung atau polip yang merupakan akibat dari infeksi kronik pada sinus maksilaris atau sinus ethmoidalis, terutama pada pasien dengan abses gigi pada maksila atau yang mendapatkan intubasi nasogastrik atau nasotrakeal. Jika pada pasien yang hidungnya keluar sekret, sumbatannya mungkin disebabkan oleh benda asing (misalnya tissue atau kapas) yang terdorong ke dalam hidung. Obstruksi unilateral yang terdapat darah mungkin disebabkan oleh neoplasma yang mengenai sinus atau rongga hidung.
Cara mendiagnosanya yaitu dengan pemeriksaan fisik, radiologis sinus, dan kultur bakteri pada sekret. Biopsi dilakukan bila diduga terdapat tumor. Untuk tumor sinus yang sifatnya jinak, biasanya dilakukan operasi yang terbatas pada nasal dan sinus. Sedangkan bila terdapat tumor ganas, diberikan terapi radiasi, operasi, atau keduanya, tergantung pada penemuan pada biopsy dan radiologis.

GANGGUAN TENGGOROKAN PADA LANJUT USIA

I. ANATOMI DAN FISIOLOGI TENGGOROKAN
A. Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong dimulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal 6. Faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Otot-otot faring tersusun dalam lapisan memanjang (longitudinal) dan melingkar (sirkular). Otot-otot yang sirkuler terdiri dari m. konstriktor faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di bagian belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut rafe faring. Batas hipofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah laring, batas posterior ialah vertebra servikal serta esofagus di bagian inferior. Pada pemeriksaan laringoskopi struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Di bawah valekula adalah permukaan laringeal dari epiglotis.
Epiglotis berfungsi melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faringealis. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faringeal dari n. vagus, cabang dari n. glossofaringeus dan serabut simpatis. Dari pleksus faringealis keluar cabang-cabang untuk otot – otot faring kecuali m. stilofaringeus yang dipersarafi langsung oleh cabang n. glosofaringeus.

Gambar Anatomi Tenggorokan
B. Laring
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran nafas bagian atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Bagian atas laring adalah additus laryngeus, sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago crycoid. Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid dan beberapa tulang rawan, yaitu kartilago epiglottis, kartilago crycoid, kartilago aryttenoid, kartilago kornikulata, dan kartilago thyroid.
Gerakan laring dilakukan oleh kelompok otot ekstrinsik dan otot intrinsik. Otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hyoid (suprahyoid) dan ada yang terletak dibawah tulang hyoid (infrahyoid). Otot ekstrinsik yang suprahyoid ialah M. digastricus, M. geniohyoid, M. stylohyoid, dan M.mylohyoid. Sedangkan otot-otot infrahyoid adalah M. sternohyoid, M. omohyoid, dan M. tyrohyoid. Otot-otot inrinsik laring adalah M. crycoarytenoid lateral, M. thyroepiglottica, M. vocalis, M. thyroaritenoid, M. aryepiglottica, dan M. crycothyroid. Otot-otot ini terletak pada bagian lateral laring. Otot-otot yang ada pada bagian posterior laring adalah M. arytenoid transversum, M. arytenoid oblique, dan M. crycoarytenoid posterior.1
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, menelan, emosi, serta fonasi. Sebagai proteksi, laring bekerja dengan menutup rima glottis dan additus laryngeus secara bersamaan guna melindungi dari benda asing masuk ke dalam trakea. Refleks batuk berfungsi untuk mengeluarkan benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dan sekret dari paru. Fungsi respirasi dari laring adalah dengan mengatur besar kecilnya rima glottis karena kontraksi M. crycoarytenoid posterior. Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan tiga mekansime, yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup additus laryngeus, dan mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam laring. Fungsi laring yang lain adalah untuk fonasi dengan membuat suara serta menentukan Laring juga berfungsi untuk mengekspresikan emosi dengan berteriak, menangis, mengeluh, dan lain-lain. Sedangkan untuk fonasi, laring dapat membentuk suara serta menentukan tinggi rendahnya nada.

C. Esofagus
Esofagus merupakan bagian saluran cerna yang menghubungkan hipofaring dengan lambung. Bagian proksimalnya disebut introitus esofagus yang terletak setinggi batas bawah kartilago krikoid atau setinggi vertebra servikal 6. Di dalam perjalanannya dari daerah servikal, esofagus masuk ke dalam rongga toraks. Didalam rongga toraks ,esofagus berada di mediastinum superior antara trakea dan kolumna vertebra terus ke mediastinum posterior di belakang atrium kiri dan menembus diafragma setinggi vertebra torakal 10 dengan jarak kurang lebih 3 cm di depan vertebra. Akhirnya esofagus ini sampai di rongga abdomen dan bersatu dengan lambung di daerah kardia. Berdasarkan letaknya esofagus dibagi dalam bagian servikal, torakal dan abdominal. Esofagus menyempit pada tiga tempat.
Penyempitan pertama yang bersifat sfingter terletak setinggi tulang rawan krikoid pada batas antara esofagus dengan faring, yaitu tempat peralihan otot serat lintang menjadi otot polos. Penyempitan kedua terletak di rongga dada bagian tengah, akibat tertekan lengkung aorta dan bronkus utama kiri. Penyempitan ini tidak bersifat sfingter. Penyempitan terakhir terletak pada hiatus esofagus diafragma yaitu tempat esofagus berakhir pada kardia lambung. Otot polos pada bagian ini murni bersifat sfingter. Inervasi esofagus berasal dari dua sumber utama, yaitu saraf parasimpatis nervus vagus dan saraf simpatis dari
serabut-serabut ganglia simpatis servikalis inferior, nervus torakal dan n. splangnikus.

II. GANGGUAN TENGGOROKAN PADA LANJUT USIA
A. LARINGITIS
Adalah inflamasi yang terjadi pada pita suara. Penyebab yang paling banyak adalah infeksi virus, seperti rinofaringitis (common cold) yang menimbulkan turunnya sekret ke dalam tenggorokan. Pada orang lanjut usia, penyebab lainnya adalah atrofi otot-otot laring, rokok dan kerusakan pada laring karena regurgitasi asam lambung (reflux laryngitis)
a. Gejala
Pada laryngitis terdapat gejala radang umum, seperti demam, malaise, serta gejala local, seperti suara parau, bahkan dapat terjadi suara tidak keluar sama sekali (afoni), nyeri saat menelan atau berbicara, serta gejala sumbatan laring. Selain itu dapat pula dijumpai batuk kering dan lama kelamaan disertai dengan dahak kental.
b. Diagnosa
Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa laring yang hiepremis, membengkak, terutama di atas dan bawah pita suara. Biasanya terdapat juga tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal atau pada paru.
c. Klasifikasi
1. Laringitis karena Atrofi
Seiring dengan bertambahnya usia, jaringan kelenjar saliva minor menghilang, sehingga kelembapan dalam mulut berkurang. Terjadi atrofi pada otot-otot laring, hilangnya jaringan support fibrosa dan timbulnya metaplasia sel skuamosa. Perubahan ini dapat menyebabkan penebalan kronik pada laring yang menimbulkan keinginan untuk membersihkannya. Pada orang usia lanjut, suara yang melemah, tinggi, dan bergetar dapat merupakan tanda awal yang menunjukkan efek penuaan pada laring. Kualitas suara menurun karena pita suara menekuk (karena berkurangnya elastisitas dan massa otot), yang membuat udara keluar lebih banyak saat fonasi, atau karena berkurangnya volume paru dan usaha ekspirasi.
2. Laringitis karena Regurgitasi Asam Lambung (Reflux Laryngitis)
Laringitis refluks biasanya terjadi pada orang berusia lanjut yang sebelumnya menderita GERD (Gastro Esophageal Reflux Disease). GERD sering terjadi pada orang tua karena pada orang berusia lanjut biasanya terdapat gangguan peristaltik esophagus dan sphincter esophagus yang melemah. Pasien yang tidur dengan posisi tengkurap dapat merasakan sensasi terbakar pada hipofaring dan laring.
d. Penatalaksanaan
Secara umum, terapi untuk laryngitis adalah istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari, menghirup udara lembap, menghindari iritasi pada faring dan laring, misalnya dengan menghindari merokok, makan makanan pedas atau minum es. Antibiotika diberikan apabila peradangan berasal dari paru.
• Penatalaksanaan Untuk Laringitis Karena Atrofi
Untuk penebalan kronik, terapinya diberikan secara simptomatik. Pemberian lozenges, permen citrus atau permen karet dapat merangsang aliran ludah. Pasien dengan suara yang lemah dapat diberi instruksi untuk menarik nafas panjang sebelum berbicara, karena hal itu dapat memperbaiki sementara. Speech therapy juga dapat menolong. Dapat juga dilakukan operasi seperti thyroplasty (menyuntikkan polimer silicon ke dalam pita suara).
• Penatalaksanaan Untuk Laringitis Karena Regurgitasi Asam Lambung
Tidur dengan posisi kepala lebih tinggi dapat mencegah terjadinya refluks. Jika tidak berhasil, dapat diberikan inhibitor pompa proton (seperti omeprazole), penghambat reseptor H2 (seperti famotidin, ranitidine) atau agonis otot polos (misalnya metoclopramide).

B. CRYCOARITENOIDITIS
a. Pendahuluan
Crycoaritenoid adalah salah satu tulang rawan yang menyusun laring, selain kartilago epiglottis, kartilago crycoid, kartilago corniculata dan kartilago thyroid. Kartilago crycoid dihubungkan dengan kartilago thyroid oleh ligamentum crycothyroid. Bentuk kartilago crycoid berupa lingkaran. Kartilago crycoid membentuk sendi dengan sepasang kartilago arytenoid yang disebut articulatio crycoarytenoid. Kartilago crycoid berperan dalam respirasi, yaitu dengan mengatur besar kecilnya rima glottis melalui kontraksi musculus crycoarytenoid posterior yang menyebabkan processus vocalis cartilago arytenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glottis terbuka.

b. Definisi
Crycoaritenoiditis adalah inflamasi pada sendi cricoaritenoid. Penyakit ini sering muncul pada orang tua yang menderita arthritis. Biasanya, hanya pasien dengan arthritis yang paling parah yang dapat mengalami cricoaritenoiditis. Gejalanya adalah rasa nyeri pada saat menelan dan berbicara. Pada pemeriksaan laring didapatkan kemerahan dan pembengkakan pada kartilago aritenoid. Sendi cricoaritenoid biasanya terfiksasi, sehingga pita suara susah terabduksi. Cricoaritenoiditis dapat menimbulkan kegagalan pernapasan. Diperlukan trakeostomi atau arytenoidectomi, namun jarang terjadi.

C. DISFAGIA
Menelan merupakan satu proses yang kompleks yang memungkinkan pergerakan makanan dan cairan dari rongga mulut ke lambung. Proses ini melibatkan struktur di dalam mulut, faring, laring dan esofagus. Disfagia sering terjadi pada orang tua yang dirawat di rumah dan dapat menyebabkan beberapa masalah kesehatan, seperti gangguan nutrisi dan susahnya memberikan obat padat secara per oral dan menurunnya kualitas hidup. Disfagia lebih sering terjadi pada lanjut usia daripada pada orang muda karena berbagai macam sebab. Penyakit yang banyak menyebabkan disfagia, seperti Alzheimer dan stroke lebih sering terjadi pada orang tua dibandingkan dengan dewasa muda. Selain itu, pada orang lanjut usia refleks sphincter antara laring dengan esofagus bagian atas, serta fungsi kelenjar saliva (yang sangat berperan pada proses menelan) menurun pada orang lanjut usia. Obat-obatan yang menyebabkan xerostomia (mulut kering), seperti opioid, AINS, corticosteroid dan diuretik banyak diminum oleh orang lanjut usia untuk mengatasi berbagai penyakit yang mereka alami.

I. Fisiologi Menelan
Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut :
(1) pembentukan bolus makanan dengan bentuk dan konsistensi yang baik,
(2) usaha sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan,
(3) kerja sama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke arah lambung,
(4) mencegah masuknya bolus makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring,
(5) mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi,
(6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus.

Proses menelan dapat dibagi dalam tiga fase yaitu :
1. Fase Oral
Fase oral terjadi secara sadar, makanan yang telah dikunyah dan bercampur dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini akan bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah ke orofaring akibat kontraksiotot intrinsik lidah. Kontraksi m.levator veli palatine mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum molle terangkat dan bagian atas dinding posterior faring akan terangkat pula. Bolus kemudian akan terdorong ke posterior karena lidah yang terangkat ke atas. Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontraksi m. levator palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m. palatoglossus yang menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh konraksi m. palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.
2. Fase Faringeal
Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi m. stilofaring, m. salfingofaring, m.tirohioid dan m. palatofaring. Aditus laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi m. ariepiglotika dan m. aritenoid obliqus. Bersamaan dengan itu terjadi penghentian aliran udara ke laring karena refleks yang menghambat pernapasan sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke saluran napas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke arah esofagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus.
3. Fase Esofageal
Fase esofageal adalah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Dengan adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi m. krikofaring sehingga introitus esofagus terbuka dan makanan masuk ke esofagus. Gerakan bolus makanan pada esophagus bagian atas masih dipengaruhi oleh kontraksi m. konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus akan didorong ke distal oleh gerak peristaltik esofagus.

II. Efek Penuaan pada Proses Menelan
Terdapat sejumlah perubahan yang berkaitan dengan usia pada fase oral, faringeal dan esofageal. Perubahan-perubahan ini mencakup peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung pada lidah, atrofi pada tulang alveolar dan jumlah gigi yang berkurang, menurunnya kemampuan mengunyah, dan menurunnya tonus otot esofagus. Proses menelan menjadi semakin lambat seiring dengan bertambahnya usia, karena fase faringeal yang melambat. Selain itu, pada fase oral terjadi perlambatan dalam proses pembentukan bolus, dan bolus terdapat sedikit lebih posterior pada pasien lanjut usia. Sedangkan pada fase esofageal terdapat perlambatan dalam karena tidak semua perubahan terkait usia ini tidak meningkatkan secara keseluruhan insiden disfagia, penetrasi ke laring dan frekuensi aspirasi.

III. Etiologi
Beberapa penyakit yang berhubungan dengan penuaan dapat mempengaruhi mekanisme menelan. Penyakit stroke yang menyerang korteks cerebri kanan dan kiri dapat menyebabkan kesulitan menelan. Berdasarkan penelitian terbukti bahwa stroke yang menyerang korteks sisi kiri dapat menyebabkan kesulitan menelan pada fase oral, mencakup masalah mencetuskan menelan dan tertundanya penarikan bolus dari rongga mulut. Sebaliknya, stroke pada korteks sisi kanan cenderung mengalami masalah pada fase faringeal yang menimbulkan adanya sisa makanan pada faring yang dapat menimbulkan aspirasi. Penyakit motor neuron dapat menyebabkan kesulitan menelan sebagai keluhan utama karena berkurangnya kontrol lidah dan berkurangnya gerakan palatum dan bibir. Penyakit Parkinson menimbulkan keluhan menelan yang khas yang mencakup gerakan memompa lidah yang berulang untuk mencetuskan fase oral menelan, perlambatan fase faringeal dan sisa pada faring. Selain itu, beberapa penyakit seperti rheumatoid arthritis, nuropati diabetikum, dan polimiositis dapat menimbulkan kesulitan menelan karena proses patoligiknya.
III. Diagnosa
Cara diagnosa yang penting pada kesulitan menelan pada lanjut usia adalah dengan menggunakan bubur barium, dan kemudian menggunakan radiologis OMD (Oesophageal Maag Duodenum). Cara pemeriksaan ini dapat menunjukkan pembentukan bolus, transisi bolus saat menelan, waktu menelan, dan penyebab aspirasi serta menentukan terapi dan strategi rehabilitasi.

Gambar Pemeriksaan Radiologis dengan Bubur Barium (OMD)

IV. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan disfagia harus melibatkan ahli dalam berbagai disiplin ilmu, dan bila perlu dilakukan operasi. Namun sering juga, terapi yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan menelan hanyalah rehabilitasi. Banyak teknik rehabilitasi yang mengupayakan agar pasien dapat melakukan kendali secara sadar untuk mengatasi gangguan menelan yang mereka alami. Atau dapat juga diajarkan Manuver Mendelsohn atau menelan lewat supraglottis. Pada pasien yang tidak dapat melakukan instruksi kendali secara sadar, teknik postural, dapat dilakukan pengurangan jumlah makanan atau penggantian makanan yang lebih lunak.

KESIMPULAN

Gangguan hidung dan tenggorokan pada orang muda dan usia lanjut tidak jauh berbeda. Gangguan yang sering timbul misalnya hidung tersumbat, rhinorrhea, epistaksis dan fraktur pada hidung juga dapat terjadi pada kelompok umur lainnya dan dapat menimbulkan berbagai macam gejala. Namun, terapi yang diberikan pada lanjut usia dapat berbeda. Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang biasa diberikan pada pasien usia dewasa muda bisa menyebabkan efek samping yang serius pada lanjut usia. Misalnya pada obat yang biasa diberikan pada pasien yang menderita penyakit rhinorrhea dan hidung tersumbat, yaitu pseudoephedrine dapat menyebabkan agitasi, konfusi, dan yang lebih sering, menimbulkan retensi urin. Beberapa antihistamin yang diberikan pada pasien dengan penyakit rhinitis alergika bersifat antikolinergik sehingga dapat menyebabkan rasa kantuk yang amat dalam, hipotensi, vertigo, sinkope, inkoordinasi, konstipasi, dan gangguan berkemih (khususnya pada laki-laki dengan pembesaran prostat jinak), dan keluarnya sekret kental dari hidung.
Gangguan tenggorokan yang sering terjadi pada lanjut usia antara lain:
 Laringitis
Pada orang lanjut usia, penyebab lainnya adalah atrofi otot-otot laring, rokok dan kerusakan pada laring karena regurgitasi asam lambung
 Cricoaritenoiditis
Penyakit ini sering muncul pada orang tua yang menderita arthritis.
 Disfagia
Disfagia lebih sering terjadi pada lanjut usia daripada pada orang muda karena berbagai macam sebab. Penyakit yang banyak menyebabkan disfagia, seperti Alzheimer dan stroke lebih sering terjadi pada orang tua dibandingkan dengan dewasa muda. Selain itu, pada orang lanjut usia refleks sphincter antara laring dengan esofagus bagian atas, serta fungsi kelenjar saliva (yang sangat berperan pada proses menelan) menurun pada orang lanjut usia. Obat-obatan yang menyebabkan xerostomia (mulut kering), seperti opioid, AINS, corticosteroid dan diuretik banyak diminum oleh orang lanjut usia.

DAFTAR PUSTAKA

Hermani, Bambang : Suara Parau dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan edisi ke 5 . Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . Jakarta. 2006

Novelli, William D : The Merck Manual of Health and Aging : Ballantine Books. New York. 2006
Pachigolla, Ravi : Geriatric Otolaryngology on www.utmb.edu/otoref/geriatric-oto-9911.doc. Last updated at 1999, November 3th

Bailey, Byron : nose and throat disorders in elderly on http://www. ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3611032. Last updated at 2002, May 13th

Rambe, Andina Yunita : Rhinitis Vasomotor on www.THT-USUdigitallibrary.org last updated at 2003, October 12th

Morris, Heather : Dysphagia in the elderly on www. countrydoctor.co.uk/education/elderly20.htm. Last updated at 2003, June 4th