Etiologi Autisme

Etiologi autisme

Penyebab autisme masih belum diketahui secara pasti dan spekulatif. Mungkin karena fakta bahwa autisme adalah suatu kondisi yang luas dan memiliki variasi dalam sekelompok orang yang teridentifikasi memiliki gangguan spektrum autisme sehingga penjabaran tentang apa yang menyebabkan terjadinya autisme menjadi sulit. Beberapa ahli menyebutkan autisme ini disebabkan karena multi-faktorial atau banyak penyebab (Judarwanto, 2006). Penyebab tersebut adalah faktor genetik dan lingkungan.

Ada bukti yang tak terbantahkan pada komponen genetic meski faktor genetik yang diwariskan tidak seluruhnya jelas. Banyak peneliti menemukan bahwa autisme dan penyakit yang berhubungan dengan autisme cenderung memiliki insiden yang lebih tinggi pada beberapa keluarga dibanding populasi umum (Jepson, 2003). Beberapa etiologi berdasarkan genetik yang dihimpun dari berbagai jurnal dan literatur :

  1. Herediter

Faktor genetik dan pewarisan antar keluarga tidak diragukan lagi berhubungan dengan penyebab autisme. Salah satu penelitian terhadap anak kembar menyatakan bahwa autisme didasari oleh genetika (Browndyke, 2002). Autisme sendiri juga sering terjadi pada anak antar saudara kandung dan anak kembar (Landrigan, 2010). Autisme lebih sering terjadi pada anak kembar (Trajkovski, 2004).  Pada beberapa survei, antara 2 dan 4 persen saudara kandung anak autistik juga mengalami gangguan autistik, suatu angka yang 50 kali lebih besar dibandingkan populasi umum (Sadock, 2010). Prevalensi autisme anak antar saudara kandung diperkirakan sekitar 2-3%. Meski nilai tersebut terlihat kecil tetapi hal tersebut 50-100 kali lebih besar dibandingkan jumlah prevalensinya yang sekitar 4-5 per 10.000 anak pada populasi (Folstein dan Piven, 1991). Folstein dan Rutter pada tahun 1977 meneliti beberapa pasangan anak kembar yang sama jenis kelaminnya, didapatkan bahwa angka konkordansi atau kecocokan pada anak kembar monozigot yaitu 4 dari 11 pasangan (36%) dan nol dari 10 pasangan anak kembar dizigot (0%) (browndyke, 2002). Angka konkordansi atau kecocokan gangguan autistik pada studi kembar adalah 40-90% pada kembar monozigot vs 0-25% pada kembar dizigot (Sadock, 2010). Sehingga, jika salah satu anak kembar monozigot didiagnosis autis maka kemungkinan anak satunya mengalami gangguan autisme adalah 90% (Ratajczak, 2011).Sedangkan, pada anak kembar dizigot, kemungkinan terjadinya adalah hanya 2-3% saja (cit. DeFrancesco, 2001 dalam Ratajczak, 2011). Angka konkordansi lainnya menunjukkan 60% pada anak kembar monozigot vs. 0% pada anak kembar dizigot (cit. Muhler et al, 2004 dalam Ratajczak, 2011). Nilai-nilai tersebut membuktikan bahwa hereditasi atau pewarisan genetik merupakan agen penyebab yang utama dalam gangguan autisme (Ratajczak, 2011).

  1. Kelainan kromosom dan gen

Terdapat beberapa komponen genetik dan kromosom yang mempengaruhi terjadinya gangguan autisme. HOXA1, adalah salah satu gen dengan sifat pewarisan autosomal resesif (cit. Caglayan, 2010 dalam Ratajczak, 2011) yang dinyatakan berhubungan dengan gangguan spektrum autisme (cit. Rodier, 2000 dalam Ratajczak, 2011). Gen DbetaH (DBH) juga memiliki kaitan dengan autisme. Beberapa gen lain seperti NLGN3, NLGN4, MeCP2, PTEN dan NRXN1 yang diwariskan secara monogenik memiliki kaitan dengan autisme. Pada literatur disebutkan juga adanya hubungan yang positif antara autisme dengan gen FMR-1 (cit. Vincent et al, 1996 dalam Ratajczak, 2011). Ada pula hubungan autisme dengan mutasi gen SHANK2 (cit. Berkel et al, 2010 dalam Ratajczak, 2011). Selain itu, gen X rapuh memainkan peran terhadap kejadian autisme sindrom yang nantinya menyebabkan sindrom X rapuh atau Fragile X (cit. Farzin et al, 2006 dalam Ratajczak, 2011 dan Landrigan, 2010). Sindrom ini adalah penyebab kedua terbanyak pada faktor genetik yang menyebabkan retardasi mental dan dilaporkan berhubungan kuat dengan gangguan autisme (Browndyke, 2002). Kira-kira 1% anak dengan gangguan autistik juga memiliki sindrom X rapuh (Sadock, 2010). Bukti-bukti yang berhubungan dengan genetik dari beberapa laporan kasus menunjukkan adanya variasi abnormalitas kromosom yang kadang muncul sebagai penyebab autisme. Abnormalitas yang paling sering muncul adalah berupa duplikasi kromosom 15. Lokus yang mengalami gangguan adalah pada bagian 15q yang didapatkan dari sisi maternal dengan individu autistik. Bagian tersebut merupakan dasar genetika terhadap gejala disleksia pada gangguan spektrum autistik. Abnormalitas kromosom lain juga terdapat pada kromosom 4, 7, 10, 16, 17, 18, 19, dan 22; dimana yang paling sering adalah lokus 7q (Trottier, Srivastava, dan Walker, 1999 dan Sadock, 2010). Studi lain menyatakan bahwa lokus kromosom lain yang sering muncul adalah 2q (Landrigan, 2010).

  1. Penyakit penyerta

Penyakit yang berhubungan dengan autisme adalah yang berupa penyakit genetik seperti sklerosis tuberosa dimana penyakit autosomal dominan ini ditandai dengan hamartoma otak atau tuber, retina, dan viscera; retardasi mental; kejang; dan adenoma sebasea. Selain itu, terdapat penyakit fenilketonuria yang merupakan kelainan metabolisme sejak lahir dan ditandai dengan ketidakmampuan mengubah fenilalanin menjadi tirosin sehingga menyebabkan akumulasi fenilalanin serta hasil metaboliknya di dalam cairan tubuh sehingga menyebabkan retardasi mental, manifestasi neurologik pigmentasi ringan, bau kesturi, ekzema. Adapula, histidinemia yang merupakan aminoasidopati herediter dan ditandai dengan jumlah histidin yang berlebihan dalam darah. Yang terakhir, penyakit yang berhubungan dengan gangguan autisme adalah neurofibromatosis. penyakit herediter ditandai dengan perubahan perkembangan system saraf, otot, tulang, dan kulit, serta ditandai oleh pembentukan neurofibroma atau tumor saraf tepi akibat proliferasi abnormal sel schwann yang tersebar diseluruh tubuh yang berhubungan dengan pigmentasi (Browndyke, 2002 dan Ratajczak, 2011).

  1. Disfungsi metallotionin

Hipotesis ini diajukan oleh William Walsh, PhD, yang merupakan pimpinan pusat riset Pfeiffer di Ilinois, Amerika Serikat. Beliau menganalisa lebih dari 500 pasien autistik di kliniknya dan menemukan bahwa terdapat kelainan rasio tembaga dan seng. Analisis tersebut menyatakan bahwa 85% pasien autistik memiliki peningkatan rasio tembaga dan seng dan 99% persen menunjukkan adanya gangguan metabolisme logam yang disebut disfungsi metallotionin (Ratajczak, 2011). Rasio tembaga dan seng normalnya diatur oleh kontrol mekanisme dari protein yang bernama metallotionin (MT). Fungsi lain dari MT adalah sebagai perkembangan saraf otak, detoksifikasi logam berat, maturasi traktus gastrointestinal, antioksidan, memperkuat fungsi imun dan mengantar seng ke dalam sel (Jepson, 2003).

  1. Disfungsi mitokondrial

Gangguan fungsi mitokondrial klasik terjadi pada kasus autisme dan biasanya disebabkan oleh genetik atau abnormalitas respiratorius. Terdapat peningkatan bukti terhadap disfungsi mitokondrial pada individu autistik (Ratajczak, 2011).

Meskipun perhatian utama beberapa penelitian fokus terhadap pengaruh genetik dan kondisi medis yang terkait dengan autisme, bukti lain secara jelas menyatakan bahwa gangguan spektrum autisme memiliki faktor yang banyak. Hal ini berarti faktor non-genetik juga memainkan peran pada etiologi autisme meskipun hanya sedikit yang diketahui (Trajkovski, 2004). Beberapa etiologi  atau penyebab autisme yang berasal dari lingkungan adalah sebagai berikut :

  1. Toksin logam berat. Beberapa laporan mendokumentasikan peningkatan jumlah logam berat dalam darah dan urin pada individu autistik (cit. Bernard et al dan Walsh et al, 2001 dalam Ratajczak, 2011). Pada bulan April 2000, Sally Bernard dan beberapa peneliti mempublikasikan sebuah artikel yang menyatakan bahwa autisme merupakan bentuk dari keracunan merkuri. Mereka secara teliti membandingkan tanda dan gejala dari keracunan  merkuri terhadap gangguan autisme dan menemukan kesamaan yang mencolok dalam segala aspek (Jepson, 2003). Dufault dan kawan-kawan memberikan data bahwa jumlah paparan polusi merkuri yang berasal dari dalam udara, tanah, debu, air, produk konsumen, amalgam gigi, lampu merkuri, alat-alat makan, dan makanan laut merupakan sumber penyebab gangguan autisme. Ambil contoh pada udara, untuk setiap 1000 pon merkuri (dalam bentuk apapun), terdapat peningkatan 61% pada jumlah autisme (Ratajczak, 2011). Selain itu, vaksin dengan kandungan merkuri menjadi salah satu faktor yang paling kontroversial dan banyak diperdebatkan dalam etiologi autisme. Salah satu vaksin yang mengandung merkuri adalah thimerosal. Vaksin ini diberikan pada tahun 1980 akhir dan 2003. Pemakaian vaksin thimerosal pada tahun tersebut bertepatan dengan peningkatan insidensi autism (Rudy, 2006).
  1. Usia orang tua. Banyak data yang berkontribusi membahas tentang peningkatan usia orang tua terhadap resiko mempunyai anak autistik. Data yang didapat dari penelitian yang dilakukan oleh Shelton, Tancredi, dan Hertz-Picciotto menunjukkan bahwa resiko memiliki anak dengan gangguan autisme meningkat pada usia ibu. Sedangkan, peningkatan resiko autisme pada usia ayah terjadi hanya jika memiliki ibu dengan usia yang muda (Shelton, Tancredi, dan Hertz-Picciotto, 2010). Usia ibu antara 30-39 dan 40 tahun ke atas memiliki resiko 1,31 sampai 1,89 kali lebih besar untuk mempunyai anak autistik. Usia ayah antara 30-39 dan 40 tahun ke atas memiliki resiko 1,32 sampai 1,90  kali lebih besar untuk mempunyai anak autistik (Shelton, Tancredi, dan Hertz-Picciotto, 2010). Studi lain menyatakan bahwa besar resiko terjadinya gangguan spektrum autisme adalah sama untuk peningkatan usia ibu, peningkatan usia ayah, dan peningkatan usia orang tua (usia ayah dan ibu). Usia ibu dan ayah dibawah 35 tahun bukan merupakan resiko terjadinya autisme anak. Sedangkan usia antara 35-39 dan 40 tahun keatas merupakan resiko memiliki anak autistik. Meskipun begitu, studi tersebut tidak berkesimpulan bahwa memiliki dua orang tua dengan peningkatan usia akan menyebabkan resiko memiliki anak autistik bertambah (Parner, Baron-Cohen, dan Lauritsen dkk, 2012). Studi yang dilakukan di populasi Amerika Utara menyatakan bahwa peningkatan usia ibu dan peningkatan usia ayah secara terpisah atau independen memiliki kaitan dengan peningkatan resiko autisme (Grether, Anderson, dan Croen dkk, 2009). Tetapi ada juga studi yang dilakukan di Yordania yang menyatakan bahwa peningkatan usia orang tua tidak memiliki hubungan dengan kejadian autisme dan autisme terjadi pada usia orang tua kurang dari 35 tahun (Jumai’an, Dmour, dan Al-Said, 2011).
  1. Infeksi. Penyebab utama non-genetik dalam etiologi autisme adalah infeksi virus pada masa prenatal (Browndyke, 2002). Beberapa laporan kasus menyatakan bahwa sejumlah kemungkinan infeksi intra-uterine memainkan peran sebagai penyebab dalam perkembangan gangguan spektrum autisme pada tiap individu (Trajkovski, 2004). Infeksi yang tampaknya terkait dengan perkembangan perilaku autistik adalah ensefalitis yang disebabkan oleh virus campak, rubella kongenital, herpes simpleks, mumps atau gondong, varicella, sitomegalovirus dan virus stealth. Virus rubella adalah yang pertama diketahui sebagai penyebab autisme. Laporan klinis dan epidemiologi telah dihubungkan antara infeksi rubella pada ibu dengan autisme. Resiko memiliki anak dengan gangguan autisme sangat besar ketika usia kehamilan 8 minggu setelah konsepsi (Landrigan, 2010). Laporan yang dilakukan oleh Chess terdapat 8-13% anak yang lahir pada tahun 1964 dimana terjadi pandemik rubella yang kemudian menyebabkan autisme bersama dengan defek saat lahir yang berkaitan dengan sindrom rubella kongenital (Browndyke, 2002). Selain itu, virus campak dan gondong yang menyebabkan ensefalitis dapat berakibat terjadinya autisme di kemudian waktu. Infeksi virus tersebut yang menyebabkan autisme sering terjadi pada intra uteri atau pada masa prenatal. Tetapi virus herpes dilaporkan dapat menyebabkan autisme pada individu yang lebih tua. Infeksi toksoplasma, sifilis, varicella, dan rubeola juga telah dikaitkan dengan kasus-kasus tunggal pada autisme. Ada 6 laporan kasus infeksi sitomegalovirus pada autisme dan 8 kasus infeksi postnatal mumps serta satu kasus infeksi herpes simpleks postnatal (Browndyke, 2002). Data lain menyatakan infeksi lain yang memiliki nilai odds ratio cenderung diatas 1,0 adalah influenza dan pneumonia (Newschaffer, Fallin, dan Lee, 2002). Data tersebut menunjukkan bahwa beberapa virus dapat menyebabkan autisme (Ratajczak, 2011).
  1. Vaksin MMR (measles, Mumps, Rubella). Imunisasi pada anak-anak adalah faktor yang telah diteliti secara cermat sebagai penyebab dari faktor lingkungan yang potensial terhadap terjadinya autisme. Berbagai studi epidemiologi dilakukan untuk mengetahui apakah penggunaan vaksin MMR adalah penyebab terjadinya peningkatan jumlah autisme di seluruh dunia (Trajkovski, 2004). Ada beberapa laporan yang membantah adanya keterkaitan autisme dengan vaksin MMR (cit. Halsey et al, 2001 dalam Ratajczak, 2011). Peneliti dari Inggris Andrew Wakefield, Bernard Rimland dari Amerika mengadakan penelitian mengenai hubungan antara vaksinasi terutama MMR (Measles, Mumps Rubella) dan autisme. Laporan lain menyatakan tidak ada keterkaitan antara peningkatan prevalensi autisme dengan vaksin MMR (Judarwanto, 2006).
  1. Ketidakseimbangan sistem saraf. Saat ini telah berlaku umum bahwa autisme dapat timbul akibat abnormalitas fungsi dari sistem saraf pusat. Suatu studi menyatakan bahwa 85-90% individu autistik didasari oleh disfungsi otak. Petunjuk yang mendasari adanya disfungsi otak adalah tingginya insidensi epilepsi pada pasien autisme. Penelitian mengenai patologi sistem saraf pusat pada gangguan autisme semakin meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi pencitraan saraf dan histopatologi. Studi tentang pencitraan saraf baru-baru ini menemukan kelainan seperti pembesaran ventrikel otak, abnormalitas ganglia basalis, dan beragam malformasi kortikal. Studi MRI (Magnetic Resonance Imaging) yang membandingkan orang autistik dengan kontrol normal menunjukkan bahwa volume total otak meningkat pada orang dengan autisme, meskipun anak autistik dengan retardasi mental berat umumnya memiliki kepala yang lebih kecil. Selain itu, didapatkan temuan menarik pada ukuran serebellum dan morfologinya pada anak autis. Dengan menggunakan MRI, Courchesne et al berulang kali menunjukkan adanya hipoplasia pada lobus vermian VI dan VII pada kelompok individu autistik. Suatu studi meta analisis menunjukkan bukti penting bahwa sekitar 87% individu autistik terjadi hipoplasia di lobus vermian tersebut, 13% sisanya menunjukkan hiperplasia lobus vermian (Trottier, Srivastava, dan Walker, 1999). Terdapat juga laporan mengenai perilaku autistik yang berhubungan dengan cedera lobus temporalis, termasuk abnormalitas lobus temporal pada pasien dengan sklerosis tuberosa. Peningkatan presentase rerata ukuran terbesar terdapat pada lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus temporalis. Peningkatan volume dapat terjadi akibat tiga kemungkinan mekanisme yang berbeda : meningkatnya neurogenesis, menurunnya kematian neuron, dan meningkatnya produksi jaringan otak nonneuronal seperti sel glia atau pembuluh darah. Pembesaran otak dijadikan sebagai penanda kemungkinan penanda biologis untuk gangguan autistik. Lobus temporalis diyakini merupakan area yang penting pada kelainan otak didalam gangguan autistik. Hal ini didasarkan pada laporan mengenai sindrom mirip autistik pada beberapa orang dengan kerusakan lobus temporalis (Sadock, 2010). Pada beberapa anak autistik, meningkatnya asam homovanilat (metabolit dopamin utama) di dalam cairan serebrospinal menyebabkan  meningkatnya perilaku stereotipik dan penarikan diri (Sadock, 2010).
  1. Imunologi. Sistem imun janin telah disuplai oleh antibodi dari ibu. Hal ini penting untuk membantu perkembangan sistem imun tubuh janin. Beberapa studi lain menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak autistik terjadi reaksi immunoglobulin yang melawan protein otak bayi. Hipotesis ini menegaskan bahwa pemindahan atau transfer antibodi ibu tersebut mengganggu perkembangan otak janin. Meskipun belum ada studi kasus yang menjelaskan hubungan langsung antara autoantibodi maternal dan protein saraf fetus dengan perkembangan gangguan spektrum autisme (Currenti, 2010). Selain itu, masalah lain yang berkaitan dengan sistem imun anak autis adalah ketidakseimbangan antara limfosit TH1 (yang berfungsi untuk infeksi virus dan jamur) dan limfosit TH2 (yang berfungsi sebagai pembentukan antibodi dan alergi). Anak autistik memiliki lebih banyak limfosit TH2 dibanding limfosit TH1 yang membuat mereka rentan terhadap infeksi virus dan jamur. Dan ketidakseimbangan ini menyebabkan mereka mudah terjadi reaksi autoimun (Jepson, 2003).
  1. Medikasi. Obat-obatan yang berhubungan dengan kejadian autisme adalah thalidomide, misoprostol, dan asam valproat. Terdapat peningkatan insiden autisme diantara anak yang terpapar oleh thalidomida pada masa prenatal. Pada 100 kasus embryopati akibat thalidomide di Swedia, terdapat 4 kasus yang memenuhi kriteria autisme. Pada obat misoprostol, didapatkan 4 dari 7 anak dengan gangguan spektrum autistik (57,1%) telah terpapar obat tersebut pada masa prenatal.Janin dengan ibu yang mengonsumsi asam valproat dapat menjadi autistik. Dilaporkan bahwa ada 11% dari 57 anak dengan ibu yang mengonsumsi asam valproat selama kehamilan memiliki anak autis (Landrigan, 2010).