ESAI: Pengoptimalan Fungsi Polindes Untuk Menurunkan Angka Kematian Bayi Di Indonesia

PENGOPTIMALAN FUNGSI POLINDES UNTUK MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN BAYI DI INDONESIA

Oleh   : Prilly Priskylia

Universitas Brawijaya

Angka kematian bayi adalah jumlah bayi yang dilahirkan pada tahun tertentu dan meninggal setelah mencapai usia 5 tahun dan dinyatakan sebagai angka per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah dan negara. Penyebab tingginya angka kematian bayi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : ISPA, diare, dan komplikasi pada bayi yang baru lahir. Selain karena faktor di atas, kasus kematian bayi di Indonesia juga disebabkan oleh penyakit lain seperti TBC, campak, dan tetanus neonatorum. Rata – rata kasus kematian bayi terjadi di daerah-daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh layanan kesehatan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah telah membangun Polindes, namun hal ini masih menemui kendala seperti kurangnya tenaga medis, minimnya peralatan yang ada, serta kurangnya pengetahuan masyarakat tentang cara-cara pencegahan penyakit dan tindakan pertolongan pertama. Untuk itu perlu dilakukan pengoptimal fungsi dari Polindes.

Angka kematian bayi adalah jumlah bayi yang dilahirkan pada tahun tertentu dan meninggal setelah mencapai usia 5 tahun, dinyatakan sebagai angka per 1000 kelahiran hidup. Nilai normatif angka kematian bayi adalah lebih dari 140 sangat tinggi, antara 71 sampai 140 sedang dan kurang dari 20 rendah. Angka kematian bayi di Indonesia saat ini 34 bayi per 1.000 kelahiran. Meski telah turun sejak tahun 1990, angka itu masih tergolong tinggi dan jauh dari pencapaian target pembangunan milenium 2015. Pada tahun 1960 angka kematian bayi di Indonesia adalah 128 per 1000 kelahiran hidup.Pada dekade 1990 an, rata – rata terjadi penurunan sebesar 5 % per tahun. Pencapaian angka ini cukup menggembirakan, namun angka kematian bayi di Indonesia masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara – negara lain di Asean yaitu 4,6 % lebih tinggi dari Malaysia, 1,3% lebih tinggi dari Filipina dan 1,8 % lebih tinggi dari Thailand.

Angka kematian bayi sering digunakan untuk menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah atau negara. Karena besarnya angka kematian bayi dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan tempat tinggal termasuk pemeliharaan kesehatannya. Di Indonesia, kasus kematian bayi sering terjadi di daerah – daerah yang jauh dari layanan kesehatan dan daerah – daerah dengan lingkungan yang tidak sehat. Penyebab utama kematian bayi di Indonesia disebabkan oleh : infeksi saluran pernapasan akut, diare, dan komplikasi pada bayi yang baru lahir.

Pada tahun 2003, di seluruh dunia terdapat 10,8 juta anak meninggal akibat penyakit pernapasan. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah penyebab kematian 37 persen bayi baru lahir di Indonesia. Kematian anak akibat radang paru akut amat terkait dengan masalah kemiskinan yang memengaruhi tingkat gizi dan ketidakmampuan untuk mengakses fasilitas kesehatan.

UNICEF dan WHO memperkirakan 2,5 miliar kasus diare terjadi pada anak balita setiap tahun. Di Indonesia, diare menjadi penyebab utama kematian bayi usia 1-12 bulan (42 persen) dan anak-anak hingga usia 4 tahun (25 persen). Bayi yang tidak mendapatkan ASI dinyatakan enam kali lipat lebih berisiko kehilangan nyawa akibat diare di usia dua bulan pertama. Kondisi kesehatan dan gizi, serta sanitasi yang memadai memegang peranan penting untuk mencegah diare. Imunisasi perlu dilakukan pada anak guna melawan cacar, rotavirus (penyebab flu usus), serta infeksi usus lain yang dapat menimbulkan diare akut.

Empat juta bayi mengalami komplikasi saat baru lahir dan ironisnya mereka kemudian kehilangan nyawa dalam empat minggu pertama. Di Indonesia 37 persen anak balita mengalami komplikasi pada saat lahir. Tidak dapat disangkal, tenaga dan fasilitas kesehatan yang memadai ditunjang dengan kebersihan lingkungan amat diperlukan calon ibu untuk menjaga kesehatannya agar mampu menurunkan risiko berbahaya bagi dirinya dan sang bayi.

Selain disebabkan oleh ketiga penyakit di atas, kasus kematian bayi juga disebabkan oleh penyakit campak, TBC, dan tetanus neonatorum. Bisa dikatakan 100 % bayi yang terkena tetanus akan mengalami kematian. Sementara itu, 50-60 persen kematian bayi dan anak balita terkait dengan masalah kekurangan gizi.

Kasus kematian bayi di Indonesia sering terjadi di daerah yang jauh dari layanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit. Hal inilah yang menyebabkan ibu hamil memilih melakukan persalinan di dukun bayi yang tidak memiliki keahlian dan peralatan khusus. Banyak dukun bayi yang membantu persalinan menggunakan alat – alat yang tidak steril, seperti menggunakan gunting berkarat yang akhirnya menyebabkan bayi terkena tetanus neonatorum.

Sebagian masyarakat Indonesia, terutama yang berada di daerah terpencil, masih melakukan pengobatan di dukun dan melakukan ritual khusus berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat untuk menyembuhkan suatu penyakit. Bukan hanya kepercayaan masyarakat setempat saja yang menyebabkan mereka lebih memilih melakukan cara tersebut untuk penyembuhan tetapi juga karena minimnya layanan kesehatan yang ada di daerah terpencil.

Sebenarnya pemerintah telah melakukan pembangunan Polindes di beberapa daerah untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang lebih dekat. Namun ada beberapa kendala yang harus dihadapi yaitu kurangnya tenaga medis, kurangnya peralatan rumah sakit, dan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang fungsi Polindes. Hal inilah yang menyebabkan kurang optimalnya fungsi Polindes. Di sinilah peran pemerintah dan tenaga kesehatan dituntut untuk mengoptimalkan fungsi Polindes.

Yang pertama harus dilakukan adalah menempatkan beberapa tenaga medis ahli di Polindes. Kemudian melengkapi sarana dan prasarana Polindes sehingga bisa mengoptimalkan prosedur perawatan dan penyembuhan. Pemberian penyuluhan kepada masyarakat setempat juga perlu dilakukan. Mengingat sebagian masyarakat Indonesia terutama yang berada di daerah terpencil masih memegang kuat mitos dan tradisi, penyuluhan kesehatan harus didampingi oleh orang yang berpengaruh di daerah tersebut. Hal ini penting dilakukan agar si penyuluh dan materi yang diberikan bisa diterima oleh masyarakat setempat. Materi sebaiknya disampaikan dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat. Penyuluhan kesehatan dari rumah ke rumah atau dilakukan dengan kelompok kecil akan memberikan hasil yang lebih baik daripada melakukan penyuluhan kesehatan dengan mengadakan pertemuan besar. Penyuluhan kesehatan tidak dilakukan hanya satu kali namun dilakukan secara bertahap dan rutin. Dengan melakukan penyuluhan kesehatan tersebut diharapkan sedikit demi sedikit masyarakat bisa mengerti tentang kesehatan dan apa yang harus dilakukan untuk mencegah suatu penyakit.

Selain melakukan penyuluhan kesehatan penting juga melakukan pelayanan kesehatan dari rumah ke rumah. Melalui pelayanan kesehatan dari rumah ke rumah, tenaga kesehatan bisa mengontrol secara langsung kondisi kesehatan anggota keluarga terutama ibu dan anak. Selain itu tenaga kesehatan juga bisa memberikan kebutuhan imunisasi, pemberian susu, pengecekan berat badan bayi dan anak, dan penanganan medis secara langsung. Dengan melakukan pelayanan kesehatan dari rumah ke rumah diharapkan bisa meningkatkan kesehatan masyarakat, terutama kesehatan bayi dan anak. Penambahan fungsi dari Polindes, selain sebagai tempat pelayanan kesehatan juga berfungsi sebagai tempat peningkatan gizi anak. Pemberian vitamin dan imunisasi secara rutin perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan bayi anak dari penyakit yang bisa menyebabkan kematian.