Efek farmakologis madu

Efek farmakologis madu

Madu memiliki kandungan yakni sebagai antibiotik atau antibakteri. Efek antibakteri madu pertama kali dikenal tahun 1892 oleh Van Ketel ahli mikrobiologi dari Belanda. Awalnya, efek antibakteri ini diduga karena kandungan gula madu yang tinggi, yang disebut efek osmotik. Namun, penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya zat inhibine yang pada akhirnya diidentifikasi sebagai hidrogen peroksida yang berfungsi sebagai antibakteri (Suranto, 2007).

  1. Efek osmotik

Madu terdiri dari campuran 84% gula dengan kadar air sekitar 15- 20% sehingga sangat tinggi kadar gulanya. Sedikitnya kandungan air dan interaksi air dengan gula tersebut akan membuat bakteri tak dapat hidup. Tidak ada bakteri yang mampu hidup pada kadar air kurang dari 17%.

Berdasarkan efek osmotik ini, seharusnya madu yang diencerkan hingga kadar gulanya menurun akan mengurangi efek antibakteri. Namun, kenyataannya, ketika madu dioleskan pada permukaan luka yang basah dan tercampur dengan cairan luka, efek antibakterinya tidak hilang. Beberapa jenis madu tetap dapat mematikan bakteri meskipun diencerkan hingga 7–14 kali. Dengan demikian, disimpulkan ada faktor lain yang menunjang efek antibiotika madu.

  1. Aktivitas hidrogen peroksida

Selain efek osmotik, madu mengandung zat lain yang dapat membunuh bakteri yaitu hidrogen peroksida. Kelenjar hipofaring madu mensekskresi enzim glukosa oksidase yang akan bereaksi dengan glukosa bila ada air dan memproduksi hidrogen peroksida.

Dulu, hidrogen peroksida dikenal sebagai zat inhibine. Reaksi kimiawi ini berlangsung sesaat, tetapi dalam jumlah kecil terus terbentuk hingga madu matang. Bila madu bereaksi kembali dengan air maka produksi hidrogen peroksida akan meningkat lagi. Konsentrasi hidrogen peroksida pada madu sekitar 1 mmol/l, 1000 kali lebih kecil jumlahnya daripada larutan hidrogen peroksida 3% yang biasa dipakai sebagai antiseptik. Meski konsentrasinya lebih kecil, efektivitasnya tetap baik sebagai pembunuh kuman. Efek samping hidrogen peroksida seperti merusak jaringan akan diatasi madu dengan zat antioksidan dan enzim-enzim lainnya.

  1. Sifat asam madu

Ciri khas madu yang lain adalah bersifat asam dengan pH antara 3,2 – 4,5, cukup rendah untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang berkembang biak rata-rata pada pH 7,2 – 7,4.

  1. Faktor fitokimia

Pada beberapa jenis madu juga ditemukan zat antibiotik. Zat tersebut disebut faktor non-peroksida. Madu yang selama ini telah diteliti memiliki faktor tersebut adalah madu manuka (Leptospermum scoparium) berasal dari Selandia Baru. Di Australia, madu dari spesies Leptospermum yang lain, jellybush, juga ditenggarai memiliki zat non-peroksida ini.

  1. Aktivitas fagositosis dan meningkatkan limfosit

Fagositosis adalah mekanisme membunuh kuman oleh sel yang disebut fagosit, sedangkan limfosit adalah sel darah putih yang besar perannya dalam mengusir kuman. Penelitian terbaru memperlihatkan madu dapat meningkatkan pembelahan sel limfosit, artinya turut memperbanyak pasukan sel darah putih tubuh. Selain itu, madu juga meningkatkan produksi sel monosit yang dapat mengeluarkan sitokin, TNF alfa, interleukin 1, dan interleukin 6 yang mengaktifkan respon daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kandungan glukosa dan keasaman madu juga secara sinergis ikut membantu sel fagosit dalam menghancurkan bakteri.

Madu memiliki aktivitas antibakteri yang berbeda-beda tergantung dari sumber nektamya. Aristoteles dan Dioscorides menyatakan madu dari area dan musim tertentu dapat mengobati penyakit tertentu pula. Secara modern, baru 40 tahun yang lalu diketahui madu punya efek antibakteri berbeda-beda yang dinilai dari inhibine number, suatu ukuran untuk menilai aktivitas antibakteri madu.

Molan, seorang peneliti madu dan ahli biologi dari Universitas Waikato memakai nilai MIC (minimum inhibition concentration) untuk menilai aktivitas menghambat bakteri pada madu yang dinyatakan dalam v/v yaitu 25 % – 0,25 %, > 50 % – 1,5 %, 20 % – 0,6% dan 50 – 1,5 %. Suatu survei pada madu Selandia Baru yang berasal dari 16 sumber nektar berbeda menemukan 36 % dari total sampel punya aktivitas antibakteri yang rendah atau tidak terdeteksi. Penelitian lain pada 340 sampel madu Australia dari 78 sumber nektar berbeda menemukan 68,5 % sampel punya aktivitas antibakteri di bawah nilai yang dapat dideteksi.

Beberapa hal yang membuat efek antibakteri madu berbeda-beda adalah kandungan hidrogen peroksida dan non-peroksida, seperti vitamin C, ion logam, enzim katalase, dan juga ketahanan madu terhadap suhu dan sensitivitas enzimnya terhadap cahaya. tiap jenis madu memiliki keunggulan untuk kuman yang berbeda-beda pula. Sebaiknya madu yang akan dipakai sifat antibakterinya sudah melewati uji sensitivitas kuman di laboratorium dan disimpan pada suhu rendah serta tidak terekspos cahaya sehingga aktivitas enzimnya tidak hilang.

Pada dasarnya, semua madu asli punya sifat antibakteri karena kadar gulanya yang tinggi. Beberapa ahli berpendapat, efek antibakteri madu secara umum memang akan berkurang bila madu tercampur atau diencerkan. Efek madu sebagai antibakteri terbaik diperoleh dari penggunaan topikal (dioleskan).

Cara penyimpanan madu

Teknik penyimpan madu menurut Darmawan (2006) merupakan suatu teknik yang paling penting di dalam menjaga suatu kualitas madu. Madu merupakan cairan kental mengandung beberapa komposisi vitamin dan zat yang tidak mudah rusak. Madu dapat bertahan sampai ratusan tahun. Namun untuk menjaga suatu kualitas serta kandungan vitamin dan zat yang dibutuhkan manusia, madu harus disimpan secara benar. Madu disimpan di tempat yang kering (tidak lembab) dan tertutup agar tidak bereaksi dengan lingkungan sekitar.

Sebab, madu bersifat hidroskopis (menarik air). Madu yang keluar dari sed sarang jika di simpan di tempat terbuka akan dimasuki air sehingga kadar air bisa bertambah. Maka tidak dibenarkan madu disimpan dalam lemari es. Zat gula yang terkandung dalam madu menyebabkan munculnya sifat hidroskopis. Kandungan fluktosa lebih larut dalam air dibanding glukosa. Madu yang memiliki kadar air tinggi mengalami fermentasi sehingga keawetan berkurang dan menghasilkan alkohol. Suhu optimum untuk menyimpan madu, sekitar 11⁰C. Namun pada suhu 21⁰-27⁰C (suhu kamar) bisa disimpan dalam wadah kaca kedap udara.

Tempat penyimpanan madu harus terhindar dari sinar matahari atau cahaya lain agar zat anti bakteri tidak mudah rusak. Zat besi dalam madu biasanya siap teroksidasi sehingga warna madu menjadi lebbih gelap. Proses ini mengurangi manfaat dan khasiat madu.

Madu juga tidak baik apabila disimpan dalam lemari es karena dapat membeku dan merusak struktur zat atau komponen dalam madu. Tetapi ada jenis madu yang dapat membeku dengan sendirinya akibat pengaruh enzim. Penyimpanan madu tidak dianjurkan memakai wadah yang terbuat dari besi atau logam agar terhindar dari reaksi kimia antara wadah dan asam organik dalam madu.