CUTANEOUS LARVA MIGRAN “CREEPING ERUPTION”

PENDAHULUAN
Cutaneus Larva Migran (CLM) adalah penyakit infeksi kulit parasit yang sudah dikenal sejak tahun 18741. Awalnya ditemukan pada daerah – daerah tropikal dan subtropikal beriklim hangat, saat ini karena kemudahan transportasi keseluruh bagian dunia, penyakit ini tidak lagi dikhususkan pada  daerah – daerah tersebut2Creeping itch atau rasa gatal yang menjalar, merupakan karakteristik utama dari CLM3. Faktor resiko utama bagi penyakit ini adalah kontak dengan tanah lembab atau berpasir, yang telah terkontaminasi dengan feces anjing atau kucing1. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada anak – anak dibandingkan pada orang dewasa. Pada orang dewasa, faktor resiko nya adalah pada tukang kebun, petani, dan orang – orang dengan hobi atau aktivitas yang berhubungan dengan tanah lembab dan berpasir2.
DEFINISI
Kelainan kulit yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok – kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing4.
SINONIM
Cutaneous larva migrans, creeping eruption, dermatosis linearis migrans4, sandworm disease (di Amerika Selatan larva sering ditemukan ditanah pasir atau di pantai), strongyloidiasis (creeping eruption pada punggung).
ETIOLOGI
  • Penyebab umum dari CLM adalah;
    • Ancylostoma braziliense (cacing pada anjing dan kucing),  penyebab paling sering.
    • Ancylostoma caninum (anjing) penyebab paling banyak kedua setelah a.braziliense.
    • Uncinaria stenocephala (anjing )
    • Bunostomum phlebotomum (sapi)2
  • Penyebab yang lebih jarang ditemukan adalah:
    • Ancylostoma ceylonicum dan Ancylostoma tubaeforme (kucing)
    • Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (manusia)
    • Strongyloides papillosus (kambing) dan Strongyloides westeri (kuda)
    • Pelodera (Rhabditis) strongyloides2
    • Castrophillus (the horse bot fly) dan cattle fly (Lalat)4
PATOGENESIS
Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing dan kucing, yaitu Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat, seperti Castrophillus (the horse bot fly) dan cattle fly. Biasanya larva ini merupakan stadium ketiga siklus hidup. Nematoda hidup pada hospes (anjing, kucing atau babi), ovum terdapat pada kotoran binatang dan karena kelembapan berubah menjadi larva yang mempu mengadakan penetrasi kekulit. Larva ini tinggal di kulit berjalan – jalan tanpa tujuan sepanjang dermo – epidermal, setelah beberapa jam atau hari, akan timbul gejala di kulit4




Gambar 1. (A) Siklus hidup cacing (B) Fotomikrograf kulit yang menunjukkan nematoda creeping eruption dalam terowongan dengan pembesaran 480x (Kirby – Smith, et al)


Reaksi yang timbul pada kulit, bukan diakibatkan oleh parasit, tetapi disebabkan oleh reaksi inflammasi dan alergi oleh sistem immun terhadap larva dan produknya3. Pada hewan, Larva ini mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan berkembang biak di organ dalam. Sedangkan pada manusia, larva memasuki kulit melalui folikel, fissura atau menembus kulit utuh menggunakan enzim protease, tapi infeksi nya hanya terbatas pada epidermis karena tidak memiliki enzym collagenase yang dibutuhkan untuk penetrasi kebagian kulit yang lebih dalam2.
GEJALA KLINIS
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas4. Mula – mula , pada point of entry, akan timbul papul, kemudian diikuti oleh bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok – kelok (snakelike appearance – bentuk seperti ular) yang terasa sangat gatal, menimbul dengan lebar 2 – 3 mm, panjang 3 – 4 cm dari point of entry, dan berwarna kemerahan2,3,4. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan larva tersebut telah berada dikulit selama beberapa jam atau hari4. Rasa gatal dapat timbul paling cepat 30 menit setelah infeksi, meskipun pernah dilaporkan late onset dari CLM2.
Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok- kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter dan bertambah panjang beberapa milimeter atau beberapa sentimeter setiap harinya4. Umumnya pasien hanya memiliki satu atau tiga lintasan dengan panjang 2 – 5 cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari, sehingga pasien sulit tidur. Rasa gatal ini juga dapat berlanjut, meskipun larva telah mati.

 Gambar 2 (A) dan (B) Terowongan CLM pada kaki. (C) Terowongan yang disertai krusta.

Terowongan yang sudah lama, akan mengering dan menjadi krusta, dan bila pasien sering menggaruk, dapat menimbulkan iritasi yang rentan terhadap infeksi sekunder.
Larva nematoda dapat ditemukan terperangkap dalam kanal folikular, stratum korneum atau dermis
Tempat predileksi adalah di tempat – tempat yang kontak langsung dengan tanah, baik saat beraktivitas, duduk, ataupun berbaring, seperti di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong dan paha juga di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada6.
DIAGNOSIS
Berdasarkan bentuk yang khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok – kelok, menimbul dan terdapat papul atau vesikel di atasnya4.

Gambar 3. (A) CLM dengan waktu infeksi 2 minggu (B) dan (C) Lesi pada gambar A diperbesar.


DIAGNOSIS BANDING
1.       Skabies: Pada skabies terowongan yang terbentuk tidak sepanjang seperti pada penyakit ini
2.       Dermatofitosis : Bentuk polisiklik menyerupai dermatofitosis
3.       Dermatitis insect bite : Pada permulaan lesi berupa papul, yang dapat menyerupai insect bite
4.       Herpes zooster : Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, papul – papul lesi dini dapat menyerupai herpes zooster4
PROGNOSA
Penyakit ini dapat sembuh sendiri setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Pengobatan dimaksudkan untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi rasa ketidaknyamanan pasien. Umumnya pengobatan selalu memberikan hasil yang baik5.
MORTALITAS
Mortalitas karena penyakit ini belum pernah dilaporkan. Kebanyakan kasus larva migran sembuh sendiridengan atau tanpa pengobatan, dan tanpa diikuti efek samping jangka panjang apapun3.
MORBIDITAS
Morbiditas dikaitkan dengan pruritus hebat dan kemungkinan infeksi bakterial sekunder. Sangat jarang sekali, dapat terjadi migrasi ke jaringan dalam, seperti ke paru dan usus, yang dapat menyebabkan penumonitis (Loeffler’s Syndrome), enteritis, myositis (nyeri otot)3
Gambar 4. Terowongan yang sudah mengalami infeksi sekunder (Kirby – Smith, et al)


LANGKAH – LANGKAH PENCEGAHAN
          Di Amerika serikat, telah dilakukan de-worming atau pemberantasan cacing pada anjing dan kucing, dan terbukti mengurangi secara signifikan insiden penyakit ini5
          Larva cacing umumnya menginfeksi tubuh melalui kulit kaki yang tidak terlindungi, karena itu penting sekali memakai alas kaki, dan menghindari kontak langsung bagian tubuh manapun dengan tanah5.
PENATALAKSANAAN
Modalitas topikal seperti spray etilklorida, nitrogen cair, fenol, CO2 snow, piperazine citrate, dan elektrokauter umumnya tidak berhasil sempurna, karena larva sering tidak lolos atau tidak mati. Demikian pula kemoterapi dengan klorokuin, dietiklcarbamazine dan antimony jugatidak berhasil. Terapi pilihan saat ini adalah dengan preparat antihelmintes baik topikal maupun sistemik2.
SISTEMIK (ORAL)
1.       Tiabendazol (Mintezol), antihelmintes spektrum luas. Dosis 50 mg/kgBB/hari, sehari 2 kali, diberikan berturut – turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari, jika belum sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Sulit didapat. Efek sampingnya mual, pusing, dan muntah4.
2.       Solusio topikal tiabendazol dalam DMSO, atau suspensi tiabendazol secara oklusi selama 24 – 48 jam4. Dapat juga disiapkan pil tiabendazol yang dihancurkan dan dicampur dengan vaseline, di oleskan tipis pada lesi, lalu ditutup dengan band-aid/kasa. Campuran ini memberikan jaringan kadar antihelmints yang cukup untuk membunuh parasit, tanpa disertai efek samping sistemik.
3.       Albendazol (Albenza), dosis 400mg dosis tunggal, diberikan tiga hari berturut – turut4.
4.       Ivermectin (Stromectol)
AGEN PEMBEKU TOPIKAL
1.       Cryotherapy dengan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, selama 2 hari berturut – turut4.
2.       Nitrogen liquid4
3.       Kloretil spray, yang disemprotkan sepanjang lesi. Agak sulit karena tidak diketahui secara pasti dimana larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan disekitarnya4.
4.       Direkomendasikan pula penggunaan Benadryl atau krim anti gatal (Calamine lotion atau Cortisone) untuk mengurangi gatal4.
DISKUSI
Diagnosa penyakit ini dapat ditegakkan hanya dari pemeriksaan fisik dengan melihat bentuk yang khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok – kelok, dan menimbul. Kemudian, dari anamnesa yang mendukung diagnosa adalah adanya riwayat kontak dengan tanah sebelum keluhan ini dirasakan, yaitu saat pasien berkebun. Pemeriksaan penunjang lain yang disebutkan dalam kepustakaan adalah biopsi, tapi hal ini sangat jarang dilakukan, dan pada kasus ini tidak diperlukan karena tidak ada gejala yang mengarah pada penyakit lain.
Terapi yang dipilih adalah tindakan khusus, yaitu penyemprotan dengan klor etil sebanyak masing – masing dua kali pada kunjungan I dan II. Karena keluhan yang dirasakan tidak hilang, pada kunjungan III dilakukan elektrokauterisasi pada lesi (sepanjang terowongan yang menimbul) dan setelah itu dilakukan penyemprotan dengan klor etil sebanyak dua kali lagi. Masing – masing penyemprotan dilakukan selama ±2 menit hingga tampak lapisan putih, dan diantara nya ada selang waktu ±15 menit. Tujuan penyemprotan dengan klor etil pada prinsipnya adalah untuk membekukan dan mematikan larva
Penyemprotan dengan klor etil memang tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan, karena posisi pasti larva tidak bisa dipastikan, sifat terapi ini adalah hit-or-miss. Namun, ini merupakan alternatif cara yang cepat untuk mengakhiri pertumbuhan terowongan. Disebutkan dalam salah satu kepustakaan, terapi pilihan saat ini adalah dengan memberikan antihelmintes baik secara topikal (dengan oklusi) maupun sistemik. Pada kasus ini, mungkin tidak dilakukan pemberian antihelmintes sistemik untuk menghindari efek samping obat antihelmintes sistemik. Disamping itu  pasien datang dengan lesi awal (3 hari setelah keluhan dirasakan), sehingga diharapkan infeksi dapat diakhiri dengan semprotan klor etil di poliklinik.  Sedangkan pemakaian tiabendazol topikal secara oklusi empat kali sehari mungkin sulit dilakukan pasien di rumah.
Pasien ini dijadwalkan untuk kunjungan ke IV, tapi pasien tidak kembali untuk kontrol ulang.
Daftar Pustaka
1.       Anonymous. Cutaneous Larva Migrans: The Creeping Eruption. Diunduh dari
2.       Jusych, LA. Douglas MC.Cutaneous Larva Migrans: Overview, Treatment and Medication. Diunduh dari www.emedicine.com. Pada tanggal 29 Desember 2009. Update terakhir 20 November 2009.
3.       Anonymous. Clinical Presentation in Humans. Diunduh dari www.stanford.edu/group/parasites/parasites2002/cutaneous_larva_migrans/clinical%20presentation.html  pada tanggal 29 Desember 2009
4.       Aisah S. Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI. 125-6 (2007)
5.       Dugdale,DC. Diunduh dari www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001454.htm
Update terakhir 12 Maret 2008
6.       Anonymous. Cutaneous Larva Migrans. Diunduh dari www.en.wikipedia.org/wiki/Cutaneous_larva_migrans