Anatomi Kemiskinan

Anatomi Kemiskinan
Oleh : Parwoto

Pemahaman Kemiskinan
Latar Belakang
Kemiskinan pada dasarnya bukan hanya permasalahan ekonomi tetapi lebih bersifat multidimensional dengan akar permasalahan terletak pada sistem ekonomi dan politik bangsa yang bersangkutan. Dimana masyarakat menjadi miskin oleh sebab adanya kebijakan ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan mereka, sehingga mereka tidak memiliki akses yang memadaikan ke sumber daya-sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak. Akibatnya mereka terpaksa hidup di bawah standar yang tidak dapat lagi dinilai manusiawi, baik dari aspek ekonomi, aspek pemenuhan kebutuhan fisik, aspek sosial, dan secara politikpun mereka tidak memiliki sarana untuk ikut dalam pengambilan keputusan penting yang menyangkut hidup mereka. Proses ini berlangsung timbal balik saling terkait dan saling mengunci dan akhirnya secara akumulatif memperlemah masyarakat miskin.
Situasi ini bila tidak segera ditanggulangi akan memperparah kondisi masyarakat miskin yang ditandai dengan lemahnya etos kerja, rendahnya daya perlawanan terhadap berbagai persoalan hidup yang dihadapi, kebiasaan-kebiasaan buruk yang terpaksa mereka lakukan dalam rangka jalan pintas mempertahankan hidup mereka yang bila berlarut akan melahirkan budaya kemiskinan yang sulit diberantas.
Di sisi lain upaya-upaya penanggulangan kemiskinan lebih banyak diarahkan hanya untuk meningkatkan penghasilan masyarakat miskin melalui berbagai program ekonomi, seperti peningkatan penghasilan, pemberian kredit lunak, dsb. Semua ini tidak dapat disangkal akan meningkatkan penghasilan masyarakat miskin tetapi tidak serta merta menyelesaikan persoalan kemiskinan. Kesalahan mendasar yang saat ini terjadi adalah melihat kemiskinan sebagai ketidak-mampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang disebabkan oleh rendahnya penghasilan (ekonomi) mereka, sehingga pemecahan yang logis adalah dengan meningkatkan penghasilan. Peningkatan penghasilan disini seolah-olah menjadi obat mujarab terhadap semua persoalan kemiskinan. Padahal akar kemiskinan justeru bukan pada penghasilan. Tinggi rendahnya penghasilan seseorang erat kaitannya dengan berbagai peluang yang dapat diraihnya. Jadi lebih merupakan akibat dari suatu situasi yang terjadi oleh sebab kebijakan politik yang tidak adil yang diterapkan sehingga menyebabkan sebagian masyarakat tersingkir dari sumberdaya kunci yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan hidup mereka secara layak.
Pengertian Kemiskinan
Deepa Narayan, dkk dalam bukunya Voices of the Poor menulis bahwa yang menyulitkan atau membuat kemiskinan itu sulit ditangani adalah sifatnya yang tidak saja multidimensional tetapi juga saling mengunci; dinamik, kompleks, sarat dengan sistem institusi (konsensus sosial), gender dan peristiwa yang khas per lokasi. Pola kemiskinan sangat berbeda antar kelompok sosial, umur, budaya, lokasi dan negara juga dalam konteks ekonomi yang berbeda.
Lebih lanjut mereka juga memberikan 4 dimensi utama dari definisi kemiskinan yang dirumuskan oleh masyarakat miskin sendiri, sebagai berikut di bawah ini.
Dimensi 1: Dimensi material kekurangan pangan, lapangan kerja dengan muaranya adalah kelaparan atau kekurangan makan.
Dimensi 2: Dimensi psikologi, seperti antara lain ketidakberdayaan (powerlessness), tidak mampu berpendapat (voicelessness), ketergantungan (dependency), rasa malu (shame), rasa hina (humiliation)
Dimensi 3: Dimensi akses ke pelayanan prasarana yang praktis tidak dimiliki
Dimensi 4: Dimensi aset/milik, praktis tidak memiliki aset sebagai modal untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak seperti antara lain:
• kapital fisik (physical capital), antara lain mencakup tanah, ternak, peralatan kerja, hunian, perhiasan, dsb
• kapital manusia (human capital), antara lain menyangkut kesehatan, pendidikan dan pekerjaan. Kesehatan yang buruk sering menghalangan orang untuk bekerja apalagi bila pekerjaannya menuntut tenaga fisik yang sering ditemukan pada masyarakat yang berada pada tingkat survival, begitu juga rendahnya pendidikan sangat menghambat kemajuan seseorang.
• aset sosial (social capital), atau sering diartikan dalam hal ini sebagai sistem kekerabatan yang mendukung kaum miskin untuk tetap bertahan hidup sebab pada umumnya kaum miskin tidak masuk jaringan formal pengamanan sosial seperti asuransi yang mampu melindungi mereka dari berbagai krisis seperti musibah, keuangan, dll
• aset lingkungan (environmental asset), antara lain mencakup iklim dan musim yang sangat berpengaruh pada petani, nelayan dan sebagai pekerja lapangan.
Secara rinci ke empat aset tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.
a) Aset fisik (physical capital). Pada dasarnya masyarakat miskin memang praktis tidak memiliki benda-benda fisik yang diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti antara lain tanah yang memadai, rumah/tempat tinggal yang layak, perabotan rumah tangga, kendaraan, peralatan kerja dan benda-benda fisik lainnya
b) Aset kemanusiaan (human capital). Pada dasarnya masyarakat miskin juga tidak memiliki kwalitas sumber daya manusia yang cukup baik yang dapat menjamin keberhasilan hidup mereka, mencakup tingkat kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, dsb belum lagi kwalitas manusia yang lain seperti etos kerja yang ulet, jiwa kewirausahaan, kepemimpinan, dsb
c) Aset sosial (Social capital).Masyarakat miskin memang selalu tersisih dari pranata sosial yang ada termasuk sistem asuransi sehingga mereka harus membangun sendiri institusi mereka agar mendapatkan jaminan sosial (social security) yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup mereka (survival) melalui kekerabatan antar mereka, asosiasi penghuni, yang seringkali menjadi sangat kuat oleh sebab rasa senasib sepenangungan, dsb.
d) Aset lingkungan (environmental asset). Pada umumnya masyarakat miskin di perkotaan memang kurang atau malah tidak memiliki sumber-sumber lingkungan sebagai modal hidup mereka seperti air baku, udara bersih, tanaman, lapangan hijau, pohon-pohon, dsb, sementara para petani dan nelayan sangat tergantung kepada aset lingkungan dalam bentuk musim dan iklim.
Lebih lanjut keempat dimensi tersebut sangat dipengaruhi oleh konteks yang lebih luas yaitu tatanan ekonomi makro dan sistem politik yang berlaku di negara tersebut.
Beberapa pendapat lain melihat kemiskinan dari sudut pandang yang sangat berbeda dan menyimpulkan kemiskinan sebagai berikut di bawah ini
• Kemiskinan absolut, yaitu bila penghasilan seseorang di bawah garis kemiskinan absolut, yaitu suatu ukuran tertentu yang telah ditetapkan dimana kebutuhan minimum masih dapat dipenuhi, dengan kata lain penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum yang ditetapkan dalam garis kemiskinan tersebut.
• Kemiskinan relatif, yaitu suatu kondisi perbandingan antara kelompok penghasilan dalam masyarakat.
Dari pola waktunya kemiskinan juga sering dibedakan sebagai berikut:
 Kemiskinan menaun (persistent poverty), yaitu kemiskinan yang kronis atau sudah lama terjadi, turun temurun, misalnya masyarakat di lokasi-lokasi kritis atau terisolasi
 Kemiskinan siklik (cyclical poverty), yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan
 Kemiskinan musiman (seasonal poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi secara khusus sesuai dengan musim seperti yang sering terjadi pada nelayan atau petani tanaman pangan
 Kemiskinan mendadak (accidental poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi oleh sebab bencana atau dampak oleh suatu kebijakan yang tidak adil.
Meskipun berbagai pihak melihat kemiskinan dari sudut pandangan yang berbeda dan merumuskan kemiskinan secara berbeda pula tetapi semua pihak sepakat bahwa pada dasarnya kemiskinan mengandung arti majemuk yang sering kali sulit untuk dipahami dari satu sudut pandang saja.
Secara umum kemiskinan sering kali diartikan sebagai keterbelakangan, ketidakberdayaan atau ketidakmampuan seseorang untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap layak/manusiawi.
Dari berbagai pandangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa keterbelakangan/ketidakberdayaan/ketidakmampuan ini mencakup beberapa dimensi sebagai berikut:
Dimensi politik
Tinjauan dari aspek politik ini, ketidakmampuan seseorang diterjemahkan dalam bentuk rendahnya tingkat kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan politik yang penting yang langsung menyangkut hidupnya, tidak dimilikinya sarana-sarana yang memadai termasuk kelembagaan untuk terlibat secara langsung dalam proses politik. Akibatnya kaum miskin tidak memiliki akses ke berbagai sumberdaya kunci yang dibutuhkannya untuk menyelenggarakan hidupnya secara layak. Termasuk dalam hal ini adalah sumber daya financial dan sumberdaya alam. Oleh sebab tidak dimilikinya pranata sosial yang menjamin partisipasi masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan maka sering kali masyarakat miskin dianggap tidak memiliki kekuatan politik sehingga menduduki struktur sosial yang paling bawah, malah sering kali masyarakat miskin seringkali secara juridis tidak diakui sebagai warga negara. Kemiskinan politik sering kali disebut juga sebagai kemiskinan struktural.
Dimensi ekonomi
Tinjauan kemiskinan dari dimensi ekonomi ini diartikan sebagai ketidak mampuan seseorang untuk mendapatkan mata pencaharian yang mapan dan memberikan penghasilan yang layak untuk menunjang hidupnya secara berkesinambungan yang terlihat dari rendahnya gizi makanan, tingkat kesehatan yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah, pakaian yang tidak layak, dsb.
Pandangan ini banyak digunakan oleh berbagai pihak untuk menetapkan garis kemiskinan.
Berbagai lembaga memiliki ukuran masing-masing dalam menetapkan kemiskinan antara lain sebagai berikut :
a). Prof Sayogyo menggambarkan tingkat penghasilan dengan mengukur pengeluaran setara beras per tahun untuk kategori :
• miskin di perkotaan 480 kg dan di perdesaan 320 kg
• miskin sekali di perkotaan 360 kg dan diperdesaan 240 kg
• paling miskin di perkotaan 270 kg dan perdesaan 180 kg
b). BPS menggunakan tingkat pengeluaran per kapita per hari untuk memenuhi kebutuhan pokok yang dihitung sebagai kebutuhan kalori 2100 kalori per kapita per hari dan kebutuhan dasar bukan makanan dan menetapkan pada tahun 1999 Rp 93.896/kapita/bulan di perkotaan dan Rp 73.878/kapita/bulan di perdesaan.
Dimensi Aset
Tinjauan kemiskinan dari dimensi aset ini dirumuskan sebagai ketidakmampuan seseorang yang diterjemahkan sebagai rendahnya tingat penguasaan seseorang terhadap hal-hal yang mampu menjadi modal dasar seseorang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya (basic human needs) seperti kapital manusia (pengetahuan, pendidikan, kesehatan, dsb), kapital fisik (tanah, perumahan yang layak, peralatan kerja, sarana produksi, kendaraan, dsb), kapital alam (udara, pohon, hewan, dsb), kapital sosial (jaringan sosial, tradisi, dsb), kapital dana (tabungan, pinjaman, dsb)
Dimensi budaya dan psikologi
Dari dimensi budaya, kemiskinan diterjemahkan sebagai terinternalisasikannya budaya kemiskinan baik di tingkat komunitas, keluarga maupun individu.
Di tingkat komunitas dicirikan dengan kurang terintegrasinya penduduk miskin dalam lembaga-lembaga formal masyarakat, di tingkat keluarga dicirikan dengan singkatnya masa kanak-kanak, longgarnya ikatan keluarga, dsb, sedangkan di tingkat individu terlihat seperti antara lain sifat tidak percaya diri, rendah diri, kurang mau berpikir jangka panjang oleh sebab kegagalan-kegagalan yang sering dihadapinya, fatalisme, apatis, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi, dsb
Semua dimensi tersebut diatas bagi masyarakat miskin memiliki tingkat kerentanan yang tinggi karena sifatnya yang tidak mantap, seperti misalnya dimensi ekonomi bagi masyarakat miskin akan sangat berbeda dengan masyarakat kaya karena kebanyakan masyarakat miskin dan masyarakat yang sedikit di atas garis kemiskinan memiliki mata pencaharian yang sangat labil sehingga guncangan sedikit saja (krisis) akan menyebabkan mereka terpuruk.
Kesimpulan
Dari berbagai pandangan tersebut di atas dapat disimpulkan arti kemiskinan dikaitkan dengan pembangunan masyarakat perkotaan sebagai berikut.
a) Ada kelompok/lapisan masyarakat yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya secara layak dan tidak berdaya menghadapi tantangan pembangunan yang terjadi dengan ciri-ciri sebagai berikut:
 Rendahnya kepemilikan aset fisik atau praktis tidak memiliki benda-benda fisik yang diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti antara rumah/tempat tinggal yang layak, perabotan rumah tangga, kendaraan, peralatan produksi dan harta benda fisik lainnya
 Rendahnya kwalitas sumberdaya manusia atau tidak memiliki kwalitas sumber daya manusia yang cukup baik yang dapat menjamin keberhasilan hidup mereka, mencakup tingkat kesehatan, pendidikan, kemampuan memproduksi tenaga kerja (labor power), dsb belum lagi oleh sebab terinternalisasinya budaya kemiskinan yang menghancurkan kwalitas manusia secara keseluruhan, seperti antara lain rendahnya etos kerja, fatalisme, apatis, hancurnya jiwa kewirausahaan dan kepemimpinan, boros, cari gampang, dsb
 Tersingkir dari pranata sosial formal yang ada utamanya pranata sosial yang mampu memberikan jaminan sosial, sehingga masyarakat miskin harus membangun sendiri institusi mereka agar mendapatkan jaminan sosial (security) yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup mereka (survival) melalui kekerabatan antar mereka, asosiasi penghuni, yang seringkali menjadi sangat kuat oleh sebab rasa senasib sepenangungan, dsb.
 Tersingkir dari sumberdaya alam seperti pada umumnya masyarakat miskin di perkotaan memang kurang atau malah tidak memiliki akses ke sumberdaya alam sebagai modal hidup mereka seperti tanah, air baku, ternak/binatang liar, sumberdaya lingkungan seperti udara bersih, tanaman, ruang hijau, pohon-pohon, dsb. Termasuk ketergantungan terhadap musim dan iklim tanpa daya untuk menangulanginya.
 Tidak memiliki akses ke pelayanan dasar yang dibutuhkan, seperti air minum, sanitasi, drainasi, kesehatan, pendidikan, penerangan, energi, transportasi, jalan akses, dsb
 Tidak memiliki akses ke sumberdaya modal seperti kredit dari perbankan.
 Tidak memiliki akses ke proses pengambil keputusan penting yang menyangkut hidup mereka oleh sebab tidak tersedianya pranata yang memberi peluang masyarakat miskin menyuarakan aspirasinya.
 Memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dari segi mata pencaharian sehingga dengan mudah oleh guncangan sedikit saja (kecelakaan, sakit, krisis, kemarau panjang, bencana alam, dsb) dapat masuk ke kategori kelompok yang lebih rendah/lebih miskin.
b) Hal tersebut di atas berarti:
 Ada segregasi sosial dalam masyarakat
 Ada ketidak adilan dalam distribusi peluang pembangunan dan sumberdaya pembangunan
 Tidak berjalannya fungsi pengendalian pembangunan (matinya ketataprajaan /governance)
 Tidak berfungsinya sistem perwakilan dalam proses pengambilan keputusan dan manajemen pembangunan
c) Akar penyebab kemiskinan
Meskipun kemiskinan banyak dibicarakan dan identifikasi dan dirumuskan tetapi ternyata hanya terbatas pada gejala-gejalanya saja (rumusan kemiskinan). Diskusi mengenai akar permasalahan atau penyebab kemiskinan hampir selalu dihindari atau malah sering ditabukan karena akar utama penyebab kemiskinan adalah justeru tidak adanya keadilan di masyarakat dan ketidak-adilan ini jelas adalah akibat dari:
 ketidak mampuan para pengambil keputusan untuk menegakkan keadilan
 menipisnya kepedulian dan meningkatnya keserakahan di masyarakat
 Semuanya ini menunjukkan adanya gejala serius dari lunturnya nilai-nilai luhur dari para pelaku pembangunan (pengambil keputusan dan masyarakat) sehingga sebagai manusia kita tak berdaya untuk menjadi pelaku moral (melemahnya moral capability). Situasi ini tentu saja menjadi tanggung jawab kita bersama; pemerintah sebagai pengawal dan penegak keadilan dan kita semua sebagai masyarakat warga yang saling mengasihi. Mampukah pemerintah menciptakan kebijakan yang adil yang mampu meredistribusi aset nasional secara adil dan melakukan koreksi terhadap ketimpangan sosial yang ada ? Sedihnya berbagai upaya penangulangan atau pemberantasan kemiskinan adalah justeru melestarikan ketidak adilan tersebut dengan menolong korban-korban ketidak adilan tersebut agar mampu bertahan sebagai korban dan tidak mencoba menyelesaikan akar persoalannya.Sedih tetapi nyata.

Refleksi
Apakah yang kita lakukan selama ini:
 Benarkah kita memerangi kemiskinan atau kita memerangan orang miskin?
 Kemiskian yang kita perangi atau simbol kemiskinan yang kita perangi?

Contoh-contoh yang terjadi:
Pedagang kaki lima (PKL) harus diberantas
Apakah yang sebenarnya terjadi?
PKL bersih kota tertib, tetapi pedagang kaki lima kehilangan lapangan pekerjaan dan menjadi makin miskin.
Persoalan siapa yang diselesaikan sebenarnya?
Apakah persoalan kemiskinan selesai?
Becak dilarang beroperasi
Jalan-jalan jadi bersih becak, kesemrawutan kendaraan mobil, bis, mikrolet tetap
Tukang becak kehilangan mata pencaharian
Ibu-ibu terpaksa mbonceng ojek dari lingkungan perumahan
Apakah persoalan kemiskinan selesai??
Lingkungan kumuh harus diberantas
Apakah yang sebenarnya terjadi ?
Lingkungan kumuh menjadi ruko yang indah dan rapi, masyarakat miskin penghuni lingkungan kumuh tergusur oleh keputusan politik dan tercabut dari sumber nafkahnya.
Mungkin hal tersebut tidak perlu terjadi karena masyarakat miskin tersebut dapat tinggal di rumah susun yang sengaja disediakan sebagai bagian dari program peremajaan tersebut. Yang terjadi tetap saja masyarakat miskin yang dirumahkan di rumah susun tersebut tergusur lagi oleh tekanan ekonomi dan sosial budaya.
Apakah persoalan kemiskinan selesai ???
Program-program pengentasan kemiskinan
Terperangkap dalam upaya meningkatkan penghasilan, pada hal orang miskin tidak berbicara penghasilan (income) kegagalan yang terjadi disadari oleh sebab tidak memiliki aset-aset utama yang dibutuhkan untuk menunjang kehidupannya (fisik, kwalitas manusia, sosial, lingkungan dan akses). Adakah program pengentasan kemiskinan yang menjamin masyarakat miskin memiliki aset-aset tersebut.
Akhirnya berbagai fasilitas kredit yang ditawarkan hanya dimanfaatkan oleh elit kampung/desa
Apakah persoalan kemiskinan selesai ????
Selama tidak ada keadilan maka keserahan akan tetap merajalela dan kemiskinan akan tetap terjadi.

Beberapa Intervensi Untuk Menanggulangi Kemiskinan
Dari uraian terdahulu, jelaslah meskipun ada berbagai pandangan tentang kemiskinan tetapi semua mengacu pada lunturnya nilai-nilai luhur para pelaku pembangunan yang berakibat aturan atau tatanan pengelolaan urusan publik dalam hidup berbangsa dan bernegara yang tidak adil sehingga terjadi akumulasi pemihakan justeru kepada yang tidak miskin (kaya) yang berakibat fatal terhadap upaya-upaya penangulangan kemiskinan. Dengan kata lain persoalan kemiskinan pada dasarnya adalah perkara pengelolaan urusan publik (governance issues) karena lunturnya nilai-nilai luhur universal sehingga upaya perbaikan yang harus dilakukan adalah mulai dengan membangun kembali kesadaran kritis dan moral para pelaku pembangunan baik ditataran pengambil keputusan maupun di tataran rakyat jelata sehingga pada gilirannya mampu menciptakan dan membangun tatanan pengelolaan urusan publik yang baik (good governance).
Sesuai dengan sifatnya bahwa kemiskinan adalah persoalan multidimesional dan antar dimensi saling terkait (interrelated) dan saling mengunci (interlocking) maka apapun upaya yang dilakukan dalam rangka penanggulangan atau pemberantasan kemiskinan haruslah mencakup berbagai dimensi tersebut secara integratif

Beberapa Bentuk Intervensi
No. Tataran Kemungkinan Intervensi
1 Pelaku Membangun kesadaran kritis dan memulihkan kemampuan manusia
untuk menjadi pelaku moral.
2 Kebijakan Menetapkan program penangulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja sebagai prioritas dalam strategi pembangunan kota (city development strategy)
Pengembangan kebijakan yang memulihkan posisi masyarakat miskin dalam proses pembangunan dan pengambilan keputusan sebagai
pelaku kunci
Pengembangan kebijakan yang menjamin akses bagi masyarakat
miskin ke berbagai sumberdaya kunci dan peluang pembangunan
yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Pengembangan kebijakan usaha yang memadukan dan memberikan peluang yang adil terhadap sektor formal dan informal
3 Pengaturan Pengembangan berbagai peraturan yang menjamin kehidupan dan penghidupan masyarakat miskin dikota, termasuk jaminan untuk
bekerja dan bermukim
Penyederhanaan sistem perizinan dan penguatan hak-hak masyarakat miskin atas tanah dan lokasi usaha
Pengembangan peraturan yang secara sistemik menjamin kegiatan usaha informal termasuk industri rumah tangga
4 Kelembagaan Membangun kelembagaan masyarakat warga (civil society organization)
Membangun kelembagaan antara yang mampu menjembatani antara sektor formal dan informal
5 Program Penyediaan pelayanan publik yang lebih akomodatif terhadap kepentingan masyarakat miskin (kesehatan, pendidikan, transportasi, pelayanan prasarana, dsb)
Pengembangan program-program perumahan untuk kelompok masyarakat yang tidak terlayani oleh pasar formal
Pengembangan program-program pemberdayaan yang membangun dan memulihkan keberdayaan warga, keluarga dan masyarakat untuk mampu menentukan sejarahnya sendiri
6 Evaluasi Pemutakhiran pemetaan masyarakat miskin perkotaan
Pengembangan indikator keberhasilan penangulangan kemiskinan
Pengembangan indikator partisipasi masyarakat banyak utamanya yang miskin dalam proses pengambilan keputusan publik

Daftar Pustaka

1) Deepa Narayan, dkk ; The voice of the poor, 2000
2) Mubyarto ; Ekonomi dan Politik Pembangunan Regional, Kasus Propinsi Kalimantan Barat, 2000
3) Parsudi Suparlan (ed); Kemiskinan di Perkotaan, 1995
4) Badan Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia & Smeru; Paket Informasi Dasar
5) Manual Proyek Penangulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), 1999